Pipit Agustin
(Akademi Menulis Kreatif Regional Jatim)
Korupsi kini bukan lagi kasus, melainkan telah menjelma menjadi pola sistemik politikus. Para pejabat publik berbagai level berbondong-bondong melakukan praktik korupsi. Tindak pidana korupsi seolah kian digemari.
Sepanjang Republik ini berdiri melewati berbagai era dan rezim, kisah tentang korupsi senantiasa menyertai. Bahkan kini makin bervariasi. Entah jumlahnya yang fantastis maupun drama lanjutannya di dalam bui.
Betapa tidak, meski para koruptor telah menjadi napi, ia bebas melenggang keluar masuk bui, melancong ke luar negeri dan bahkan menikmati fasilitas wah di dalam kamar selnya. Belum kelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut satu korupsi, muncul lagi dan lagi korupsi di tempat lain.
Data korupsi sepanjang tahun 2018 memperkokoh posisi negeri ini sebagai juaranya korupsi di Asia.
Pada Februari 2018, atau belum genap dua bulan diawal tahun sebanyak tujuh kepala daerah terlibat korupsi (nasional.kompas.com/15/2/2018).
Sementara itu, hingga April 2018, jumlahnya naik menjadi 10 kepala daerah yang terlibat korupsi (detik.com/14/4/2019). Hingga Juli 2018, jumlahnya naik lagi menjadi 19 kepala daerah terjerat korupsi (nasional.kompas.com/19/7/2018).
Di level desa, hingga Maret 2018, kasus korupsi telah mencapai 100 kasus (jambi.tribunnews.com/20/3/2018).
Belum lama ini KPK menangkap aktor baru, Idrus Marham yang kini mengundurkan diri dari jabatan Menteri Sosial sekaligus mundur dari kepengurusan Partai Golkar sebab menjadi tersangka kasus korupsi. Nama Idrus Marham menyambung nama-nama politisi dan pejabat publik pada episode korupsi sebelumnya. KPK menduga ada keterkaitan Idrus Marham dalam kasus dugaan suap pada proyek pembangunan PLTU Riau-1. Dia diduga menerima suap sebesar Rp. 500 juta (Tribunnews.com/26/8/2018). Indonesia patut 'berdecak kagum'.
Semua itu menunjukkan kepada kita betapa korupsi memiliki ruang subur dan lapang dalam sistem kapitalisme khususnya sistem politik demokrasi. Sistem yang telah melegalkan kelalaian negara sedemikian rupa agar menjadi sesuatu yang legal dan tidak melanggar ketentuan. Lihat saja, segala upaya pemberantasan korupsi selalu menemui jalan sukar dan berliku bahkan jalan buntu karena justru negaralah yang menjadi aktornya. Kalau sudah begini, bagaimana korupsi bisa disudahi?
Sebagaimana diketahui bersama, sistem politik demokrasi telah menimbulkan biaya tinggi, baik biaya ekonomi maupun biaya politik. Hanya uang yang dapat memenangkan pertarungan, baik level penguasa, birokrasi, dan sebagainya termasuk untuk membeli suara rakyat agar memenangkan pertarungan perebutan jabatan.
Demokrasi mengharuskan calon penguasa menyediakan biaya politik bagi kekuasaan yang akan diraihnya. Bahkan diakui oleh Menteri Dalam Negeri kala itu, Gamawan Fauzi bahwa kasus korupsi yang selama ini membelit kepala daerah tak lepas dari besarnya dana kampanye. Dan tidak mungkin para pejabat publik yang terpilih saat pemilu mampu mengembalikan biaya kampanyenya yang lebih tinggi dari gaji resminya kecuali dengan jalan korupsi.
Kondisi ini tidak bisa dibiarkan lama. Selagi ada kemauan, korupsi bisa diselesaikan. Semua itu hanya mungkin dilakukan dengan mengganti sistem yang menjadi penopangnya.
Islam mempunyai cara efektif mencegah dan memberantas korupsi secara tuntas. Diantaranya, pertama, melalui mekanisme penetapan gaji yang layak bagi aparatur negara. Gaji dan tunjangan yang layak adalah yang mampu mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.
Kedua, larangan menerima suap dan hadiah. Selama ini hanya berlaku di atas kertas dan sebatas di bibir saja. Namun, ketika ketaqwaan individu tinggi, cukuplah peringatan hadist Nabi mampu mencegahnya dari menerima suap, yaitu: "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah haram dan suap yang diterima hakim adalah kufur. " (HR. Imam Ahmad).
Ketiga, teladan pemimpin. Pemimpin harus bersih dari korupsi. Sebagaimana Khalifah Umar yang menyita unta gemuk milik putranya sendiri karena kedapatan digembalakan bersama di padang rumput milik Baitul Mal. Bagi Umar, ini adalah penyalahgunaan fasilitas negara sehingga harus ditindak. Sementara sekarang justru banyak pemimpin yang jadi koruptor.
Keempat, penghitungan kekayaan dan pembuktian terbalik. Bila terdapat kenaikan harta yang tidak wajar selama menjabat dan tidak dapat dibuktikan, maka harta itu akan disita negara.
Kelima, hukuman yang setimpal.
Selama ini pidana pelaku korupsi tidak membuat jera karena hukumannya ringan dan tidak menjerakan. Dalam islam koruptor dikenai hukuman ta'zir berupa pewartaan kepada publik atau bahkan diarak keliling kota. Sekarang mungkin via layar kaca maupun sosial media, penyitaan harta, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keenam, kontrol masyarakat. Masyarakat yang mulia akan peduli dengan sekitarnya, turut mengawal jalannya pemerintahan dan menolak segala bentuk suap-menyuap. Tidak seperti sekarang, masyarakat bersikap acuh, bahkan sebagian malah terlibat suap-menyuap.
Korupsi seolah menjadi lingkaran setan. Padahal pangkal sesungguhnya adalah sistem kehidupan yang kapitalistik sekular, yang memisahkan agama (islam) dari kancah kehidupan.
from Pojok Aktivis