Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si
"Penulis dan Pemerhati Politik Islam"
Mediaoposisi.com-Kegagalan proyek deradikalisasi ditunjukkan dengan kembali menghangatnya opini khilafah pada publik Indonesia. Berbagai kalangan baik profesional maupun tokoh ormas terus menegaskan bahwa khilafah adalah ajaran Islam, sesuai dengan Al Quran dan Sunnah. Bahkan upaya memaksa opini publik untuk menjustifikasi ormas pengusung ajaran khilafah sebagai ormas terlarang ditanggapi enteng sebagai fitnah, serta dinilai bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan kebebasan berpendapat.
Sebuah survey yang dilakukan Alvara Research Centre dan Mata Air Foundation merilis hasil sebanyak 29,6 persen profesional setuju bahwa negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kafah. Ketika dipersempit dengan khilafah sebagai bentuk negara, profesional yang setuju khilafah sebanyak 16 persen. Survey dilakukan terhadap 1.200 responden di enam kota besar Indonesia yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar pada 10 September sampai 5 Oktober 2018.
Jalan panjang berliku yang telah dijalani ormas-ormas Islam dalam mempromosikan gagasan khilafah membuahkan hasil yang tidak berkhianat atas usaha.
Bukan saja kalangan kampus dan orang awam yang menerima khilafah, malahan kaum profesional dan tokoh Islam turut memberikan respon positif. Ini semakin mengangkat level politik mereka yang selama ini dinilai radikalis dan ekstrimis.
Yang menarik adalah pernyataan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD dalam kicauan twitter, (29/10/2018). Mahfud mengaku tidak anti khilafah dan menganggap khilafah itu adalah fitrah.
Senada mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin sekaligus Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di kediamannya mengatakan khilafah merupakan ajaran islam yang tak perlu ditakuti. Khilafah merupakan salah satu bagian dari ajaran islam yang berasal dari Alquran. (3/11/2018)
Lepas dari apapun alasan kaum profesional dan tokoh dalam pro-kontra ajaran khilafah, yang jelas opini khilafah di negeri muslim mayoritas ini terus bergulir tanpa bisa dibendung. Terlebih sejak dicabutnya BHP Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh kemenkumham pada 2017 tahun lalu. Bagaimana ini bisa terjadi?
Sulit untuk dibantah bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Dalil-dalil kewajiban penegakannya pun menjadi sandaran yang kuat, meski tak menampik ada sebagian kalangan masih kekeh meragukan kewajiban ini. Kalangan ulama dan pesantren tak ketinggalan turut turun gelanggang. Perang dalil semakin menggelorakan diskursus seputar khilafah di Indonesia.
Selain topik kewajiban diskursus khilafah berhasil membuka jejaring diskusi seputar kemampuan khilafah menjadi problem solving problematika umat Islam dunia. Tatanan kehidupan kapitalistik-sekuleristik yang senyatanya digawangi oleh Barat telah merenggut kebahagiaan muslim di berbagai belahan dunia terutama negeri-negeri Islam.
Berlangsung kehidupan muslim yang jauh dari standar manusiawi seperti duka pengungsi Rohingya, hilangnya hak beragama muslim Iughur, perampasan tanah Palestina oleh Israel, invasi militer di Suriah, kelaparan di Yaman, serta kemiskinan dan hutang luar negeri negara kaya SDA seperti Indonesia.
Ketidakadilan global menjadi ancaman serius abad ini. Selama Barat tetap mempertahankan kelumpuhan ideologi kapitalisme-sekulerisme dalam menata dunia, selama itu pula seruan khilafah solusi problematika dunia akan semakin diterima kaum terdidik di Indonesia.
Dan keuletan para penyeru khilafah membahas tema-tema kontemporer berskala lokal, regional bahkan internasional dalam bingkai konseptual khilafah menjadi daya tarik tersendiri. Di sinilah para intelektual sekaligus profesional terbangun greget politiknya untuk turut memberikan respon. Gesekan pemikiran yang dinamis ideologis pelan namun pasti berhasil menyeret mereka tanpa paksa memasuki kawah candradimuka pergolakan politik.
Walhasil narasi khilafah dan radikalisme sebagai ancaman global yang dipromosikan Barat hampir-hampir sukses mengelabui pandangan politik publik di Indonesia, seandainya saja tidak ada narasi balik yang mengcounter proyek keji deradikalisasi terhadap ajaran Islam.
Wujud kekejian proyek ini tampak dalam hakikat konsep Islam moderat yakni menafsirkan ulang setiap ajaran Islam yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Barat sekulerisme, liberalisme, pluralisme dan hak asasi manusia. Sebab selama nilai-nilai ini tidak diterima maka penjajahan (modern) sebagai metode penyebaran ideologi kapitalisme otomatis ditentang oleh muslim.
Untuk itulah RAND Corporation merekomendasikan strategi belah bambu di tubuh kelompok Islam dan antar kelompok Islam. Menyerukan anti perpecahan, menjaga kebhinnekaan dengan cara menghadapi kelompok lain yang tidak satu garis politik serta memberikan stigmatisasi dan labelling. Di Indonesia, diantara labelling yang sangat jahat adalah khilafah memecah belah NKRI, ormas yang menyerukan khilafah dituduh melakukan makar dan kudeta sehingga anggotanya harus dihabisi.
International Crisis Group (ICG) dalam laporannya yang memberikan batasan definisi deradikalisasi “a poorly defined concept but as its most basic, an effort to persuade terrorists and their supporters to abandon the use violence” atau suatu konsep yang didefinisikan dengan buruk, namun paling mendasar untuk membujuk teroris dan para pendukungnya untuk meninggalkan penggunaan cara-cara kekerasan.
Khilafah ajaran Islam dan Islam bukan agama yang mengajarkan terorisme. Jika demikian seharusnya gagasan konseptual khilafah yang dinarasikan dengan cara-cara pemikiran, politik, tanpa kekerasan dan mengedepankan dialog, oleh ormas-ormas Islam tidak termasuk dalam target sasaran proyek deradikalisasi. Artinya deradikalisasi adalah proyek gagal salah alamat. Gagal mendefinisikan konsep, serta gagal menetapkan target, tujuan dan sasaran.[MO/an]