-->

Hipokrisi Demokrasi Bagi Prof Suteki

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen



Hipokrisi adalah secara terbuka menyatakan memiliki sikap atau bertingkah laku tertentu, tetapi kemudian bertindak dengan cara yang tidak konsisten dengan sikap atau tingkah laku tersebut. Kata hipokrisi di dapat dari Yunani hypokrisis, yang artinya “cemburu”, “berpura-pura”, atau “pengecut”. Dalam bahasa Indonesia sendiri sering disebut sebagai “munafik”. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Hipokrisi

Demokrasi asal katanya yaitu dari bahasa Yunani tepatnya kata demokratia yang artinya adalah kekuasaan rakyat. Demokratis sendiri terbagi atas 2 kata yaitu Demos yang memiliki arti “rakyat” sedangkan Kratos berarti kekuasaan atau kekuatan. Pada umumnya pengertian demokrasi adalah suatu format pemerintahan yang mana masing-masing warga negara memiliki hak yang seimbang dan setara terkait penentuan dan pemilihan sebuah keputusan yang nantinya akan membawa dampak pada kehidupan warga negara. Pengertian demokrasi pula dapat dimaknai sebagai bentuk kekuasaan paling tinggi yang ada di tangan rakyat. Mengenai demokrasi warga negara boleh ikut ambil bagian dengan langsung maupun pula lewat perwakilan terkait melaksanakan perumusan, pengembangan dan penyusunan hukum. Demokrasi meliputi keadaan ekonomi budaya serta sosial yang sekiranya berlangsungnya praktek kebebasan politik baik dengan bebas maupun setara. https://hidupsimpel.com/pengertian-demokrasi/

Benarkah Indonesia yang menganut sistem demokrasi telah menjamin dan melindungi hak masing-masing warga negaranya dalam menyampaikan sikap dan pendapatnya secara bebas dan setara? Lagi-lagi terbukti tidak demikian yang terjadi dalam kenyataan. Bahwa kebebasan dan kesetaraan dalam menyampaikan sikap dan pendapat yang konon dijamin dan dilindungi oleh demokrasi yang dianut negeri ini hanyalah wacana. Negara penganut demokrasi ideal hanyalah khayalan filosof Yunani saja. Inilah yang dinamakan hipokrisi atau ketidakkonsistenan. Demokrasi yang dikatakan menjamin hak kebebasan dan kesetaraan masing-masing individu rakyat dalam menyampaikan sikap dan pendapat ternyata sangat jauh panggang daripada api.

Penonaktifan dosen dari jabatan struktural yang terjadi di Universitas Diponegoro (Undip), Semarang, Prof. Suteki, bisa dijadikan contoh. Beliau merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Undip yang dinonaktifkan sebagai Kaprodi Magister Ilmu Hukum (MIH) karena diduga terafiliasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Pemberhentian sementara Suteki di Ketua Prodi MIH Undip ini tertuang dalam surat resmi SK Nomor 223/UN7.P/KP/2018 yang ditandatangani Rektor Undip Prof. Yos Johan Utama, SH, Mhum bertanggal 6 Juni 2018. Rektor Undip menyatakan pemberhentian sementara ini merupakan prosedur terkait kondisi Suteki yang tengah menjalani sidang disiplin Aparatur Sipil Negara (ASN) dan sidang kode etik negara. Atas penonaktifan dirinya, Suteki mengaku dirinya kecewa dan merasa diperlakukan tak adil karena mengungkapkan pendapat soal khilafah. “Benarkah hanya bicara tentang khilafah kemudian disimpulkan bahwa saya itu adalah seorang penyebar paham radikalisme? Negara ini kan negara demokrasi. Masih ada ruang untuk diskusi, dimana pun, baik di dalam maupun di luar kampus agar persepsi saling dipahami sehingga tidak berakhir dengan persekusi layaknya yang saya alami ini, “ kata Suteki, di Semarang. https://m.cnnindonesia.com/…/diduga-dukung-hti-dua-dosen-di…

