Oleh: Lailin Nadhifah
(Lingkar Studi Perempuan Dan Peradaban)
Mediaoposisi.com- Sandiaga Uno, kandidat wakil presiden nomor urut 02, menyebut ibu-ibu rumah tangga memiliki peran penting dalam perekonomian. "Saya punya data: 67 persen atau hampir dua pertiga dari ekonomi kita ditopang ekonomi rumah tangga yang dikendalikan ibu-ibu, oleh emak-emak, oleh ibu rumah tangga," kata Sandiaga disambut tepuk tangan ratusan hadirin di aula Rien Collection, di Jalan Sultan Agung, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu (7/10/2018).
Pernyataan Sandiaga Uno Selaras dengan yang disampaikan oleh Menteri keuangan Sri Mulyani yang menjadi salah satu pembicara dalam sesi diskusi panel yang digelar dalam Pertemuan IMF-World Bank bertajuk "Empowering Women in the Workplace" di Ruang Nusantara, Bali International Convention Centre Westin Nusa Dua Bali, Selasa, 9 Oktober 2018.
Dalam acara tersebut, Sri Mulyani memaparkan mengenai kondisi para pekerja perempuan di Indonesia. Juga pentingnya peran perempuan dalam dunia kerja dan pertumbuhan ekonomi di negaranya. Sri Mulyani sempat menantang Lagarde untuk mengkaji usulannya, yakni kegiatan perempuan dalam mengurus rumah tangga seperti mengasuh anak agar dimasukkan dalam komponen produk domestik bruto (PDB).
Sri Mulyani menyebutkan kegiatan ini memiliki nilai yang tinggi.
Gagasan memberdayakan perempuan, lagu lama yang selalu didendangkan dengan iringan gemerincing musik “pemberdayaan” namuj terdengar sumbang oleh bunyi eksploitasi.
Kapitalis, Eksploitasi Perempuan
Dalam pandangan Kapitalis, perempuan dengan profesinya sebagai manajer rumah tangga, fokus di sektor domestik adalah sumber “petaka” ekonomi. Secara finansial, profesi tersebut tidak menghasilkan keuntungan finansial. Dilihat dari sudut kebutuhan terhadap barang dan jasa jelas butuh untuk dipenuhi.
Terlebih jumlah perempuan hampir sejajar dengan jumlah laki laki, bahkan data lain menyebutkan jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki laki. Perempuan dengan profesinya sebagai ibu rumah tangga (IRT) penyumbang terbesar angka pengangguran. Berarti penyumbang meningkatnya angka kemiskinan.
Sebagaimana pernyataan Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah (Jateng) menyebutkan jumlah pengangguran di Jateng semakin bertambah dalam satu tahun terakhir. Total dari 770.000 orang pengangguran di Jateng, mayoritas merupakan kalangan perempuan.
“Banyak perempuan di Jateng yang memutuskan untuk keluar dari kerjaan. Alasannya karena ingin mengurus atau menjadi ibu rumah tangga. Ini yang membuat tingkat partisipasi perempuan dalam angkatan kerja di Jateng turun,” ujar Margo saat sesi jumpa pers di kantor BPS Jateng, Kota Semarang, Senin (7/5/2018).
Disisi lain, ekonomi kapitalistik senantiasa bergandengan tangan dengan pemerintahan demokrasi yang mengadopsi konsep Reinveting Goverment.
Menurut David Osborne dan Peter Plastrik (1997) dalam bukunya “Memangkas Birokrasi”, Reinventing Government adalah “transformasi system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektifitas, efesiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, system insentif, pertanggungjawaban, struktur kekuasaan dan budaya system dan organisasi pemerintahan”.
Pembaharuan adalah dengan penggantian system yang birokratis menjadi system yang bersifat wirausaha.
Negara dilihat sebagai perusahaan jasa modern yang kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tapi di lain pihak dalam bidang-bidang tertentu memonopoli layanan jasa, namun tetap dengan kewajiban memberikan layanan dan kualitas yang maksimal. Segala hal yang tidak bermanfaat bagi masyarakat dianggap sebagai pemborosan. Warga pun tidak dilihat sebagai abdi lagi, tetapi sebagai pelanggan layanan publik.
Perempuan sebagai warga negara pun harus punya kekuatan finansial untuk memperoleh layanan publik. Semisal, layanan pendidikan, kesehatan, keamanan dan semua fasilitas layanan publik yang lain. Aktivitas di ranah domestik tersebut, menjadikan perempuan tidak memiliki kekuatan finansial. Mereka menganggur, “ongkang-ongkang kaki” di rumah. Dan ini menjadi beban bagi negara.
Karena itu harus ada solusi untuk mengentaskan pengangguran ini. Dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) , perempuan diberdayakan secara ekonomi sehingga terlepas dari pengangguran juga kemiskinan.
Mayoux (2005: 3) mengungkapkan bahwa pengarusutamaan gender adalah sebagai berikut. “Making women’s concerns and experiences integral to the design, implementation, monitoring and evaluation of policies and programmes in all political, economic and social spheres” (Mayoux, 2005: 3). Ini sejalan dengan pendapat Sen (1999) yang mengungkapkan bahwa perempuan sebagai agent of change memiliki peranan penting dalam upaya mengurangi kemiskinan.
