Oleh : Alfira Khairunnisa, A.Md. Kom.
Mediaoposisi.com- Ditengah defisitnya anggaran Riau, anggota DPRD Riau masih saja menyempatkan diri berangkat ke luar negeri. Meski tanpa diketuai oleh ketua DPRD Riau, Septina Primawati Rusli.
Keberangkatan para anggota dewan ini dibagi dalam 3 rombongan, 2 rombongan ke Rusia dan 1 rombongan ke Argentina.
Dari tiga delegasi tersebut diketahui bahwa agendanya pada tanggal 17-23 September ke Rusia, kemudian tanggal 29 hingga 2 Oktober ke Argentina dan tanggal 17-23 Oktober ke Rusia lagi.
Luar biasa bukan? Perjalanan dinas ini dilakukan saat kondisi anggaran di Pemerintah Provinsi Riau saat ini sedang defisit, dan kondisi itu tidak menyurutkan wakil rakyat untuk bepergian perjalanan dinas ke luar negeri, meskipun selama ini hasil yang didapat dari perjalanan dinas luar negeri itu nihil bagi Riau.
Padahal, kunker anggota DPRD selama ini minim dari target dan visi yang jelas karena tidak ada transparansi mengenai agenda tersebut, termasuk tidak adanya laporan setelah agenda Kunker tersebut dilaksanakan. Hal ini tentu sangat jauh dari profesionalitas dan amanah sebagai Wakil rakyat. Bukankah anggaran tersebut menggunakan anggaran dari Uang Rakyat?
Demokrasi Pencetak Wakil Rakyat Yang Tidak Merakyat
Sistem Demokrasi memang didesain menyediakan ‘wakil-wakil rakyat’ yang bukan Wakil rakyat. Bagaimana tidak? Sungguh dalam kondisi anggaran APBD defisit, wakil rakyat tidak peka terhadap kondisi rakyat yang terkena dampak langsung dari defisit APBD tersebut. seperti ancaman perumahan pegawai honorer, pengurangan anggara dinas-dinas kota/kabupaten, dan sebagainya. Ketidak pekaan ini muncul akibat sistem yang buruk pula. Sehingga melahirkan wakil-wakil rakyat yang jauh dari mewakili rakyat. Miris bukan?
Pengelolaan Dengan Sistem Terbaik
Anggaran defisit seperti ini adalah problem universal. Artinya, dapat terjadi di daerah manapun, bahkan negara manapun tanpa melihat ideologinya, apakah di negara kapitalis-sekular, negara sosialis/komunis, maupun di negara Khilafah yang menerapkan syariah Islam secara kaffah (komprehensif). Hanya saja yang berbeda hanyalah faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.
Di Negara-negara kapitalis, termasuk di dunia Islam terdapat 4 faktor umum yang menyebabkan defisit anggaran yaitu: pertama; belanja pertahanan yang tinggi. Kedua; subsidi yang besar, belanja sektor publik (seperti belanja birokrat) yang besar dan tak efisien. Keempat; korupsi dan pengeluaran yang boros (Monzer Kahf, 1994).
Pendapatan dan pembelanjaan Negara dan Daerah terpusat dengan persetujuan khalifah, serta terdapat pos-pos pengeluaran yang merupakan prioritas, yaitu harus selalu tersedia dananya. Misalnya pembayaran Upah pegawai Negara, Militer, dan lain-lain.
Sistem Islam juga menuntaskan bagaimana penyelesaian defisit anggaran Negara ketika Baitul Mal sedang kosong
Dalam sejarah dunia, Sistem Islam tercatat mampu mengatasi berbagai persoalan, dalam rangka menyiasati anggaran defisit bagi bangsa ini, dari segi penerimaan: Pertama, penyitaan asset yang dimiliki oleh koruptor. Kedua, optimalisasi dana zakat, infak, shadaqah dan wakaf dan Pengetatan pengingkaran pajak sehingga penerimaan pajak bisa maksimal.
Selanjutnya dari segi pengeluaran: Penghematan pada setiap pengeluaran baik pengeluaran rutin maupun pembangunan. Penghematan pada pengeluaran rutin dilakukan oleh departemen teknis, misalnya untuk pengeluaran listrik, telepon, alat tulis, perjalanan dinas, rapat-rapat, seminar, dan sebagainya tanpa mengurangi kinerja dari departemen teknis yang bersangkutan.
Selain itu efesiensi belanja pemerintah untuk fasilitas pejabat Negara. Dalam konsep islam, pejabat adalah pelayan publik, sehingga tidak adil jika pejabatnya harus bermewah-mewahan ditengah masyarakat yang kekurangan.
Sistem Islam Solusi Tuntas Mengatasi Defisit Anggaran
Pendapatan Negara mungkin saja tidak cukup untuk membiayai semua pengeluaran yang ada sehingga terjadilah defisit anggaran. Cara Islam mengatasi defisit anggaran ini secara garis besar ada 3 (tiga) langkah, yaitu sebagai berikut:
Pertama, meningkatan pendapatan. Untuk mengatasi defisit anggaran, dalam Islam, Khalifah berhak melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, tentunya harus tetap sesuai hukum-hukum syariah Islam. Paling tidak ada 4 cara yang dapat ditempuh:
(1) Mengelola harta milik negara(istighlal amlak ad-dawlah). Misalnya saja menjual atau menyewakan harta milik negara, seperti tanah atau bangunan milik negara. Sistem Islam membolehkan menjual atau menyewakan tanah-tanah di dalam kota untuk membangun pemukiman, pasar-pasar, gudang-gudang, dan sebagainya. Juga membolehkan.mengelola tanah perkebunan milik negara, baik sebagian atau seluruhnya, dengan akad musaqah, yakni bagi hasil dari merawat pohon, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. di Tanah Khaibar, Fadak, dan Wadil Qura.
