Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
Dari Batam hingga Pekanbaru, dari Surabaya ke mana berlabuh? Kekerasan sosial kembali terjadi sebagai aksi-reaksi perang tagar 2019 Ganti Presiden dan 2019 Tetap Jokowi.
Kekerasan sosial sampai Agustus 2018 sebenarnya telah mencapai klimaksnya atau justru baru tahap konflik? Bukankah keduanya sebenarnya sepakat mengusung model suksesi kepemimpinan demokrasi, namun sayangnya gagal sepakat untuk membingkai cara-cara damai dan santun.
Para elitnya duduk menyerukan pilpres dan pemilu aman, sementara para relawannya memiliki kehendak terpisah dengan para elitnya. Bagi relawan "junjunganku harga mati" tak bisa ditawar lagi.
Sementara di luar perang tagar, tanpa suara tagar Ganti Sistem yang dinilai radikal oleh sebagian pihak justru terus bergerilya secara terbuka tanpa mampu dideteksi kekuatan pengaruhnya. Tuduhan gerakan #GantiSistem menunggangi #2019GantiPresiden justru menjadi blunder pengakuan eksistensi pengusungnya yakni HTI setelah sebelumnya dinyatakan "mati".
Penulis meyakini, kekerasan sosial yang akan muncul akibat perang tagar ini kedepannya akan semakin banyak menghiasi laman-laman media lokal, nasional bahkan internasional. Dan yang tak kalah seru apa yang terpublikasi melalui sosial media.
Mengutip pernyataan Gaetano Mosca, “Apa yang terjadi pada bentuk pemerintahan lain—dimana minoritas yang terorganisir memaksakan kehendaknya terhadap mayoritas yang tidak terorganisir—juga terjadi secara sempurna pada sistem representasi, meski penampakannya nampak tidak seperti itu. Ketika kita mengatakan bahwa pemilih memilih wakil mereka, kita telah menggunakan bahasa yang sangat tidak tepat. Yang terjadi sebenarnya adalah sang wakil-lah yang membuat dirinya dipilih oleh para pemilih.”
Tampaknya inilah jawaban mengapa kekerasan sosial di negeri mayoritas muslim ini terus menerus terjadi setiap menjelang pemilu maupun pilkada.
Walhasil, banyaknya kekerasan sosial dalam bingkai negara demokrasi yang terjadi dewasa ini menunjukkan kegagalan demokrasi membangun nalar sehat publik. Bahkan sangat mungkin untuk kemudian memberi stempel demokrasi sebagai sistem yang potensial memunculkan kekerasan.
Dengan demikian benarlah yang dikatakan Thomas Jefferson bahwa demokrasi tidak lain hanyalah aturan rimba, di mana 51% orang merampas hak 49% lainnya. Sementara Winston Churchill menilai bahwa demokrasi adalah sistim yang buruk, tapi ia adalah sistem terbaik di antara pilihan lain yang semuanya buruk.
Di sisi lain bias media Barat yang sekuler sungguh sangat gencar mempromosikan demokrasi dengan cara membunuh citra positif ideologi Islam ( sistem khilafah) sebagai jawaban atas ketidakadilan yang diciptakan sistem kapitalisme-demokrasi yang eksploitatif. Maka saatnya publik beralih menuju nalar sehat, membangun Indonesia lebih baik dengan syariah dalam bingkai khilafah.
from Pojok Aktivis