Oleh: Yuyun P. Anwar
Mediaoposisi.com- Mengembalikan Kampus Sebagai Institusi Ilmiah Yang Bermartabat
Akhir-akhir ini kompetensi Menristekdikti menjadi sorotan publik. Pernyataan yang sifatnya tidak lebih sebagai dugaan dan kebijakan yang terkesan over reactive dari sang Menteri, seolah memperkuat merosotnya angka kredibilitas intelektual beliau.
Mengesankan kampus sebagai sarang radikalisme dan pencetak kaum radikal sehingga perlu didata nomor handphone dan media sosial mahasiswa beserta dosennya, merupakan tindakan berlebihan. Bahkan hasil rapat koordinasi forum rektor (25/6/2018) sebelumnya, telah mengizinkan BNPT dan BIN masuk ke kampus.
Hal ini alih-alih mencegah radikalisme, yang ada malah menciptakan teror baru di dunia kampus. Pengamat pendidikan dari Universitas Al Azhar Indonesia Prof. Suparji Ahmad menilai, wacana Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) terkait pendataan nomor handphone (HP) dan media sosial (medsos) mahasiswa sangat berlebihan (Republika, Juni 2018).
Dia pun mengungkapkan, bentuk pengawasan tersebut dapat mengganggu suasana akademik. Koordinator pusat BEM seluruh Indonesia juga memberikan pernyataan yang senada. Mereka menganggap tudingan sejumlah perguruan tinggi diduga terpapar paham radikal tidak berdasarkan data yang valid.
Mereka menilai tidak ada indikator yang jelas dalam mengkategorikan kampus-kampus yang dicap terpapar radikalisme (CNN Indonesia, Juni 2018). Lebih jauh menurut jubir HTI, Ismail Yusanto, upaya tersebut apabila dibiarkan dapat menimbulkan bullying atau perundungan bagi civitas akademika yang telah berkontribusi untuk pendidikan tinggi.
Mereka adalah orang-orang profesional yang sebagiannya merupakan akademisi unggul lulusan AS, Jerman dan Jepang. Ismail Yusanto juga menyatakan bahwa berlebihan Menristekdikti jika menyasar para dosen terkait HTI karena Pemerintah hanya mencabut status hukum HTI (Tribunnews, Juli 2017).
Manakala tuduhan dan kebijakan serampangan ini dilakukan tentu dapat memunculkan tindakan-tindakan persekusi sebagaimana yang sudah menimpa Prof. Dr. Suteki -salah satu Guru Besar Hukum di UNDIP-, hanya karena bersedia menjadi saksi ahli pada sidang HTI.
Sebuah pilihan yang sama sekali tidak perlu dianggap membahayakan karena didasarkan bidang kepakaran atau kelimuan yang beliau miliki. Sebagai seorang akademisi, itu semua dilakukan semata-mata sebagai bentuk profesionalisme tinggi dari tanggung jawab keilmuan beliau.
Sedikit mengutip dari laman Wikipedia, Suteki dikenal sebagai dosen yang berprestasi. Dia pernah mendapat predikat sebagai Dosen terbaik di tahun 2006, 2008 dan 2009.
Pernah pula menjabat sebagai Sekretaris II Program Kenotariatan UNDIP dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum UNDIP. Meski telah mengajar Pancasila selama 24 tahun, tidak mampu mencegahnya dari tuduhan sebagai anti-Pancasila dan anti-NKRI hingga berakhir dengan penonaktifan.
Suteki menilai pencopotan sementara jabatan terhadap dirinya terlalu dipaksakan oleh Undip hanya karena tekanan publik di media sosial tanpa melihat realitasnya.
Terlebih, beliau mengaku belum pernah dimintai klarifikasi. Menurutnya musti ada ruang untuk diskusi, di manapun, baik di dalam maupun di luar kampus agar persepsi saling dipahami sehingga tidak berakhir dengan persekusi layaknya yang beliau alami (CNN Indonesia, Juni 2018).
