Oleh: Difa Ameliora Pujayanti
Mediaoposisi.com- Pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim Bank Indonesia (BI) mengalami kenaikan pesat. Di sisi lain klaim itu justru tidak menjadikan rakyat Indonesia makmur, melainkan kesenjangan antar setiap daerah masih terjadi, kemiskinan bertambah dan indeks pembangunan sumber daya manusia masih rendah. (kiblat.net)
Satu orang Indonesia menguasai 49 persen total kekayaan negara. Dalam hati berkata, “Bagaimana ini terjadi? Ini adalah sebuah ketimpangan yang luar biasa.” Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah karena lemahnya pemerintah memberantas kapitalisme kroni.
Hampir dua per tiga harta kekayaan para konglomerat Indonesia merupakan hasil dari bisnis yang berkolaborasi dengan penguasa. Tidak mengherankan apabila World Bank menyebut Indonesia sebagai “7 Crony Capitalism”.
Adanya kebohongan pertumbuhan ekonomi yang disebut negara. Angka tersebut tidak mencerminkan setiap kepala juga ikut sejahtera. Sama halnya seperti perhitungan per kapita yang sangat luar biasa tidak adil. Menghitung pendapatan per kapita dengan menghitung secara agregat pendapatan dari orang paling kaya sampai orang paling miskin di Indonesia sehingga terciptalah hasil bahwa sekian nominal pendapatan rakyat meski pada seorang bayi?
Pertumbuhan ekonomi ini nyatanya hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Terdapat perampasan lahan, tenaga kerja, juga perampasan hak dan kepemilikan harta rakyat kecil.
Seperti contoh pada konsesi lahan yang hanya diberikan pada kroni-kroni penguasa. Dan terbukti, sekalipun rezim berganti, tiada perubahan berarti pada kasus konsesi lahan ini. Dikarenakan konsesi lahan belum habis masanya, eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan para konglomerat besar menjadi sebuah kebebasan yang apabila digugat justru rezim yang bertindak.
Tentu bukan cuma satu kasus saja, masih banyak “lubang-lubang payung” yang harus segera diperbaiki. Jika ternyata tambalan-tambalan justru menghambat kemajuan negara dan menghilangkan estetika birokrasi payungnya, maka sudah saatnya untuk pergi ke toko dan membeli payung yang baru. Sebelum hashtag berganti, baiknya kita realisasikan saat ini juga.[MO/sr]