Oleh : Mila Ummu Tsabita
Mediaoposisi.com-Tepat di Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2018, puluhan organisasi bergabung dalam Aliansi Meratus Jilid 2 meyuarakan penyelamatan Pegunungan Meratus.Ahdiat Zairullah, Koordinator Lapangan mengatakan, ada 30 organisasi yang gabung dalam aksi yang ke 2 ini, antara lain Walhi Kalsel, Komunitas Sumpit, YCHI, LK3,
Lembaga Kompas Borneo, Mapala Justitia, Mapala Graminea, Kompas Borneo, Mapala Apache, LPMA Borneo, BEM ULM, Mapala Uniska, GMNI, Muller Schawner, Kerukunan Mahasisswa Murakata, IMM, AMAN Kalsel, GEMBUK, dan HMI.
Sebelumnya gugatan Walhi di PTUN Jakarta tertanggal 28 Februari 2018 ditolak, hutan terakhir Kalsel terancam tambang batubara PT. Mantimin Coal Mining (MCM).
Aksi yang digelar di depan Sekretariat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) ini bertujuan mengajak masyarakat luas untuk peduli pada keberlanjutan Pegunungan Meratus.
Aksi damai dilakukan menggunakan spanduk dan poster bertuliskan #SaveMeratus menampilkan fakta-fakta tentang Pegunungan Meratus yang akan terancam tambang batubara.
M Reza Rifani, Ketua Pelaksana Aksi Damai ini mengatakan, salah satu tujuan aksi damai di hari Sumpah Pemuda ini untuk menyeru para pemuda Indonesia terutama di Kalsel,
bersikap kritis sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah yang akan merugikan dan mengabaikan keselamatan rakyat. “Terbitnya SK Operasi Produksi MCM ini jelas-jelas akan mengorbankan masyarakat, bukan hanya di lokasi izin, tapi masyarakat Kalsel juga”, ujarnya.
Aksi solidaritas untuk meratus adalah lanjutan dari aksi pertama awal tahun ini. Pada waktu itu masyarakat Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan warga Kalsel lainnya juga ikut tandatangan petisi menolak Keputusan Menteri ESDM tersebut.
Mengejar Profit , Tak Peduli Keseimbangan Alam
Meratus adalah hamparan pegunungan yang membentang di Kalsel. Dia membelah propinsi ini menjadi dua.
Di dalamnya ada sumber daya alam dan budaya. Penolakan masyarakat terkait dengan surat keputusan No.441.K/30/ DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT. MCM menjadi tahap kegiatan operasi dan produksi oleh Kementrian ESDM pada 4 Desember 2017.
Diketahui UPK PT MCM meliputi Kabupaten Tabalong, Balangan dan HST. Lokasi PT.MCM di Batu Tangga Kabupaten HST 56% dari luasan izin yang diberikan merupakan kawasan esensial Karst.
Lokasi izin juga merupakan sumber air dan air baku bagi PDAM Kabupaten Hulu Sungai Tengah. Menurut Kisworo Dwi Cahyono, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalsel, pegunungan Meratus tersebut satu-satunya belum tersentuh pertambangan dan harus dipertahankan sampai kapanpun.
Kalsel sendiri sudah sangat darurat ruang dan bencana ekologis. Hal itu disebabkan oleh banyaknya kepentingan perusahaan yang berupaya menguasai lahan di Kalsel untuk kepentingan pertambangan, kebun sawit dan lainnya.
“Bisa dilihat kan (menunjuk Peta), ini di Kalsel, 50 persen nya saja sudah dikuasai tambang dan sawit, belum lagi HTI (Hutan Tanaman Industri) dan HPH (Hak Penguasaan Hutan)” ujarnya.
Walhi menilai daerah Gunung Meratus harus dipertahankan karena eksploitasinya akan semakin mengancam kelestarian lingkungan, merusak tatanan masyarakat hingga konflik agraria.
Adanya kebijakan sepihak dari pemerintah (pusat) yang memberikan konsesi lahan kepada perusa-haan pengelola batubara di Kalsel, tidak dibarengi dengan perhitungan daya dukung wilayah untuk menjamin keberlangsungan ekosistem dan keberlanjutan ekonomi sosial budaya masyarakat.
Kekayaan alam ini terus dikeruk tanpa terkendali dan tanpa memperhitungkan dampak yang ditimbulkannya.
Seperti kita ketahui industri pertambangan batubara merupakan industri yang tidak berkelanjutan. Karena merupakan sumberdaya yang tidak terbarukan (non-renewables resources).
