-->

NEGARA DALAM KONDISI DARURAT, SEMUA HARUS MENGAMBIL TINDAKAN PENYELAMATAN

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen



Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.


Karut marut persoalan bangsa kian bertumpuk, dari persoalan penegakan hukum hingga soal ekonomi dan politik. Terakhir, dolar mengamuk hingga nyaris menyentuh angka 15.000/dolar. Hingga kondisi seperti itu, belum juga ada tindakan emergency yang diambil Pemerintah, selain mencari kambing hitam.

Argentina, mendapat giliran dipersalahkan atas melemahnya nilai tukar rupiah. Sebelum itu, pemerintah mengintroduksi teori ekonomi baru, neo ekonomi kepepet. Teorinya menyebutkan, semakin dolar menguat semakin bagus.

Menko maritim Luhut Panjaitan menyebut bukan rupiah yang melemah, tetapi dolar yang menguat. Untuk kelas anak SMA atau mungkin anak kuliah ekonomi semester satu, statement ini bisa dicarikan dalih pembenar. Untuk ekonom sekelas Rizal Ramli, tentu ini pernyataan absurd, tidak memiliki basis teori dan jauh dari fakta empiris dan menentang nalar dan logika sehat.

Soal utang, Rizal bahkan sempat menantang Mbok Sri (panggilan Akrab Menkeu Sri Mulyani), untuk menjelaskan kepada publik tentang "lampu kuning atau bahkan lampu merah" kondisi utang terhadap perekonomian. Setiap target penerimaan pajak di patok APBN, sampai tahun keempat di era pemerintahan Jokowi - JK nyaris selalu meleset.

Komponen pembiayaan negara tidak pernah libur dibiayai utang, baik dengan penerbitan surat utang negara atau pinjaman langsung dari lembaga keuangan internasional dan utang luar negeri. Utang jatuh tempo RI tahun 2018-2019 nilainya mencapai angka Fantastis. Rp. 810 T ! Nilai cicilan dari total utang luar negeri sebesar Rp. 4.800 T. Ini baru utang Pemerintah, belum utang swasta.

Sementara nilai tukar dolar sampai detik ini menyentuh angka Rp. 14,730.00 per dolar. Angka itu terus merengsek naik. Padahal, setiap pertambahan Rp. 100,-/dolar, nilai utang RI otomatis naik sebesar 10,9 Triliun. Ini tentu menjadi tekanan tersendiri bagi dunia usaha.

Seluruh BUMN yang mengelola energi, seperti PLN tentu akan tertekan hebat oleh pelemahan rupiah ini. Industri swasta yang menggunakan bahan baku Import akan terpukul hebat. Proses awal yang harus mereka jalani adalah mengurangi margin keuntungan, mengurangi kualitas produk jika dimungkinkan, baru opsi terakhir menaikan harga jual produk. Jika kenaikan harga jual produk dihukum pasar, maka ancaman kolaps dunia usaha ada didepan mata. Penutupan pabrik-pabrik diikuti PHK besar-besaran, akan menjadi ancaman yang sangat mengkhawatirkan.

Kedigdayaan dolar yang tidak mungkin diintervensi BI karena cekaknya cadangan devisa, memupus harapan stabilitas nilai tukar rupiah pada waktu dekat ini. Ibarat pemadam kebakaran, BI cuma punya satu tangki air untuk menyiram kebakaran hutan ratusan hektar. Bayang-bayang krisis keuangan yang merembat ke krisis pada ekonomi mengancam perekonian negara.

Sayangnya, kondisi genting ini tidak disadari atau cenderung diabaikan Pemerintah. Pemerintah dan DPR masih sempat 'cengengesan' menghadapi ancaman krisis yang sudah didepan mata. Nahkoda kapal, presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan sangat rendah memahami situasi, tidak peka dengan keadaan, dan miskin solusi atas situasi.

Pada saat yang sama, lingkaran kekuasaan justru mengoptimalkan seluruh energi dan alat negara untuk jualan Jokowi dua periode. Persoalan negara yang ada diujung mata tidak difikirkan, proyek mempertahankan kekuasaan yang terus digelorakan.

Pada aspek hukum, kriminalisasi di tahun politik ini makin menggila. Seluruh ujaran kritik pada eksistensi penguasa, di pukul melalui alat negara dengan dalih penegakan hukum.

Gus Nur (Cak Nur) yang awalnya dikriminalisasi melalui laporan polisi di Polda Sulteng, kini dikerjai lagi melalui LP di Polres Surabaya. Pada tanggal 12 September, Gus Nur dipanggil lagi oleh polisi masih dengan pasal karet yang kerap digunakan untuk menjerat aktivis sosmed, pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang kebencian SARA. Tampaknya, tudingan SARA akan menjadi senjata ampuh rezim untuk menekan lawan politik yang jengah pada pengelolaan kekuasaan yang terbukti amatir dan zalim terhadap rakyat.

Kasus Imam besar Habib Rizq Syihab sampai saat ini juga tidak tuntas. Setelah puas di kriminalisasi dan dipersekusi, penguasa mencoba mendekati HRS agar memberian komitmen menopang kekuasaan rezim yang nyaris limbung dan jatuh ini. Aneh, dianggap luka menganga itu akan sirna ditutup handiplast.

Semua elemen Islam dikumpulkan untuk menjadi bagian dari rezim, yang menolak dihantam dengan berbagai kasus lama yang digoreng kembali, atau menggunakan modus kriminalisasi. Tidak sedikit, elemen tokoh dan aktivis Islam yang merapat pada penguasa karena tidak tahan ujian atau terjebak oleh godaan sekerat tulang dunia yang tidak mengenyangkan.

Siapapun yang mengindera persoalan bangsa ini, semua paham bahwa negara sedang dalam keadaan genting. Jika asing, mau melakukan operasi politik dengan modus menggerakan beberapa fund manager, atau mungkin mengulang menyewa Gioerge Soros untuk kembali meluluhkan rupiah, merembet pada krisis keuangan dan berujung pada krisis ekonomi, selesai Sudah.

Ujung operasi politik menggunakan sarana ekonomi ini bisa berimbas pada krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Sampai disini, apakah Pemerintah menyadari hal ini ? Apakah DPR ikut mengontrol dan membaca kemungkinan ini ? Apakah aktivis pergerakan akan diam membiarkan negara menuju jurang kebangkrutan ? Wallahu a'lam. [].

from Pojok Aktivis
Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close