Suteki mengaku heran dituding pro organisasi HTI. Suteki juga menilai pencopotan sementara jabatan terhadap dirinya sangat terlalu dipaksakan oleh Undip hanya karena tekanan publik di nedia sosial tanpa melihat realitasnya. Terlebih, ia mengaku belum pernah dimintai klarifikasi. “Prosedurnya harus dinonaktifkan sementara dari jabatan yang ada karena yang bersangkutan masuk sidang disiplin dan kode etik. Kalau nanti terbukti tidak bersalah, jabatan itu dikembalikan lagi, “ ujar Humas Undip Nuswantoro Dwiwarno. Meski jabatannya dicopot, Suteki masih diijinkan oleh pihak Undip untuk tetap mengajar karena masih tetap berstatus sebagai dosen PNS. https://m.cnnindonesia.com/…/guru-besar-undip-kecewa-dinona…

Prof. Suteki tidak sendiri. Dua dosen dinonaktifkan dari jabatan strukturalnya di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta karena diduga berafiliasi dengan ideologi khilafah HTI. Penonaktifan keduanya dikonfirmasi Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM, Iva Aryani. Iva menerangkan sebelum diputuskan dinonaktifkan, kedua dosen tersebut telah dipanggil Rektor UGM Panut Mulyono untuk diketahui cara pandang mereka. “Tadi hanya berdialog dengan rektor, bertukar wawasan dan argumentasi soal Pancasila, wawasan kebangsaan, dan kenegaraan. Sehingga selanjutnya akan dibawa ke Dewan Kehormatan Universitas (DKU),” ujar Iva saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (8/6). https://m.cnnindonesia.com/…/diduga-dukung-hti-dua-dosen-di…

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir meminta Rektor Undip untuk menindaklanjuti penonaktifan suteki. Nasir menyatakan jika terbukti pro khilafah, Suteki akan diminta memilih kembali pada asas Pancasila atau melepaskan jabatannya sebagai pengajar. Ia menyebut rektor menjadi pihak yang bertanggung jawab terkait keberadaan dosen yang diduga pro-khilafah. Menurutnya, rektor harus mampu menyelesaikan permasalahan yang dialami pengajar maupun mahasiswa. “Ya, dia harus menyelesaikan, kalau enggak mau, rektornya yang saya ‘selesaikan’, “ cetus Nasir. Selain di Undip, Nasir juga telah meminta Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menindaklanjuti organisasi mahasiswa yang diduga berafiliasi dengan HTI. Ia menegaskan semua pihak baik perseorangan maupun kelompok yang berafiliasi dengan HTI harus dihentikan. “Semua yang berafiliasi dengan HTI saya suruh hentikan karena dianggap sebagai organisasi terlarang oleh pemerintah, “ ucap Nasir. https://m.cnnindonesia.com/…/menristekdikti-suteki-harus-pi…

Khilafah memang merupakan salah satu ajaran Islam yang menjadi sasaran krimnalisasi. Mendukung khilafah dituding sebagai penganut paham radikalisme. Padahal khilafah bukan hal baru karena merupakan bagian dari ajaran Islam sebagaimana shalat, puasa, zakat dan haji. Namun ternyata label radikal begitu ampuh untuk menyalahkan dan membungkam suara para intelektual yang sudah lama mengabdi pada dunia pendidikan tinggi tersebut. Para intelektual tersebut dipandang kehilangan akal sehat karena mendukung terorisme dan radikalisme. Padahal yang mereka lakukan adalah mendukung ajaran Islam dan pengembannya yaitu ide khilafah dan pengembannya. Di sisi lain kita ketahui bahwa suara intelektual biasanya tidak sembarangan namun logis-argumentatif dan teristimewa dalam kasus ini : Berani dan membela Islam. Sepertinya 2 hal terakhir inilah yang menjadi dasar indikasi radikal tersebut.

Inilah hipokrisi atau ketidakkonsistenan sistem demokrasi yang diadopsi negeri ini yang secara jelas ditunjukkan oleh tindakan penguasanya. Karena tindakan yang sama tidak seserius dan setegas kepada komunisme yang dianggap bahaya laten dan dipayungi oleh ketetapan MPR atau perilaku kebebasan seksual serta narkoba yang juga seringkali terjadi di kampus.

Wahai para cendekiawan muslim! Wahai Ulul Albab! Jangan terbungkam! Jadikan pena dan suaramu menjadi pembela kebenaran agar menjadi hujjah di hadapan Allah yang Maha Mengetahui dan yang Maha Benar bahwa : ilmumu adalah ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu yang menunjukki pada kebenaran dan mencegah kebathilan.

Oleh : Dyan Indriwati Thamrin, S. Pd. 
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Dikutip dari Radar Sulsel.




Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close