Insiden ini benar-benar merendahkan kehormatan (marwah) kampus sebagai pusat kaum intelektual. Bahkan kasus Suteki menjadi bukti bahwa institusi ilmiah sudah kehilangan marwah sebagai lembaga pencerdasan umat dan justru tunduk dalam agenda membungkam sebuah ide dan wacana (baca: Islam politik).
Sejak dicabut nya badan hukum HTI, ide Khilafah dianggap berbahaya bagi negeri ini bahkan sekedar untuk didiskusikan sebagai sebuah gagasan. Padahal secara perundang-undangan, tidak ada satupun pasal yang menegaskan pelarangan tersebut. Sebagaimana pelarangan atas Marxisme, Leninisme dan Komunisme.
Karena Khilafah sesungguhnya tidak lebih sebagai bagian dari ajaran Islam yang melekat dengan umat Islam. Diakuinya Islam sebagai agama di negeri ini bahkan mayoritas, mustinya juga menaruh pengakuan atas ajaran-ajarannya termasuk Khilafah sebagai bagian dari Syari'at Islam dalam perkara politik pemerintahan.
Tak bisa dipungkiri, gambaran Islam politik yang termuat dalam bingkai Khilafah akhir-akhir ini telah menyedot perhatian masyarakat terutama kaum intelektual. Mereka yang sudah jengah dengan kepalsuan dan tipuan demokrasi, tergugah kesadaran intelektualitasnya untuk mencari solusi solutif bagi negeri ini.
Ketika model sistem pemerintahan dari ideologi Sosialisme-Komunisme dan Kapitalisme telah terbukti gagal, sangat realistis jika pada akhirnya Khilafah dilirik sebagai solusi yang menjanjikan. Daya kritis kaum intelektual tidak bisa dihentikan hanya dengan bertahan pada sistem demokrasi meski ganti personal pemimpinnya.
Karena masalah utama problem hari ini justru terletak pada penerapan ideologi Kapitalis-Demokrasi yang memberikan kebebasan bagi si Kaya atau pemodal untuk menguasai si Miskin atau yang tidak memiliki modal banyak.
Itulah mengapa kampus sebagai institusi ilmiah yang memiliki daya kritis terhadap situasi yang ada, bersifat terbuka menerima kebenaran dan tempat pengkajian ide termasuk solusi atas negeri ini, musti dijaga dan dilindungi eksistensinya oleh negara. Bukan malah dituduh sebagai sarang radikalis.
Lalu dengan serta-merta -merasa berhak- mengawasi kampus, melacak no.hp-medsos dan mengontrol kegiatan akademisinya. Ditambah berhak meneruskan kecurigaan pada seseorang dengan aksi penonaktifan tanpa diawali diskusi dan klarifikasi. Sangat jauh dari tabiat intelektual. Ironi.
Sudah saatnya, politisi negeri ini melihat problem utama nya justru pada demokrasi Kapitalis.
Lahirnya kemiskinan, pergaulan bebas, korupsi, pengangguran, kriminalitas dan problem sosial lainnya, sesungguhnya berasal dari penerapan nilai-nilai kebebasan demokrasi dan Kapitalisme. Sehingga musti merubah sistem yang ada dan beralih pada sistem yang terbukti unggul yaitu Khilafah.
Bukan malah sebaliknya, mempertahankan demokrasi-Kapitalis -yang notabene mempertahankan problem- dan memusuhi ide-ide kebenaran yang membawa solusi bagi negeri ini.
Tentunya semua itu diawali dengan menghentikan kriminalisasi ajaran-ajaran Islam dan mengembalikan marwah kampus sebagai institusi ilmiah yang memiliki ruang terbuka mengkaji gagasan dan wacana terbaik bagi eksistensi negeri ini.
Gagasan yang mampu menjadi problem solver bagi persoalan bangsa dengan penyelesaian tuntas. Gagasan yang lahir dari kebenaran wahyu bukan sekedar buah akal manusia. Gagasan itu adalah Islam politik yang berasal dari Dzat Yang Maha Benar. [MO/sr]