Oleh : Faiqotul Himmah, S.Si
Mediaoposisi.com- Bom Surabaya, menjadi momen yang tepat bagi para feminis untuk kembali mempromosikan ide gender. Adalah Puji Kuswati bersama dua anak perempuannya Fadila (12) dan Pamela (9), dinyatakan sebagai peledak Gereja Kristen Indonesia (GKI) Surabaya.
Saat terjadi kericuhan di Rutan Mako Brimob, polisi mengamankan terduga teroris bernama Dita Siska Millenia dan Siska Nur Azizah yang dianggap sedang menyusun strategi penyerangan di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok (12/5).
Sehari setelah bom Surabaya, Puspitasari dan suaminya -Anton Febrianto- juga diklaim sebagai pelaku bom di Sidoarjo. Densus 88 juga menangkap tiga terduga teroris dalam penggrebekan di tiga lokasi di Tangerang (16/5). Salah satu di antara merka adalah perempuan.
Fakta di atas menyuguhkan pada kita sebuah “trend” baru dalam aksi terorisme, yakni keterlibatan perempuan. Padahal perempuan dikenal sebagai sosok feminim yang penuh kelembutan dan kasih sayang.
Pengarusan Isu Gender
Dalam diskusi bertajuk “Perempuan dan Ekstrimisme”, yang digagas oleh sekelompok pemuda lintas iman di Jember. Aktivis perempuan Salma Safitri, menyatakan bahwa keterlibatan perempuan dalam ekstrimisme (radikalisme/terorisme) akibat stigma ketidaksetaraan gender. Perempuan sebagai sosok feminim dianggap lebih lemah ketimbang laki-laki dengan maskulinitasnya.
Laki-laki mempimpin, perempuan dipimpin. Laki-laki menentukan, perempuan ditentukan.
Perempuan lemah secara ekonomi dan politik, ditambah adanya kewajiban bagi perempuan untuk taat pada suaminya.
Dia mengutip sebuah hadist, jika seorang perempuan sholat lima waktu, puasa ramadhan dan taat pada suaminya, dia bisa masuk surga dari pintu mana saja.
“Jika suami nyuruh ngebom, ya ngebom. Karena istri wajib taat suami. Dan itu adalah cara untuk menjadi bidadari surga,” ucapnya.
Analisis semacam ini bukanlah hal baru. Pratma Julia dalam artikelnya “Perempuan dan Terorisme” mengungkapkan adanya narasi Brookings Institute yang mengungkapkan bahwa keterlibatan perempuan sebagai ‘pengantin jihad’ (brides of fighters) atau partisipan pasif di kelompok jihadi, mengarah pada penentangan terhadap ajaran Islam yang dianggap membenci perempuan. Perempuan yang bergabung dengan kelompok-kelompok ini menganggapnya sebagai bentuk pemberdayaan dan pembebasan.
Ini senada dengan pendapat Lies Marcoes -peneliti isu gender dan radikalisme- yang berkata, “Mereka tak sekadar memiliki impian untuk ‘mencium bau surga’ melalui suaminya belaka, melainkan melalui peran sendiri dengan membawa anak-anak yang telah ia manipulasi dalam suatu keyakinan.”
Ambisi untuk menyudutkan ajaran Islam kian kental. Padahal narasi terorisme sengaja diciptakan Barat. Pasca peristiwa 11 September 2001, istilah teroris dengan sengaja dilekatkan pada Islam. Pidato George W. Bush saat itu, “Either with Us, or with Terrorist!” Semakin jelas bahwa, yang dimaksud teroris adalah siapa saja yang tidak sejalan dengan kepentingan AS, yang tidak mau tunduk pada AS.
Menurut AS, HAMAS yang konsisten memperjuangkan kemerdekaan Palestina adalah kelompok teroris. Sementara Israel, yang jelas-jelas telah menjajah Palestina adalah sekutu dekat AS. Bahkan, demi membuktikan pembelaannya pada Israel, AS memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerussalem.
Begitu keji persekongkolan AS dan Israel namun dunia tak menjuluki mereka teroris.
Menariknya, ada sebuah analisis dari jurnalis Aljazeera, Faisal Kasim. Sebagaimana dikutip situs berita Islam dakwatuna. Dia menyamakan keberadaan terorisme yang tiba-tiba ada di tengah umat Islam dengan virus komputer yang juga keberadaannya menimbulkan tanda tanya.
Melalui facebook pribadinya Kasim mengatakan, “Mereka menciptakan komputer dan programnya. Untuk mereka sangat besar. Tapi karena ingin untung yang lebih besar lagi, maka mereka pun menciptakan virus komputer, lalu menciptakan program-program untuk melindungi komputer kita dari virus-virus tersebut.”
