Oleh: Rifaldi lahusa
Bahkan Riza mengatakan, hingga saat ini utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp 7.000 triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta.
Ekonom senior Institute for Development for Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri menyoroti utang luar negeri Indonesia yang terus meningkat dalam tiga tahun terakhir.Besar kemungkinan belum termasuk semua utang BUMN," kata Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati.beliau kembali menyebut jumlah utang tersebut "pasti tidak aman" karena bunga dan cicilannya dibayar dengan "gali lubang, tutup lubang".
Utang baru dianggap aman kalau pelunasannya "tidak mengganggu likuiditas".Kondisi gali lubang tutup lubang ini muncul akibat rasio penerimaan pajak, yang merupakan salah satu sumber dana untuk membayar ULN, "juga turun". Realisasi penerimaan pajak Indonesia pada 2017 mencapai Rp1.151 triliun atau 'hanya' 89,7% dari target pada APBN-P 2017.
kepada BBC Indonesia, ekonom Josua Pardede menekankan bahwa pemerintah harus berhati-hati terhadap ULN swasta. Dari total Rp4.849 triliun ULN Indonesia, 49% adalah milik swasta.
ULN swasta berpotensi menciptakan krisis (ekonomi), seperti yang terjadi pada 1997," tegas Josua.ULN swasta bisa 'berbahaya' karena tidak bisa dikontrol pemerintah. Pengelolaan dan pembayaran utang pokok dan bunganya, hanya bergantung pada perusahaan peminjam itu sendiri.
Hal demikian jikalau di biarkan terus menerus nantinya akan berdampak pada kelangsungan pertumbuhan ekonomi indonesia terhadap anak cucu kita kedepan,kebijakan hutang luar negeri yang di ambil oleh pemerintah cenderung memprioritaskan pembangunan infrastruktur namun tidak memperhatikan hutang luar negeri yang terus membumbung tinggi tanpa ada timabal baliknya yang secara nyata untuk kesejateraan rakyat.
Salah satu contonya ialah Rencana pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait kemudahan izin kerja bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) ditolak buruh. Kebijakan tersebut dinilai akan meningkatkan jumlah pengangguran di dalam negeri. Maraknya investasi asing tidak akan dirasakan rakyat.
Di lansir dari pernyataan Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat jika pemerintah terlalu liberal dalam memutuskan kebijakan bagi TKA. Angka penyerapan tenaga kerja lokal semakin kecil.Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat jika pemerintah terlalu liberal dalam memutuskan kebijakan bagi TKA.
Angka penyerapan tenaga kerja lokal semakin kecil.
Itu yang perlu diwaspadai persaingan dengan tenaga kerja asing akan kalah. Perbedaan ahli dan pekerja kasar pun harus dipertegas. Jangan sampai kriteria menjadi terlalu mudah sehingga pekerja kasar yang banyak substitusinya di Indonesia dimasukkan dalam kriteria tenaga kerja ahli.[MO/sr]