Oleh: Maya
Mediaoposisi.com-Sungguh malang nasibmu duhai kaum hawa. Feminisme dan persamaan gender yang kau perjuangkan nyatanya tak mampu mengangkat derajat mu, alih alih menambah beban di pundak mu.
Iming iming gelimang harta dari upah kerja kau tergiur, dan sekarang misi penjaga perdamaian dunia pun kau diminta untuk ikut campur.
Entah ini merupakan suatu prestasi atau justru patut dikasihani. Kaummu kini dicatut sebagai salah satu isu deklarasi politik dalam KTT Perdamaian Dunia yang digelar PBB guna memperingati ulang tahun ke 100 Nelson Mandela (Koran Jakarta 26/9).
Fakta ini diperkuat dengan pernyataan menteri luar negeri Retno LP Marsudi ketika mendampingi Wapres Jusuf Kalla dalam briefing wartawan Indonesia. Katanya, pertemuan di Montreal Kanada membahas upaya untuk meningkatkan jumlah perempuan ke wilayah konflik dan pasca konflik.
Menurut Menlu Retno, selain totalnya sekarang yang hanya tiga persen menurut data PBB, kebutuhan akan perempuan ini juga ditilik dari kelebihan yang mereka miliki.
Seperti kemampuan persuasi, penerimaan oleh masyarakat lokal, serta perlindungan bagi kalangan sipil dari kekerasan seksual serta kekerasan berbasis jender.
Di samping itu, partisipasi perempuan juga dibutuhkan dalam memerangi aksi terorisme dan melawan aksi radikalisme. Mereka sangat bermanfaat untuk merespon fenomena pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi terorisme yang marak terjadi beberapa waktu terakhir.
Namun benarkah keterlibatan perempuan bisa meredam konflik antar negara? Jika menilik pada kondisi hubungan internasional saat ini, rasanya begitu mustahil kedamaian hakiki bisa terwujud.
Mengapa? Karena sistem kapitalisme menghendaki terjadinya pengumpulan kekayaan semaksimal mungkin, baik atas diri individu maupun negara.
Dalam skala negara, maka keinginan mendominasi negara lain adalah hal yang sudah pasti terjadi. Dengan begitu, suatu negara tidak akan merasa berdaulat atas negerinya sendiri mengingat ekonomi dan segala peraturan perundangan sudah berada dalam cengkraman asing.
Bahkan, cara keji seperti pembantaian pun bisa dibenarkan demi memenuhi hasrat illegal itu.
Ironisnya, negara negara serakah tersebut selalu mengklaim diri mereka sebagai pelopor perdamaian dunia. Padahal sejatinya, tidak ada kesepakatan damai yang dikehendaki kecuali apabila ia membawa keuntungan.
Hal ini terbukti dengan keterlibatan mereka dalam menciptakan dan memasok senjata ke negara negara konflik. Sebuah hasil penelitian terbaru dari Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) menunjukkan pasokan senjata asal Amerika Serikat dan Rusia meningkat 14 persen dari periode 2011-2015.
Benar benar kejam. Kapitalisme, sebagai sebuah ideologi yang tengah diemban oleh hampir seluruh negara nyatanya tak hanya mengeksploitasi perempuan dari sisi ekonomi, tapi juga perdamaian. Fitrah mereka yang harusnya dijaga baik fisik dan kehormatannya,
harus berputar haluan sebagai pihak penjaga. Bahkan dalam skala dunia. Akibatnya, tengok saja. Perempuan sebagai sistem imun utama dalam menangkal segala kerusakan, perlahan kehilangan marwahnya. Moral dan integritas mereka hancur.
Menggerus seluruh sendi sosial masyarakat lainnya. Tidak bisa dipungkiri, hidup dibawah naungan perdamaian merupakan cita cita dasar setiap manusia. Karenanya, segala daya upaya akan dikerahkan demi terwujudnya kata damai tersebut.
Sayang, upaya upaya ini seringkali berujung pada kegagalan mengingat betapa pragmatisnya solusi yang ditawarkan. Bahkan tidak bisa dinalar. Bagaimana mungkin eksistensi perempuan dibutuhkan dalam misi perdamaian dunia,
sementara kemelut konflik yang bersumber dari kapitalisme tak hentinya disulut. Oleh karena itu, dibutuhkan kekuatan besar yang bisa menandingi, bahkan memadamkan api kapitalisme. Dan kekuatan itu hanya dimiliki Islam.
Berkaca pada sejarah kekhalifahan, dimana penerapan Islam secara totalitas mampu menghantarkan manusia pada puncak mercusuar tertinggi peradaban, sekaligus diperhitungkan dalam kancah internasional,
maka titik inilah yang mustinya diperjuangkan. Bukan untuk meraih ambisi prestis duniawi sebagaimana imperialis barat, namun semata mata demi futuhat untuk dakwah menyebarkan rahmah Islam bagi seluruh alam.
Dan perlu diketahui, kedigdayaan ini jua yang akan memustahilkan keterlibatan perempuan mengemban tugas berat seperti menjaga perdamaian dunia.
Sehingga dengan begitu, peran perempuan bisa dikembalikan pada fitrahnya yakni sebagai pengatur rumah tangga dan pembentuk generasi penerus yang militan/loyal terhadap Islam.[MO/sr]