Kasim melanjutkan, “Jadi mungkinkah mereka juga yang menciptakan terorisme, lalu tak lama kemudian menciptakan program perang melawan terorisme tersebut? Dengan demikian mereka mendapatkan keuntungan materi, politik dan militer yang sangat besar?”
Kesetaraan Perempuan dalam Islam
Ditengah kontroversi konspirasi War on Terrorisme (WOT), mengkaitkan keterlibatan perempuan dalam aksi teror dengan hukum-hukum Islam adalah tindakan yang sangat menyakitkan. Semakin menyempurnakan stigma negatif terhadap hukum Islam.
Islam sama sekali tidak memiliki hubungan dengan ketidakadilan terhadap perempuan. Justru, diskriminasi terhadap perempuan berakhir ketika Islam datang.
Islam memandang perempuan sebagai manusia. Sama halnya dengan lelaki.
Dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 13 Allah SWT berfirman bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan, berbagai bangsa dan suku, tidak menunjukkan pihak satu lebih tinggi dari pihak lain. Namun semata agat manusia saling mengenal. Dan kemuliaan manusia dihadapan Allah, tidak ditentukan oleh jenis kelamin. Tetapi hanya ditentukan oleh kadar ketaqwaan.
Wewenang yang diberikan oleh Allah kepada suami untuk menjadi qawwam atau kepala rumah tangga, tidak lantas otomatis posisi laki-laki lebih mulia. Diapun kelak akan ditanya oleh Alllah atas tugas yang dia pikul. Dan mendapat ganjaran berdasar amalnya.
Lagipula, kepemimpinan suami terhadap istrinya bukanlah kepemimpinan yang otoriter. Tapi kepemimpinan yang penuh dengan suasana persahabatan. Karena suami wajib bergaul dengan istrinya secara ma’ruf. Dan istri punya hak untuk berdiskusi dengan suami akan urusan-urusan rumah tangga yang mereka pikul bersama.
Sebagaimana istri Umar bin Khaththab memberi masukan pada suaminya. Sebagaimanan Ummu Salamah memberi masukan pada Rasulullah kala para sahabat bersedih hati dengan perjanjian Hudaibiyah.
Ketaatan seorang istri pada suami pun, bukanlah ketaatan mutlak. Tapi dibatasi dengan ketaatan pada Allah.
Kaidah fiqh menyatakan, tidak ada ketaatan pada makhluk dalam bermaksiat pada Al-Khaliq (Allah).
Jadi jika seorang istri, diperintah suaminya untuk melakukan bom bunuh diri di gereja dengan membawa anak-anaknya. Istri wajib menolak. Karena tindakan itu melanggar ketentuan Allah. Jelas, bom bunuh diri menargetkan rumah ibadah bukanlah jihad. Dalam kondisi seperti ini, istri tidak boleh taat. Justru dia harus menasehati dan mengingatkan suaminya agar kembali pada hukum-hukum Allah.
Perempuan dalam Islam memiliki hak ekonomi yang kuat. Allah yang menetapkan bahwa seluruh kebutuhannya, entah itu makan, sandang, papan, hingga biaya pendidikan dan perawatan tubuhnya adalah kewajiban suami/walinya. Ini bukanlah sebuah kelemahan, karena pelaksanaan hukum-hukum ini semata bukti ketundukan laki-laki dan perempuan pada aturan penciptanya.
Jika dia berkeja, maka dia berhak digaji berdasar besarnya jerih payah, tenaga atau jasa yang telah dia curahkan. Bukan berdasar gender. Inilah hukum Islam.
Perempuan pun memiliki hak politik. Makna politik adalah pengaturan urusan umat dengan Islam. Meski tak boleh menjadi penguasa, perempuan memiliki hak mengoreksi penguasa, memilih penguasa, dan menjadi anggota majlis umat.
Masyhur dikisahkan, seorang perempuan memprotes kebijakan Umar bin Khathtahb yang membatasi mahar. Umar pun menghapus kebijakannya yang tidak sesuai syariah itu.
Jika direnungkan dengam hati yang bersih, larangan perempuan menjadi penguasa sesungguhnya sejalan dengan tugas mulianya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga dengan kedudukannya sebagai kehormatan yang wajib dijaga.
Jelas, Islam bukanlah sebab berbagai bencana yang menimpa perempuan hari ini. Pun, Islam bukalah sebab maraknya aksi teror. Mereka yang berupaya mengkampanyekan ide gender dengan kemasan deradikalisasi perempuan, sungguh telah melakukan framing jahat terhadap Islam. Dan semakin menjauhkan muslimah dari Islam.Padahal Islam, adalah sumber kemuliaan bagi perempuan.[MO/sr]