Oleh : Nina (IRT, Cipacing)
Mediaoposisi.com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan CEO Lippo Group James Riady sebagai saksi kasus dugaan suap pengurusan izin proyek pembangunan Meikarta, di Cikarang, Kab.Bekasi, Selasa 30 Oktober 2018.
James bakal diminta keterangannya untuk 9 tersangka suap izin megaproyek milik Lippo Group itu. Sebagaimana diketahui salah satu dari 9 tersangka adalah Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, Neneng diduga dijanjikan uang Rp. 13 M oleh pengembang Lippo Group. Penyerahan uang baru sebesar Rp. 7 M melalui sejumlah pejabat di Bekasi.
Meikarta yang dipromosikan sebagai komplek hunian untuk kalangan menengah ke bawah. Dikata-kan bahwa Meikarta tak sekadar perumahan. Tapi kota mandiri yang menawarkan berbagai fasilitas dan infrastruktur menarik. Namun kini, image Meikarta agak sedikit memburuk.
Dikarenakan berita suap terkait izin pembangunannya. Meski demikian, pihak pengembang mengatakan akan terus melanjutkan pembangunan agar para konsumen tidak kecewa.
Kembali terulang pejabat yang melakukan tindakan korupsi.
Mengapa kasus ini seolah tak pernah berhenti? Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri, Akmal Malik menilai ada banyak faktor kepala daerah tersandung kasus hukum, khususnya tindak pidana korupsi. Salah satu faktor adalah utang piutang politik.
Akmal mengatakan persoalan utang politik menjadi alasan umum bagi para kepala daerah melakukan praktik koruptif. Akmal bahkan menyebutkan, piutang politik ditanggung kepala daerah sejak mencalonkan hingga selesai masa jabatan.
Guna melunasi biaya politik, Akmal mencatat ada 2 modus yang dijadikan kepala daerah melunasi utang politik yakni memainkan sektor perizinan dan APBD.
Sudah sejak lama pula, pelaku usaha/pemilik modal berperan dalam menyukseskan agenda politik di tanah air. Fakta membuktikan, kekuasaan sangat ditentukan oleh para pengusaha dengan modal kuat. Untuk kampanye pilpres beberapa tahun lalu saja, biayanya mencapai triliunan rupiah.
Yang terjadi saat ini adalah simbiosis mutualisme antara pengusaha dan penguasa. Ketika sudah menjabat, bukan urusan rakyat lagi yang dipikirkan. Bisa jadi lebih berpihak kepada pemilik modal dengan memuluskan usaha mereka.
Sedangkan rakyat terlupakan. Selain itu, rakyat tambah menderita dengan berbagai kebijakan yang dibuat penguasa.
Misal pengurangan / pencabutan subsidi BBM, kenaikan TDL, biaya kesehatan dan pendidikan yang semakin tak terjangkau. Kampanye yang awalnya terasa manis namun berakhir dengan kenyataan pahit.
Islam memandang bahwa kekuasaan adalah sebuah amanah. Penguasanya pun harus bersifat amanah pula. Bahkan Allah SWT mengancam bagi penguasa yang berdusta atau khianat.
"Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan surga untuknya. (HR. al-Bukhari & Muslim).
Penguasa dalam Islam tak boleh mengabaikan hak-hak umat. Islam mencegah pejabat yang memen-tingkan kepentingan sendiri guna mempertahankan kekuasaan dan menumpuk kekayaan.
Sikap amanah penguasa tercermin dari tata cara mengurusi masyarakat berdasarkan aturan Allah dan rasul-nya. Ia pun tak akan mengeluarkan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Cukuplah hadits berikut sebagai pengingat, "Pemimpin (penguasa) adalah pengurus rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya" (HR. Bukhari & Muslim).[MO/ge]