Sistem Islam juga dapat mengelola tanah pertanian milik negara, dengan membayar buruh tani yang akan mengelola tanah pertanian tersebut.
Semua dana yang yang diperoleh dari pengelolaan harta milik negara di atas akan dapat menambah pendapatan negara. Namun, ada catatan penting, bahwa ini tak berarti negara menjadi pedagang atau pebisnis yang berpikir dan bertindak sebagaimana lazimnya pedagang atau pebisnis, yaitu selalu berusaha mencari profit dan menghindari risiko atau kerugian. Negara dalam hal ini wajib tetap mengedepankan fungsinya menjalankanri’ayatus-syu‘un (pengaturan urusan rakyat). Dengan demikian ketika negara berbisnis harus tetap menonjolkan misi utamanya melaksanakan kewajibanri’ayatus-syu‘un (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 86-87).
(2) Melakukan hima pada sebagian harta milik umum. Yang dimaksud hima adalah pengkhususan oleh sistem Islam terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus, dan tidak boleh digunakan untuk keperluan lainnya. Misalkan saja melakukan hima pada tambang emas di Papua untuk keperluan khusus, misalnya pembiayaan jihad fi sabilillah dan apa saja yang terkait dengan jihad. Karena itu segala pendapatan dari tambang emas Papua itu hanya boleh digunakan untuk keperluan jihad atau yang terkait dengan jihad, seperti pembangunan akademi militer, pembelian alutsista (alat utama sistem persejataan), pembiayaan latihan militer, dan sebagainya. Jadi pendapatan dari tambang Papua itu tak boleh digunakan untuk keperluan lainnya, misalnya untuk mengentaskan kemiskinan, atau membiayai pendidikan, dan sebagainya.
Hima yang seperti ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., misalnya tatkala Rasulullah saw. melakukan hima pada satu padang gembalaan di Madinah yang dinamakan An-Naqi’, khusus untuk menggembalakan kuda kaum Muslim. Khalifah Abu Bakar ra. pernah pula melakukan hima pada Ar-Rabdzah, khusus untuk unta-unta zakat, dan sebagainya. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm. 76-77).
(3) Menarik pajak (dharibah) sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah Daerah atau Negara yang bersifat tetap, melainkan pendapatan negara yang sifatnya insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi.
Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.
Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu:
(1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah;
(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;
(3) untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya, dll;
(4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122).
Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat:
(1)diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat;
(2) hanya diambil dari kaum Muslim saja;
(3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna;
(4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242).
(4) Mengoptimalkan pemungutan pendapatan, dapat pula menempuh langkah mengoptimalkan pemungutan berbagai pendapatan Baitul Mal yang sebelumnya sudah berlangsung.
Misalnya pendapatan dari zakat, fai‘, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya. Bisa jadi pemungutan sudah dilakukan, tetapi tidak optimal karena berbagai sebab, mungkin karena kurang profesionalnya staf Baitul Mal, atau ada sebagian hasil pemungutan yang digelapkan atau dikorupsi, atau ada kesalahan pencatatan dan perhitungan, dan sebagainya. Yang bertanggung jawab dalam optimalisasi pemungutan ini adalah dua organ Baitul Mal, yaitu Diwan Muhasabah ‘Aammah(Divisi Perhitungan Umum) dan Diwan Muraqabah (Divisi Pengawasan). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 24).
Kedua, menghemat pengeluaran. Cara kedua untuk mengatasi defisit anggaran adalah dengan menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya penyempurna, atau yang disebut Al-Mashalih al-Kamaliyah, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya (dharar) bagi rakyat (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/125).
Misal: perluasan jalan raya yang tidak mendesak, yaitu jika jalan tak diperluas tak menimbulkan masalah pagi pengguna jalan; atau membangun rumah sakit baru yang tak mendesak karena rumah sakit yang ada masih mencukupi; atau membangun jembatan kedua padahal jembatan pertama masih layak dan masih mampu menampung volume lalu-lintas; atau menyediakan baju atau mobil dinas baru bagi pimpinan Negeri dan aparat pemerintah lainnya, padahal baju dan mobil dinas yang lama masih layak.
Ketiga, berutang (istiqradh). Dalam Islam, secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat hukum-hukum syariah. Haram hukumnya mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Alasan keharamannya ada 2 (dua):
(1) Utang-utang luar negeri itu pasti menarik bunga, yang jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan dalam al-Quran (QS al-Baqarah [2]: 275).
(2) Utang luar negeri itu pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang. Hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum Muslim (QS an-Nisa‘ [4]: 141). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah, hlm. 76; Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyyah Al-Mutsla, hlm. 200-207).
Dalam sistem Islam, hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya (dharar) jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu:
(1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah;
(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;
(3) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. Pada tiga macam pengeluaran ini, jika dana tidak cukup di Baitul Mal, pada awalnya Khalifah boleh memungut pajak. Jika kondisi memburuk dan dikhawatirkan dapat muncul bahaya (dharar), boleh berutang (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122-123).
Dengan demikian, defisit akan dapat dituntaskan dengan sistem yang sudah terbukti dapat memberi solusi tuntas atas segala problem yang dihadapi baik di daerah maupun Negara. Maka sudah saatnya Negeri ini beralih kepada sistem yang dapat menyelesaikan segala problematika dan dapat menyejahterakan rakyat.[MO/sr]