Oleh: Novita Sari Gunawan
"Aktivis Akademi Menulis Kreatif"
Mediaoposisi.com-Sungguh mencengangkan bagi umat muslim, menyimak vonis hakim terkait pelaku pembakar bendera tauhid.
Dikutip dari detiknews.com F dan M, pembakar bendera berkalimat tauhid yang disebut polisi bendera HTI telah disidang. Keduanya dikenai tindak pidana ringan (Tipiring). Majelis hakim menjatuhkan hukuman 10 hari penjara dan denda Rp 2 ribu.(05/11/2018).
Chandra Purna Irawan,SH,MH selaku Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI dan Sekjen LBH PELITA UMAT memberikan tanggapan terkait putusan tersebut. Ia menyatakan bahwa pasal 174 KUHP merupakan tindak pidana ringan.
"Pasal ini menitik beratkan pada dengan sengaja mengganggu rapat umum, dengan mengadakan huru hara, atau membuat gaduh. Jika dilihat dari locus dan tempos delicti (waktu dan tempat kejadiannya)"Ujarnya.
Pembakaran itu diduga dilakukan setelah upacara atau rapat peringatan hari santri. Sehingga pembakaran tersebut dinyatakan tidak mengganggu rapat umum atau peringatan hari santri dan juga tidak terjadi huru hara pada saat itu. Penegak hukum memfokuskan pada dampak perbuatan, bukan pada objek perbuatan. Objek perbuatannya adalah pembakaran bendera tauhid.
menegaskan lagi bahwa kurang tepat menjerat tersangka menggunakan pasal 174 KUHP. Penegak hukum harus melihat dengan teliti terhadap respon masyarakat tersebut karena menilai telah terjadi pelecehan terhadap simbol agama Islam. Karena Islam memandang bendera yang berwarna hitam dan putih bertuliskan lafadz tauhid merupakan bendera Rasulullah.
Sebagaimana keterangan dari hadits, Sirah Nabawiyah, ijma sahabat dan juga ulama yang menegaskan bahwa itu adalah bendera Rasulullah Saw dan umat Islam yang sangat diagungkan dan dimuliakan. Maka ia pun menegaskan lagi bahwa sepatutnya pelaku pembakaran tersebut dikenakan pasal 156a KUHP tentang tindak pidana penistaan agama.
Lagi-lagi, rezim petahana terus saja menampakkan keberpihakan pada pelaku penista agama. Dengan logika absurd bahwa pembakaran bendera tauhid tersebut dimaklumi atas dasar alasan kalimat tauhid yang ditunggangi oleh HTI. Bahkan, hingga kini masih saja ada banyak pihak yang tetap bersikukuh menyebutkan bendera tauhid yang dibakar adalah bendera HTI.
Padahal, banyak ulama yang telah membantahnya serta menjelaskan secara gamblang tentang hadits terkait bendera Rasulullah Saw ini. Bahkan Komjen Arief Sulistyanto pun menyatakan bahwa bendera tersebut tidak pernah didaftarkan ke Kemenhukam sebagai bendera HTI. Walaupun ia berargumen secara de facto bendera tauhid dianggap bendera HTI karena selalu menjadi atribut saat aksi. Tetap saja hal ini tidak bisa menjadi pembenaran.
Saatnya rakyat melihat fenomena ini dengan kacamata yang jernih. Sangat tampak bagaimana kebijakan demi kebijakan yang mengamini bahwa rezim petahana ini ialah rezim anti Islam. Bahkan represif terhadap ajaran serta pengembannya. Menciptakan berbagai tuduhan tak berdasar yang memaksakan demi mendapatkan legalitas publik.
Para aparat penegak hukum meminta agar rakyat percaya dan menyerahkan prosesnya kepada mereka. Tetapi apa hasilnya? Kembali putusan yang dikeluarkan tak adil dan berat sebelah. Bagai angin lalu, mereka enggan mendengarkan jutaan aspirasi umat Islam yang dilecehkan atas insiden ini. Seolah terlihat mempermainkan, para pelaku hanya dikenai tipiring dan denda senilai kepingan receh.
Lihatlah jutaan tetes air mata umat Islam yang jatuh akibat peristiwa ini. Bukan sandiwara, bukan pula ditunggangi oleh yang berkepentingan. Semata-mata murni desakan nurani dan keimanan. Ketika mereka menyaksikan penistaan ini. Sudah jatuh tertiban tangga, saat menerima vonis hakim terkait hukuman bagi pelaku pembakaran ini. Sungguh, antara hitam dan putih telah tampak dengan jelas. Antara siapa yang dimusuhi dan siapa yang dibela oleh rezim ini.[MO/an]