Oleh : Fatimah Azzahra, S.Pd
Mediaoposisi.com-Tak terasa, Ramadhan sudah sampai di pengnhujungnya. Semoga kian semangat tuk beribadah dari hari ke hari. Semoga tak lantas merubah arah tujuan. Yang tadinya khusyu’ beribadah, menjadi berburu jadwal buka bersama teman-teman atau reunian.
Yang tadinya sibuk membaca Qur’an, jadi sibuk memilih pakaian tuk lebaran. Atau sekedar jalan-jalan menunggu waktu adzan magrib berkumandang. Alangkah senangnya hati jika dilihat sepintas, tapi sebelum terlena dengan semua aktivitas itu, tak ada salahnya kita berkaca dari bagaimana Ramadan saudara kita di Uyghur dan Gaza.
Ramadan dan Muslim di Uyghur, Cina
Pihak berwenang di Daerah Otonomi Xinjiang Uyghur, di China barat laut memaksa pelajar Uyghur dan orang tua mereka untuk menandatangani janji bahwa mereka tidak akan berpuasa selama bulan suci Ramadhan. Para pejabat memaksa restoran untuk tetap buka dan membatasi akses ke masjid selama Ramadhan.
Pada tahun lalu, seorang narasumber mengatakan kepada Radio Free Asia (RFA) edisi Uyghur, bahwa kader Partai Komunis Uyghur, pegawai negeri dan pensiunan pemerintah dibuat untuk menandatangani dokumen yang mengatakan bahwa mereka tidak akan berpuasa atau shalat selama bulan suci, di mana seolah-olah mereka sengaja dijadikan teladan bagi orang-orang Uyghur lainnya di masyarakat (seraamedia.com, 23/5/2015).
Innalillahi, sedih dan sangat mengerikan membaca berita bagaimana kondisi saudara muslim kita di Cina. Mereka susah payah menjalankan syariat Allah. bahkan, pemaksaan sudah sampai menyentuh anak-anak usia sekolah. Anak-anak yang di negeri kita, Indonesia menjadi para pejuang cilik yang semangat untuk berpuasa. Tapi, di Uyghur sana, mereka tak bisa mendapatkan kesempatan untuk menikmati rasanya berjuang di bulan Ramadhan.
Atas nama menghilangkan “ekstrimisme” agama, para orangtua dan pelajar tak diberi ijin untuk berpuasa dan memakmurkan masjid selama bulan Ramadhan. “Setiap tahun, bulan Ramadhan telah berubah menjadi salah satu ketakutan dan kecemasan karena peningkatan pembatasan, yang telah menyebabkan gangguan dalam kehidupan sehari-hari orang-orang Uyghur,” kata presiden World Uyghur Congress, Dolkun Isa.
Semakin sedih, melihat kondisi saudara kita di Uyghur, apalagi ini bukan kali pertama mereka diperlakukan seperti ini. Ila mata? Sampai kapan ini akan menimpa saudara muslim kita di Uyghur?
Ramadan dan Muslim di Gaza
Lain di Cina, lain juga di Gaza. Ribuan warga Gaza berpuasa di bulan Ramadan tanpa sahur dan berbuka. Om Hamdan Thabet, warga Palestina yang tinggal di Gaza berbicara kepada Asharq Al-Awsat bagaimana dia mengalami saat-saat yang sangat sulit selama sahur pertama bulan Ramadhan, karena dia tidak dapat menemukan apapun di kulkasnya yang sudah usang untuk diberikan kepada anak-anaknya dan untuk suaminya yang memakai kursi roda.
Dia hanya menemukan sedikit thyme Palestina (rempah daun) untuk ditaruh disamping secangkir teh untuk keluarganya yang terdiri dari tujuh orang, dengan harapan bahwa sejumlah kecil thyme itu bisa membuat mereka bertahan sepanjang hari dengan berpuasa sambil berharap bahwa dia akan dapat untuk menyediakan beberapa lentil (sejenis kacang kering yang lunak) untuk menu berbuka puasa setelah 14 jam berpuasa.
Ribuan keluarga di Jalur Gaza hidup dalam kondisi yang sama, pada saat otoritas telah berhenti memberikan bantuan untuk rumah tangga miskin (mediaumat.news, 21/5/2018).
Sungguh membuat hati perih, bagai disayat sembilu melihat kondisi ini. Di satu sisi, kita muslim di Indonesia tengah sibuk menata menu berbuka dan pernak pernik idul fitri. Di belahan bumi lainnya, hanya bisa mengkonsumsi daun thyme untuk berbuka dan sahurnya. Masyaallah.
Memetik Pelajaran di Bulan Ramadan
Sungguh kondisi saudara muslim di Cina dan Palestina sangat menyayat hati andai kita masih punya hati nurani. Bayangkan jika kondisi mereka menimpa kita saat ini, sanggupkah kita menjalaninya? Masya Allah. Semoga Allah kuatkan mereka, segera Allah turunkan pertolongan-Nya melalui siapa saja.
Ramadan di Cina dan Palestina, sudah seharusnya memberikan pelajaran berharga bagi kita, setidaknya kita dan keluarga. Ada beberapa pelajaran yang bisa diambil. Pertama, kuatkan tali iman. Lihatlah bagaimana berat cobaan saudara kita di Cina dan Palestina, tapi mereka masih berusaha untuk menjalaninya.
Semuanya itu tidak akan mungkin jika iman tidak mengikat kuat mereka. Saatnya, Ramadan kali ini menjadi momentum mengukuhkan keimanan dalam diri kita. Belajar bergantung hanya pada-Nya.
Kedua, senantiasalah bersyukur atas apa yang ada pada diri kita. Kita jauh lebih beruntung dari pada saudara kita di Uyghur dan Palestina yang untuk menjalankan puasa saja susah. Ketiga, sederhanalah dalam segala hal. Sederhanalah dalam menjalankan Ramadan, tak usah berlebihan dalam sahur, berbuka, berbelanja keperluan hari raya. Cukupkanlah, sederhanakanlah, sisakan rezeki kita untuk saudara kita di luar sana yang jauh lebih membutuhkan.
Tak Pantas Berdiam Diri
Ini hanya sedikit pelajaran yang bisa kita petik setelah meneropong sebentar kondisi Ramadan di Uyghur dan Palestina, belum negeri lainnya. Sungguh, keadaan genting tengah menimpa mereka. Tak layak dan tak pantas untuk mendiamkannya berlama-lama.
Kekuasaan pemerintah harus bertindak untuk mengakhiri penderitaan mereka. Ingatlah sabda baginda Rasulullah saw, dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Jika dunia Islam terus berdiam diri dan membiarkan hal ini terjadi. Genosida akan terus terjadi. Ya Allah, bebaskan muslim Uyghur dan Palestina dari penindasan! Bangunkanlah dunia Islam dan berikanlah kekuatan.[MO/sr]