Oleh: Meltalia
Mediaoposisi.com- Beberapa waktu lalu pemerintah melalui lembaga Bulognya meluncurkan produk terbaru mereka yaitu beras dengan kemasan sachet. Berat sachet-an dengan berat 200 gram ini akan dijual oleh Perum Bulog dengan harga Rp 2.500.
Beras tersebut akan dijual di koperasi hingga toko ritel. Menurut Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso latar belakang menjual beras dengan ukuran sachet 200 gram untuk menjamin ketersediaan beras kepada masyarakat. (Detik.Com)
Beras merupakan bahan makanan pokok utama mayoritas masyarakat Indonesia. Masyarakat kalangan ekonomi bawah hingga kalangan ekonomi atas mayoritas mengkonsumsi nasi yang merupakan olahan dari beras.
Setiap hari masyarakat banting tulang hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Sehingga isu dan wacana yang berkaitan dengan beras menjadi persoalan yang sensitif di tengah masyarakat. Karena ini berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan mendasar bagi masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu perdagangan beras ini juga dianggap menjadi komoditas yang bisa mendatangkan keuntungan, dan ini menjadi salah satu perhatian pemerintah.
Inilah yang sangat disayangkan, seharusnya pemerintah menggratiskan kepada msayarakat di tengah himpitan ekonomi dan naiknya harga-harga barang terutama kebutuhan pokok, tetapi pemerintah malah menjadi pedagang kepada masyarakatnya sendiri dengan menjual beras sachet-an.
Karena secara hitung-hitungan, harga beras sachet-an justru lebih mahal dari harga beras yang dijual per kg. Jika harga per 200 gram adalah Rp 2500 maka untuk mendapatkan 1 kg beras rakyat harus membayar 12.500. Jadi ini tergolong mahal mengingat harga beras di pasaran masih bisa kita dapatkan dengan harga sekitar Rp 10.000/Kg.
Namun, pemerintah berargumen bahwa beras sachet-an ini diluncurkan dalam rangka memudahkan masyarakat dalam mendapatkan beras dan memberantas mafia beras. Karena dengan beras renceng ini mafia beras tidak bisa menimbunnya (tribunnews.com).
Tidak bisa dipungkir, inilah akibat dari penerapan sistem Kapitalisme dinegeri ini. Dimana semua diukur dengan asas manfaat dan keuntungan semata. Penguasa swharusnya menjadi pengurus bagi rakyatnya, malah berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan dari rakyatnya sendiri. Sehingga yang terjadi antara penguasa dan rakyatnya adalah hubungan antara penjual dan pembeli.
Ini jelas berbeda dengan Islam. Dalam Islam penguasa adalah pengatur urusan rakyat. Kebutuhan pokok sandang, pangan, papan adalah tanggung jawab khalifah. Beras merupakan kebutuhan pangan merupakan masalah utama dan khalifah mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa setiap rakyatnya dapat memenuhi kebutuhan pokoknya secara layak.
Diceritakan bagaimana Umar Bin Khattab pada masa menjadi Khalifah sering berkeliling untuk memastikan bahwa setiap rakyatnya tercukupi kebutuhan pokoknya. Sehingga mendapati seorang ibu sedang memasak batu untuk anak-anaknya yang kelaparan.
Begitu Umar Bin Khattab mengetahui bahwa yang dimasak sang ibu adalah batu, maka Umar bergegas menuju gudang gandum. Kemudian Umar mengangkat bahkan memasaknya sendiri untuk si ibu dan anak-anaknya.
Demikianlah Allah SWT telah mewajibkan seorang pemimpin (Khalifah) menjamin agar kebutuhan pokok dapat terpenuhi pada setiap individu rakyatnya tanpa terkecuali. Pemimpin adalah bertanggung jawab atas tercukupinya seluruh kebutuhan masyarakat. Seorang pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT atas kepemimpinannya terhadap yang dipimpinnya yakni rakyat. Rasulullah Saw bersabda :
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya; seorang imam (kepala Negara) adalah pemimpin dan harus bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari)
Ini semua akan terlaksana jika Islam diterapkan secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam masalah ekonomi. Karena kembali lagi Islam bukan hanya mengatur urusan sholat, puasa, zakat, haji dan ibadah mahdoh lainnya. Tetapi Islam juga mengatur masalah politik, sosial, sanksi termasuk masalah ekonomi.
Sistem ekonomi Islam dalam kekhilafahan ditopang oleh APBN yang kuat dengan sumber pemasukan dan pengalokasian dana yang sesuai syariat. Selain itu, sistem ekonomi Islam memandang bahwa Sumber Daya Alam adalah milik umat. Sumber Daya Alam dikelola sesuai dengan syariat oleh Negara untuk kesejahteraan masyarakat.
Sumber Daya Alam ini tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta apalagi asing maupun aseng. Sumber Daya Alam ini pun dimanfaatkan hanya untuk kesejahteraan rakyat. Bukan untuk kesejahteraan segelintir orang apalagi untuk kesejahteraan penguasa.
Dalam Islam nampaklah peran Negara dalam mengurusi rakyatnya dengan kebijakan yang mengutamakan rakyat dari pada penguasanya. Juga selalu terikat pada aturan Allah SWT dalam mengurusi rakyat.
Islam adalah solusi permasalahan yang menimpah negeri tercinta ini. Sudah saatnya kita kembali pada Islam Kaffah dalam naungan Khilafah.
Karena Khilafah adalah sistem terbaik dan merupakan ajaran Islam yang datang langsung dari Allah Swt dan dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabat serta para khalifah-khalifah berikutnya hingga runtuhnya kekhilafahan ustmaniah pada 3 Maret 1924 di Turki.[MO/sr]