-->

Harapan Palsu Politik Tipu-tipu

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Febri Ayu Irawati
(Siswi SMA Negri di Kabupaten Konawe)

Mediaoposisi.com- Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi ramai diberitakan menyatakan dukunganya terhadap Joko Widodo terkait pemilihan presiden (Pilpres) 2019.

Bahkan yang lebih mengagetkan, TGB akhirnya mengeluarkan pernyataan terkait dinamika politik Indonesia dan dukunganya kepada Joko Widodo di pemilihan presiden 2019. Pernyataan menggetarkan TGB disampaikan melalui unggahan tiga paket video di akun Instagramnya, 6 Juli 2018.

Pernyataan itu berisi tentang pesan-pesan kepada seluruh tokoh dan guru bangsa agar tidak lagi mengutip ayat-ayat perang dalam Alquran dalam kontestasi politik tanah air (Viva.co.id, 07/07/2018).

Atas sikap TGB itu, tenaga ahli kantor staf kepresidenan (KSP) Mochtar Ngabalin mengaku merinding. Setelah mengetahui Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhammad Zainul Majdi atau yang karib disapa Tuan Guru Bajang (TGB) mendukung Joko Widodo (Jokowi) dua periode (Okezone.com, /07/07/2018).

Tak ketinggalan, kubu Prabowo pun merespon hal tersebut. Partai Gerindra melalui Nizar Zahro (Ketua DPP Partai Gerindra) menyatakan bahwa berpindahnya TGB ke kubu Jokowi tidak bakal mempengaruhi raihan suara Prabowo di NTB pada Pilpres 2019 mendatang.

NTB disadari sebagai idaerah dengan jumlah pemilih yang besar, yakni 3,5 juta orang. Pada kenyataannya, pada Pilpres 2014 lalu, duet Prabowo -Hatta menang 72, 45% (Viva.co.id, 06/07/2018).

Pro kontra memang tak bisa dihindari. Bahkan, ulama sekelas UAS (Abdul Somad) ikut bersuara mengindikasikan kekecewaannya, sembari menyebut “Tunggu HRS” (Habib Risyiq  Syihab).

Ya, sosok TGB dikenal sebagai seorang hafidz danAlumni Universitas Al Azhar dengan meraih gelar Lc. Pada tahun 1996, kemudian lima tahun berikutnyaia meraih  Master of Art (M.A.) dengan predikat Jayyid Jiddan. Sunggu prestasi yang sangat membanggakan pastinya. Sayangnya, terselip kecewa umat di relung sana.

Sosok TGB yang digadang-gadang akan menjadi calon presiden menantang Jokowi pada pilpres 2019, tak disangka malah berbalik arah. Mengapa bisa terjadi?

Memang perilaku politikus macam ini sudah sering kita saksikan. Polemik pindah kubu yang menjadi konsumsi masyarakat berhari-hari karena setiap saat ditayangkan dan didialogkan di televisi. Meski dulunya TGB mengecam performa parpol, golongan atau orang-orang yang menjadi rival politiknya. Namun kini, malah berbanding terbalik.

TGB hanyalah salah satu tokoh yang juga membawa nama umat Islam. Masih banyak tokoh lain yanh pernah membersamai umat. Sebut saja mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, Mahfud MD dan lainnya. Membawa nama umat untuk memenangkan konstestasi dan konstelasi politik sudah sering terjadi.

Sebab pemimpin ada untuk mengurusi umat. Namun berbeda persoalannya jika menjadikan umat Islam sebagai kawan saat butuh dan menjadikan lawan saat cita-cita politik sudah diraih. Harapan palsu politik tipu-tipu kan?

Begitupun umat Islam, seringkali menaruh harap pada sejumlah orang yang ingin menjadi pemimpin. Tak lain tak bukan adalah karena janji manis keberpihakan dan kesejahteraan bagi umat. Tapi nyatanya, ketika pemimpin menjabat, umat Islam tak dilirik. Sumber Daya Alam seperti tambang yang merupakan milik umat justru digadai pada asing.

Lahan pekerjaan bagi umat justru diberikan pada tenaga kerja asing. Lalu umat Islam menjadi penonton. Menyesali nasib yang sudab terjual lewat selembar uang merah saat fajar di hari pemilihan pemimpin terbit. Miris!

Fenomena TGB hanyalah satu dari fakta politik demokrasi yang cuma PHP dan saling sandra. Saat ada kepentingan yang sama, mereka bahu-membahu. Tapi jika salah satunya tersandung suatu kasus, misalnya korupsi, mereka saling sandra. Demokrasi juga meniscayakan penyingkiran ideologi Islam dalam perjuangan menegakkan syariat Islam.

Fenomena persekusi terhadap banyak ulama dan aktivis dakwah, berikut pembubaran ormas secara paksa telah menjadi bukti inkonsistensi demokasi. Padahal demokrasi sendiri berkoar-koar menyerukan kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul.

Begitu juga dengan pihak-pihak yang kontra atau kritis, mereka justru dibungkam hak asasinya, tidak diberikan ruang berpendapat atau berekspresi. Ada pula yang dibungkam dengan rupiah dan jabatan, sehingga pendapatan mempengaruhi pendapat.

Beginilah kondisi hidup di dalam sistem demokrasi. Menjadikan kepentingan pribadi menjadi nomor satu dan menjadikan kelanggengan kekuasaan sebagai tujuan hidup. Sehingga, yang sudah terwarnai dengan sekularisasi dan liberalisasi akan siap menerjang berbagai cara untuk mencapai keinginan. Meninggalkan syariat Islam pun dijabani.

Berbeda dengan pandangan Islam. Pemimpin tidak memilih umat, umat-lah yang memilih sesiapa yang layak menjadi pemimpin bagi mereka. Pemimpin dalam Islam tidak sibuk mencari dukungan dan tidak ngotot menjadi pemimpin. Mengapa? Karena mereka sadar akan beratnya beban dan tanggung jawab untuk menjadi pemimpin umat yang jumlahnya puluhan ribu orang.

Sebut saja kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Umar berkata “Aku tidak mau nantinya berdiri di hadapan Allah dengan predikat sebagai seorang pemimpin yang telah menyia-nyiakan harta rakyat”, saat ia didapati sedang terengah-engah menuntun seekor unta milik baitumaal yang lepas dari tambatannya.

Dengan demikian, patut menjadi bahan kontemplasi bersama akan pola pindah-pindah kubu politik dalam sistem ini. Menyemai benih harap berbau kepalsuan. Stop tipu-tipu rakyat![MO/sr]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close