Ketika di satu sisi dipromosikan sebagai industri yang menghasilkan devisa yang besar bagi negara, industri ekstraktif menyembunyikan berbagai fakta tentang dampak negatif yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat.
Penghancuran, pengrusakan dan pencemaran lingkungan terjadi tanpa kendali. Seperti halnya aktivitas pertambangan lainnya di Indonesia, pertambangan batubara di Kalsel juga telah menimbul-kan dampak kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah.
Kegiatan eksploitasi, lubang-lubang besar yang tidak mungkin ditutup kembali. Apalagi dilakukan reklamasi- telah mengakibatkan terjadinya kubangan air dengan kandungan asam yang sangat tinggi.
Limbah yang dihasilkan dari proses pencucian mencemari tanah dan mematikan berbagai jenis tum-buhan yang hidup di atasnya.
Pembiaran lubang-lubang bekas galian batubara yang ditinggalkan begitu saja dan pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan tersebut seperti debu, rembesan air asam tambang dan limbah pencuciannya terjadi dihampir semua lokasi pertambangan dan bahkan mencemari air/sungai yang dimanfaatkan oleh warga.
Batubara Batubara yang juga disebut sebagai “emas hitam” ini merupakan komoditi bisnis yang menggiurkan dan juga menjanjikan bagi setiap orang yang ingin mengeruk keuntungan yang besar.
Bukan hanya para pengusaha yang tertarik untuk melakukan bisnis, namun juga para pejabat dan institusi negara seperti TNI-Polri.
Keterlibatan pejabat dan aparat ini semakin menegaskan akan pola ekploitasi sumberdaya alam yang sarat dengan kepentingan modal yang didukung oleh kekuasaan. Bagaimana mungkin penegakan hukum bisa dilakukan sementara mereka merupakan pelaku sekaligus aparat penegak hukum ?
Padahal menurut Walhi potensi kerugian pertambangan batubara akibat air baku yang rusak sebesar Rp 194.400.000.000.- per bulan. Selain itu juga berdampak pada kerusakan lingkungan dan ancaman banjir di 3 kabupaten antara lain Hulu Sungai Tengah, Tabalong dan Balangan”.
Izin pertambangan batubara tersebut juga akan berdampak pada lahan padi milik masyarakat seluas 22.218 hektar di enam kecamatan meliputi Kecamatan Batang Alai Selatan, Batang Alai Utara, Barabai, Pandawan, Labuan Amas Utara dan Labuan Amas Selatan.
Potensi kerugian akibat rusaknya lahan padi mencapai Rp 511.014.000.000 (Lima ratus sebelas miliyar empat belas juta rupiah) permusim tanam. Ditambah lagi dengan terancamnya irigasi Batang Alai senilai Rp 500.000.000.000.- yang dibangun sejak tahun 2009 lalu.
#Save Meratus dengan kelola SDA sesuai Islam
Dalam sistem Kapitalis-Sekuler sudah jamak diketahui negara hanya berfungsi sebagai regulator atau pembuat aturan, bukan pelayan masyarakat. Bahkan yang sering terjadi kebijakan kapitalistik tidak berpihak pada rakyat banyak.
Tapi berpihak kepada pengusaha (pemodal). Dan sudah rahasia umum, pada proyek-proyek padat fulus ini terjadi perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha, sehingga sulit bagi pemangku kebijakan untuk membuat atau menarik kembali aturan yang berdampak merugikan “kolega”nya.
Selama pengelolaan SDA (batubara,emas migas, hutan dan yang lainnya) tidak sesuai dengan Syariat Islam. Maka akan sulit menyelamatkan “kekayaan” yang tersisa seperti pegunungan Meratus ini. Soalnya, sangat susah menghentikan kerakusan para kapitalis yang sudah berkomplot dengan aparat.
Walaupun Indonesia (katanya) adalah negara demokrasi. Ternyata demo yang menyuarakan “jeritan hati” rakyat dengan jumlah yang besar tak membuat penguasa bergeming. Entah hati para pejabat terbuat dari apa? Begitu acuhnya mereka terkait suara dan teriakan masyarakat.
Bahkan di saat menjelang perebuatan kursi di 2019, tak mampu membuat mereka tersentuh dengan pendapat dan harapan penduduk lokal, yang sangat ingin “.
menyelamatkan atap Kalsel ini (Gunung Meratus), karna lantai dan dinding sudah hancur kan, kalau sampai atap juga hancur, jadi apa nanti?” ujar Kisworo, dari Walhi Kalsel.
