Oleh: Difa Ameliora Pujayanti
Mediaoposisi.com- Menurut data, populasi manusia Indonesia pada tahun 2018 mencapai 266.927.712 jiwa. Dengan jumlah laki-laki sebesar 49,9% dan perempuannya 50,1%.
Angka-angka tersebut tentunya akan terus berubah menimbang pada berbagai faktor seperti berapa banyak yang meninggal dan lahir setiap harinya, perpindahan penduduk, sehingga dapat kita ketahui bagaimana pertumbuhannya.
Dengan jumlah penduduk yang bernominal sekian menandakan bahwa sebenarnya terjadi ledakan penduduk yang besar, menjadikan Indonesia menjadi salah satu dari lima negara dunia yang paling banyak jiwanya.
Dengan jumlah penduduk yang bernominal sekian tidak mengherankan jika Indonesia merupakan pasar yang besar di dunia. Menjadi hal yang wajar apabila berbagai pertimbangan kebijakan dunia berpusat pada manusia Indonesianya. Tetapi apakah lantas hal ini juga menjadi pusat fokus pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya, sefokus perusahaan-perusahaan pada pangsa besar Indonesia?
Kepedulian pemerintah dapat dilihat dari banyaknya infrastruktur yang gencar dibangun. Pembukaan lapangan kerja. Penyerahan proyek strategis pada swasta asing. Dibukanya pintu tenaga kerja asing. Ditelurkannya Perpres terkait kemudahan izin kerja pada tenaga kerja asing. Dan juga ... (eh?)
Menurunnya tingkat pengangguran menurut data statistik, sepertinya justru akan menjadi kekhawatiran yang berefek luar biasa. Jika ledakan penduduk ini tidak dibarengi dengan bagaimana solusi yang se-be-na-r-nya untuk menyejahterakan, maka de javu gerakan buruh akan kembali terjadi.
Jika populasi dihitung dengan menggunakan index data jumlah penduduk maupun growth rate di tahun-tahun sebelumnya, maka bisa dihitung berapa jumlah penduduk di tahun berikutnya menggunakan perhitungan ekstrapolasi.
Dapat dihasilkan bahwa di tahun 2030 nanti, populasi Indonesia mencapai 304.590.261 jiwa. Dari angka ini, mungkin akan sedikit terbayang bagaimana nasib Indonesia nanti, akankah dengan proyeksi kebijakan sekarang menggambarkan kebobrokan di masa depan atau justru akan terjadi revolusi pikiran karena sadar akan ketidakmampuan sistem sekarang yang membuat manusia Indonesia cemerlang dan melahirkan peradaban yang gemilang?
Jika kita mawas diri, maka seharusnya tumbuh untuk mandiri bukan suatu pertimbangan lagi. Dengan ledakan penduduk saat ini, bukannya fokus pada bagaimana memperlambat generasi (semisal program KB) melainkan bagaimana agar titik fokus kita berada pada kesejahteraan tiap kepala.
Karena kita tentu tidak menginginkan adanya kemiskinan generasi, seperti halnya Jepang dan Eropa. Mereka tumbuh, tetapi mereka juga berpotensi untuk menjadi lumpuh.
“Mengecam” program KB bukan berarti karena kita menganut adat ketimuran. Karena manusia memang fitrahnya demikian. Ingin selalu meneruskan keturunan. Ini menjadi tanggung jawab bersama agar program negara yang diimplementasikan mampu adil dan sejahtera dapat dirasakan bersama.[MO/sr]