Oleh: Alif Fani Pertiwi
(Mahasiswi STEI HAMFARA)
Mediaoposisi.com- Pemerintah tampaknya sangat serius untuk memberdayakan peran Perempuan dalam dunia kerja demi menekan tingginya angka kemiskinan di Negeri ini.
Berbagai upaya-pun dilakukan, mulai dari penggiringan opini terkait kesetaraan gender bahwa perempuan itu sama halnya dengan lelaki yang berhak mendapat tempat dalam karir di dunia kerja, hingga pembuatan program-program yang diharapkan dapat menaikkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan.
Salah satu contohnya, sebut saja program MAMPU (Maju Perempuan Indonesia untuk Penanggulangan Kemiskinan), Program yang diluncurkan sejak tahun 2012 ini merupakan kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Australia yang dibuat dalam rangka meningkatkan akses perempuan miskin di Indonesia terhadap layanan penting dan program pemerintah lainnya dalam rangka mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menujukkan naiknya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan dalam 3 tahun terakhir (2015 : 48,87%, 2016 : 50,77% , 2017 : 50,89%) jelas membuktikan bahwa langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah dalam upayanya untuk memberdayakan peran perempuan dalam dunia kerja berbuah hasil.
Tapi pertanyaannya, apakah peningkatan kuantitas tenaga kerja perempuan merupakan cara jitu untuk menekan angka kemiskinan di Negeri ini ? Lalu, apakah keikutsertaan Perempuan secara aktif dalam dunia kerja berkolerasi linier terhadap peningkatan kesejahteraan di masyarakat ???
Ketika perempuan yang telah menyandang status sebagai seorang istri bekerja membantu suami, tentu akan terjadi pergeseran peran yang cukup nyata, dari seorang ibu rumah tangga yang awalnya hanya mengurusi suami serta mendidik anak-anak kini menjadi pelaku ekonomi yang ikut berperan serta mencari nafkah.
Tapi apakah upaya ini berhasil dalam menekan angka kemiskinan di Negeri ini ? berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,7 juta orang pada maret 2017, bertambah sekitar 6.900 orang dibandingkan jumlah penduduk miskin per september 2016. ( ekonomi.kompas.com )
Jelaslah sudah bahwa pemberdayaan perempuan dalam dunia kerja bukanlah solusi jitu untuk menekan angka kemiskinan yang terus melaju di bumi Pertiwi ini.
Lalu bagaimana dampak social dari upaya optimalisasi peran perempuan dalam dunia kerja ini ? Saat peran perempuan diletakkan tidak sesuai porsi dan posisi maka hidup ini tentu tidak akan berjalan dengan serasi
Dilansir dari liputan6.com, pada maret 2018 lalu, Penyidik Subdit Reskrimum Polda Jambi kembali menemukan bukti baru belasan video korban pedofilia yang direkam tersangka Toni alias Angel (28). Ia ditangkap di salah satu kamar hotel di Kota Jambi. Kasus pelaku pedofilia Toni alias Angel itu merupakan peristiwa yang luar biasa karena jumlah korbannya yang banyak dan tersebar di sejumlah provinsi.
Jumlah korban yang semula diakui sebanyak 80 anak, kini bertambah menjadi 87 anak yang tersebar di sembilan provinsi. Tersangka ditangkap di salah satu hotel di kawasan pasar Kota Jambi saat sedang bersama korban pedofilia dalam kamar pada 9 Maret 2018.
Prof Luh Ketut Suryani dari Suryani Institue for Mental Health yang merupakan aktivis yang bergerak dalam kasus pelecehan anak, mengatakan bahwa permasalahan pedofilia ini bersumber dari penelantaran anak yang disebabkan kesibukan orang tua bekerja sehingga tidak punya waktu untuk anak. (bali.tribunnews.com, 2016)
Inilah salah satu konsekuensi negatif akibat keikutsertaan ibu rumah tangga dalam dunia kerja, yaitu semakin meningkatnya risiko terjerumusnya anak-anak kepada hal negative seperti tindak kriminal yang di akibatkan oleh kurangnya kasih sayang yang diberikan orangtua, terutama Ibu.
Cukuplah realita ini menjadi potret pilu atas kegagalan pemerintah dalam memberdayakan perempuan sebagai pelaku ekonomi yang diharapkan dapat menyejahterakan perekonomian masyarakat.
Perempuan yang semestinya patut dimuliakan karena perannya sebagai pembangun peradaban dan pendidik generasi masa depan kini hanya dipandang sebagai komoditi ekonomi yang dianggap berharga hanya ketika mereka bekerja dan mampu menghasilkan pundi-pundi harta.
Padahal di dalam Islam, jelas hukum bekerja bagi wanita adalah ‘mubah’ , tapi kini para perempuan dibuat ‘wajib’ bekerja dan berlomba-lomba meninggalkan rumahnya dalam rangka turut serta memperbaiki perekonomian Negara.[MO/sr]