Oleh: Difa Ameliora Pujayanti
Mediaoposisi.com- Salah satu pertimbangan penggunaan uang kertas saat ini yang mungkin jika dirasakan oleh semua orang adalah kemudahan dalam bertransaksi, karena yang menjadi alat adalah sesuatu yang berbahan ringan, yakni kertas. Namun sayangnya keringanan yang dibawa tidak seringan beban hutang negara.
Uang kertas mengabaikan konsep bahwa ketika bertransaksi haruslah dibayar dengan sesuatu yang berharga. Bayangkan saja, produksi satu lembar kertas dibutuhkan hanya satu sen, namun harus imbas dibayar dengan empatbelas ribu rupiah.
Belum lagi jika ditambah saat mata uang dollar dijadikan sebagai mata uang internasional resmi yang ditetapkan oleh Amerika, itu artinya membuat negara lain yang berada di bawahnya menjadi selalu keteteran jika terjadi ketidakseimbangan.
Apalagi ketika organisasi dunia sekelas IMF –yang dipegang oleh Amerika memberi pinjaman kepada sejumlah negara alias hutang (yang katanya wajar berhutang berdasarkan konsep kenegaraan) dibumbui juga dengan bunga-bunganya. Justru melahirkan duri-duri yang sakit lagi mencekik. Pantas saja apabila negara-negara peminjam menjadi tidak fokus terhadap pengembangan negaranya, karena hanya fokus pada pembayaran hutang, bukan cuma pokok tapi juga bunganya.
Maka bukan hal yang kasar dan dibilang “tidak berdasarkan data” bahwa fiat money adalah produk ekspor terbaik Amerika.
Lalu, bagaimana yang seharusnya?
Islam yang dikenal selalu “menuduh” bahwa jangan jadikan kertas sebagai alat transaksi juga keliru. Karena konsep yang sebenarnya mengenai mata uang dan alat transaksi adalah tetap menjadikan emas sebagai back up-nya sedangkan alatnya boleh pakai apa saja, termasuk kertas. Konsep transaksi “sesuatu dibayar dengan sesuatu yang berharga” sangat diamini dalam Islam.
Emas sebagai mata uang bukan solusi yang baru dibuat saat masalah ada, melainkan korban akibat kedurhakaan manusia yang sudah kacang lupa induknya. Maka hal yang wajar jika emas meminta kembali haknya.[MO/sr]