PEP, Menjerumuskan Perempuan Dalam Petaka
Realitasnya jauh panggang dari api mengentaskan persoalan perempuan, dengan program PEP . Justru persoalan perempuan semakin komplek bahkan merembet persoalannya kepada keluarga.
Satu sisi, perempuan matang secara finansial. Namun kesibukan dunia kerja membuat kosentrasi pada tugas utama sebagai ibu dan istri terabaikan. Dunia kerja butuh totalitas. Maka yang dikorbankan adalah posisi yang tidak berkonstribusi nyata secara materiil. Pastilah keluarga; anak dan suami.
Hal ini bisa terbaca dari fakta dan data, bahwa tingginya angka perceraian dari tahun ke tahun meningkat seiring masifnya kiprah perempuan di dunia kerja. Seperti yang diberitakan oleh merdeka.com,Anwar Saadi, selaku Kasubdit Kepenghuluan Direktorat Urais dan Binsyar Kementerian Agama membenarkan soal adanya peningkatan angka perceraian di Indonesia dari tahun ke tahun. Kenaikan angka perceraian mencapai 16-20 persen berdasarkan data yang didapat sejak tahun 2009 hingga 2016.
"Jadi memang perceraian ini semakin meningkat dari tahunnya. Meski kenaikan tak melonjak, ini cukup mengkhawatirkan," papar Anwar. Hanya pada tahun 2011, angka perceraian sempat turun, yaitu sebanyak 158.119 dari 285.184 sidang talak tahun sebelumnya.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah mengabarkan soal angka perceraian di Indonesia yang menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Dan angka perceraian tersebut tak kunjung menurun di tahun-tahun berikutnya. Kematangan finansial perempuan kemudian diiringi dengan gaya hidup yang semakin tinggi membuat perempuan mudah melayangkan gugat cerai.
Efek domino yang muncul, anak anak terpapar broken home. Mereka kehilangan sosok orang tua yang mendampingi masa tumbuh kembangnya. Akhirnya membuat mereka mudah terjerumus pada tindakan kriminal, free seks, penggunaan obat terlarang.
Inilah fenomena tumbal berduyun duyunnya perempuan berjibaku di dunia kerja. Sungguh miris. Sangat mahal tebusannya, bahkan dibanding dengan kematangan finansial perempuan.
Islam Dan Khilafah Mengembalikan Perempuan Pada Fitrahnya
Tugas melayani oleh pemerintah, telah ditegaskan sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Tugas utama perempuan dalam rumah tangganya adalah mengasuh, mengatur rumah tangga serta mendidik anak-anaknya. Di samping itu, ia juga mempunyai pekerjaan mulia untuk mengawal jiwa dan akhlak keluarga untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pada dasarnya ibu sebagai madrasah awal dan utama pada anak-anak yang akhirnya menghantar mereka menjadi pribadi mulia dan pemimpin yang sholeh.
Kewajiban tersebut Rosulullah SAW tegaskan dalam sabdanya “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang Imam (pimpinan) adalah pemimpin dan ia akan dimintai pertanggung jawaban dari apa yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang khadim (pembantu) adalah pemimpin pada harta tuannya (majikannya), dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (Bukhari dan Muslim).
Khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang berlandaskan kepada aqidah Islam, bertanggung jawab sepenuhnya terhadap realisasi kewajiban perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.
Pandangan Islam terhadap perempuan sebagaimana pandangan terhadap laki laki, bahwa keduanya memiliki kebutuhan hidup berupa ; sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhinya baik langsung maupun tidak langsung.
Langsung, semisal penyediaan sarana dan pra sarana pendidokan, kesehatan dan keamanan gratis dari negara khilafah. Secara tidak langsung, khilafah m emastikan realisasi tanggung jawab para laki laki sebagai suami dan kepala rumah tangga dengan menyediakan lapangan pekerjaan. Dan memberikan sanksi tegas bagi yang menyegaja mengabaikan.
Islam tidak membebankan solusi kemiskinan kepada perempuan, Islam tidak menyematkan label pengangguran kepada perempuan dengan fitrahnya sebagai ibu dan istri. Islam tidak menganggap sebuah kebodohan, pilihan perempuan fokus kepada wilayah domestik.
Sebaliknya Islam memberikan penghargaan luar biasa kepada perempuan dengan profesinya sebagai ibu dan istri dengan menyamakan.pahala yang didapatnya sebagaimana pahala jihad yang biasa disandang laki laki yang meninggikan kalimatul haq di medan perjuangan.
Sebagaimana kisah ketika, Ibnu Abbas pernah diutus oleh para sahabat perempuan (shahabiyah) guna bertanya kepada Rasul perihal apakah mereka juga bisa mendapat pahala sebagaimana para lelaki yang berangkat berjihad. Rasul menjawab, tugas yang dikerjakan oleh istri berupa mengurus rumah, membesarkan anak, dan lain sebagainya, sederajat pahalanya dengan jihad di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.[MO/sr]