Tak Cuma demo #SaveMeratus yang tak digubris. Demo guru honorer, demo para aktifis mahasiswa dan lain-lain, pun berujung kekecewaan. Entah sampai kapan kita bisa berharap pada sistem buatan manusia ini, yang terlalu pongah merasa bisa mengatur kehidupan.
Belum lagi, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak- bencana mengintai atau merugikan masyarakat yang terdampak.
Beberapa kasus bencana, selain karena sudah ditakdirkan Allah, justru disebabkan peran manusia yang telah merusak alam. Sebagaimana terlihat pada bencana banjir bandang di beberapa wilayah di Indonesia.
Akibat gundulnya hutan, hujan deras mengakibatkan banjir bandang, tanah longsor dan jatuhnya ribuan kubik kayu gelondongan menghantam daerah kaki gunung.
Atau yang cukup fenomenal, bencana Lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo tahun 2006 lalu. Walaupun ada sebagian ahli mengatakan semburan lumpur adalah fenomena alamiah, namun Walhi bersikukuh itu adalah human error yang menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat.
Lebih ironis, adalah dampak ikutan selain hilangnya harta benda karena rendaman lumpur , yaitu adanya kandungan logam berat dan hidrokarbon yang sangat tinggi, yang mencemari sumur warga yang tinggal di sekitar tanggul.
Sedangkan pada kasus tambang batubara, misalnya di kecamatan Lampihong Kabupaten Balangan, Kalsel, sekitar 50 warga perwakilan masyarakat, mendatangi kantor DPRD setempat guna menuntut ganti rugi tanah pertanian dan perkebunan yang tidak lagi produktif, akibat tercemar limbah batu bara PT Adaro Indonesia.
Sejak ladang dan persawahan mereka dijadikan sebagai saluran pembuangan limbah, tanaman yang mereka tanam di atasnya tidak ada yang bisa hidup.
Sungguh alam ini telah diciptakan Allah untuk manusia supaya dimanfaatkan dengan baik sesuai tuntunan syariah Allah.
Tapi karena diterapkannya ideologi Kapitalis Liberal di negri ini, dengan paham kebebasan kepemilikan telah membuat para penguasa malah mempersilakan swasta lokal maupun asing untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (SDA).
Keserakahan manusia telah mendorong mereka memanfaatkan alam secara liar, tanpa aturan dan hanya memikirkan keuntungan materi semata. Akibatnya ekosistem terganggu dan bencana atau kerugian pun datang.
Allah SWT telah memperingatkan , “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari perbuatan mereka, agar mereka kembali.” (TQS. AR-Ruum: 41).
Islam, sebagai dien yang berasal dari Sang Pemilik alam semesta, telah menetapkan bahwa batubara, hutan, minyak dan sumber daya alam lainnya yang melimpah merupakan milik umum (rakyat).
Pengelolaannya harus diserahkan kepada negara untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat.
Tambang emas hitam misalnya,tidak boleh dikuasai swasta apalagi pihak asing atas nama investasi. Rasul SAW. Bersabda: “ Kaum muslim berserikat dalam 3 hal: padang rumput, air, dan api. (HR. Abu Daud dan Ahmad).
Maka batubara, minyak dan gas semisal dengan api, sebagai sumber energi. Sedang gunung, hutan tidak lain semisal dengan rumput atau padang gembalaan.
Semua telah menjadi lahan atau tersedia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Maka ketika penguasaan atau pengelolaan dilimpahkan kepada swasta, menyebabkan terhalangnya masyarakat untuk mengaksesnya.
Harusnya, seluruh hasil SDA bisa dinikmati rakyat, atau bisa untuk membangun infrasrtuktur yang menjadi kebutuhan masyarakat. Penguasa tidak akan berani serampangan dalam mengelola, kalau dia sadar akan dimintai tanggung jawab di hadapan Allah.
Namun sayang, saat ini penguasa dan masyarakat secara umum masih belum sadar pentingnya mengelola alam sesuai Syariah.
Maka menjadi kewajiban untuk setiap muslim, tidak hanya menyuarakan #SaveMeratus tapi juga memperjuangkan penegakkan Syariah Islam secara Kaffah. Karena hanya dengannya (Islam), SDA akan menjadi berkah yang mensejahterahkan seluruh rakyat (muslim maupun non muslim). Insha Allah.[MO/ge]