Oleh: Lika Rosliana, S.Si
Mediaoposisi.com- Perhelatan agung demokrasi tidak hanya memiliki ruang politik yang dinamis, namun juga menyertakan para pelaku politiknya yang pragmatis.
Setelah santer diberitakan banyak kalangan artis yang berbondong-bondong memasuki kancah perpolitikan untuk salah satunya mendongkrak suara partai, di akhir pendaftaran bakal calon legislatif juni lalu, banyak kalangan politisi yang mendaftar kembali untuk menjadi anggota legislatif tahun 2019 dengan partai yang berbeda.
Seperti yang dilansir laman sindonews.com, Setidaknya ada enam belas anggota DPR RI yang kembali mencalonkan diri melalui partai politik berbeda. Sebagian besar wakil rakyat tersebut pindah dari partai asal ke Partai Nasional Demokrat (Nasdem) karena kabarnya dijanjikan pembiayaan dalam jumlah besar saat kampanye.
Beragam hal menjadi alasan sang politisi untuk pindah partai, mulai dari masalah idealisme hingga kesempatan menang yang lebih besar di partai seberang.
Menurut guru besar politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),Syamsudin Haris, fenomena ‘kutu loncat’ para politisi partai ini menjadi ironi demokrasi karena biasanya para politisi ini hanya sekedar mengejar kepentingan sendiri. Pragmatisme politik ini tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, namun juga pada manfaat praktis bagi kehidupan mereka.
Sehingga pihak yang akan menanggung kerugian dari fenomena ini pastilah masyarakat. Suara masyarakat hanya dicari saat pemilu dan pilkada, setelah itu dicampakkan.
Dalam sistem demokrasi, fenomena ini bukanlah hal yang aneh. Karena pada dasarnya, partai politik yang ada sekarang tidak ada yang ideologis sehingga para anggota politiknya juga tidak ada yang bervisi ideologis. Partai politik di sistem demokrasi digunakan sebagai jembatan menuju kekuasaan.
Fungsi partai politik yang seharusnya bisa membina kader-kader yang bervisi ideologis sehingga bisa mengedukasi ummat dengan visi yang diemban parpol dan berjuang mewujudkan visinya dalam kehidupan, nyatanya tidak ada.
Merujuk pada al-quran, surat ali-imran ayat 104 yang berbunyi, ‘Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.’
Partai politik merupakan sekumpulan orang yang seharusnya bergerak atas dasar pemikiran, tujuan, dan arah pergerakan yang sama, yaitu untuk memperbaiki masyarakat dan kehidupan dengan apa-apa yang diridhai Allah-yang tentunya berasal dari islam.
Pemikiran dan metode yang diemban oleh partai politik harusnya ideologis dan berorientasi tidak hanya untuk dunia, tetapi juga untuk akhirat (keridhoan Allah SWT). Dan hal ini tidak akan mungkin dapat terjadi dalam sistem demokrasi yang tidak menerapkan islam.
Masyarakat sebagai faktor komponen dalam politik juga akan dapat merasakan pengaruh dari keberadaan partai politik jika partai politik tersebut ideologis dan berusaha menyelesaikan permasalahan masyarakat dengan solusi islam.[MO/sr]
.