Oleh : Nida Husnia
Mediaoposisi.com- Topik Khilafah saat ini telah menjadi buah bibir. Mengundang pro kontra dikalangan tokoh dan masyarakat. Beragam gugatan diajukan oleh mereka yang menolak ide Khilafah. Baik secara historis maupun yuridis. Khilafah dinilai bertentangan dengan ideologi dan adat yang telah berkembang khususnya di Indonesia. Pendapat lain juga mengatakan bahwa Khilafah berdiri diatas genangan darah orang-orang yang tumbang dalam peperangan.
Sebab bicara Khilafah menurut pendapat mereka pasti terdapat sejarah penaklukan yang terlaksana dengan perang. Misalnya penaklukan wilayah Mesir oleh Amr bin Ash, penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad Al-Fatih, Andalusia oleh Thariq bin Ziyad, atau penaklukan Persia oleh Umar bin Khattab.
Apa tujuan masuknya militer Muslim ke daerah-daerah penaklukan? Yaitu mengambil alih kekuasaan pemerintahannya dan memaksa seluruh warganya untuk taat pada aturan Islam. Sejarah yang semisal itu pasti disampaikan oleh lisan–lisan bohong untuk menyerang ajaran Khilafah, apalagi ditambah dengan berkembangnya opini pro terhadap Khilafah.
Pertanyaan selanjutya adalah benarkah sejarah yang disampaikan dalam forum-forum kontra Khilafah adalah sejarah yang salah? Ya, sebab bila kita kembalikan lagi kepada hakikat makna Islam sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Mu’jam Mufradat fi Alfazil Qur’an as-silmu berarti salamah/keselamatan. Islam juga merupakan agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Maka pernyataan bahwa Khilafah adalah dark age yang senantiasa menumpahkan darah dalam futuhatnya adalah pendapat yang tidak bersumber, tidak berdalil karena itu sangat bertentangan dengan tujuan diturunkannya Islam sebagai penyempurna ajaran agama lain (Qs. Al Maidah:3) dan memberikan keselamatan (dijauhkan dari neraka) bagi siapa yang masuk didalamnya dan menjalankan syariatnya dengan sempurna.
Penaklukan yang dilakukan dalam Islam semata-mata bertujuan untuk menyebarkan dakwah Islam. Sebelum berperang, pihak lawan diberikan edukasi mengenai Islam dan ditawarkan untuk masuk Islam, bila mereka menolak, tawaran keduanya adalah menjadi Kafir dzimmi dengan mengikuti aturan syariat Islam namun mereka tetap pada agama mereka. Bila tidak mau, barulah mereka diperangi dengan aturan yang telah ditetapkan.
Penaklukan juga bertujuan menyelamatkan ummat manusia dari kerusakan sistem pemerintahan/ kerajaannya. Dengan Islam kasta dihancurkan, tak ada beda orang miskin dan orang kaya, pejabat negara dan warga sipil, semua sama dihadapan Allah. Yang membedakannya hanyalah taqwa.
Islam pun memiliki etika dalam berperang sebagaimana diabadikan dalam hadits riwayat Abu Dawud, Rasul bersabda :
ولا تقتلوا شيخاً فانيا و لا طفلاً ولا صغيراً ولا امرأةً
“Janganlah kalian membunuh orang tua yang sudah sepuh , anak-anak dan wanita” (HR. Abu Dawud 2641 dan al Baihaqi dalam Sunan al Kubra)Dalam redaksi hadits yang lain Rasul juga berpesan pada pasukan Muslim لا تقتلوا أصحاب الصوامع “Janganlah kalian membunuh pemilik bihara (rahib)” atau biasa kita sebut pemimpin agama. Yang wajib diserang hanyalah pasukan perangnya.
Coba kita bandingkan etika berperang dalam Islam dengan etika perang ala militer Amerika dan zionis Israel dalam sistem demokrasi-sekuler. Bahkan mereka tak mengindahkan autran perang internasional sebagaimana termaktub dalam Konvensi Jenewa.
Seperti peristiwa 1 Juni 2018 merupakan hari duka bagi warga Palestina. Seorang relawan medis berusia 21 tahun Razan an Najjar tertembak saat menyelamatkan seorang demonstran yang terluka di sisi pagar di timur Gaza, Khan Younis. Setelah korban dibawa ambulan, Razan mendekati pagar pengamanan dan mengangkat tanganyya sebagai tanda bahwa ia bukan ancaman. Namun sesaat kemudian peluru meluncur tepat ke dada Razan dari kejauhan 100 meter.
Pakaian putih medisnya berlumuran darah. Nurse Volunteer itu segera dibawa ke ruang operasi, seluruh tim medis melakukan upaya maksimal namun Razan tidak berhasil diselamatkan. Pada 2 Juni jenazah Razan dimakamkan dan diantar oleh warga Palestina.
Perlakuan Israel sontak mendapat kecaman dunia. Israel telah melanggar aturan internasional dalam berperang sebagaimana yang telah ditetapkan dalam konvensi Jenewa 1949. Konvensi Jenewa berisi penetapan standar hukum internasional untuk pengobatan kemanusiaan perang. Konvensi Jenewa terdiri dari berbagai aturan selama masa peperangan yaitu melindungi orang yang tidak ikut serta dalam permusuhan, seperti:
Kombatan yang terluka atau sakit
Tawanan perang
Orang sipil
Tenaga medis dan dinas keagamaan
Hal serupa juga terjadi di daerah konflik lainnya seperti Suriah, Yaman, Afghanistan dimana asas kemanusiaan tak lagi berlaku. Serangan bertubi diberlakukan bagi siapa saja tanpa memandang status sosial. Yang dilakukan para penjajah justru menembaki warga sipil, bahkan medis Volunteer seperti Razan an Najjar pun menjadi baku tembak. Apakah zionis Israel, Amerika dan yang semisal dengannya telah buta terhadap hukum?
Siapa saja yang menuduh Khilafah sebagai ajaran radikal dengan menengok pada sejarah penaklukan beberapa wilayah adalah mereka yang melakukan penilaian subyektif semata. Hari ini mereka membenci Khilafah sehingga beragam citra buruk digembor-gemborkan untuk menyudutkan ide Khilafah. Kemurnian sejarah telah diracuni dengan opini-opini negatif.
Padahal kesyahidan Razan an Najjar telah jelas membuktikan kepada kita bahwa zionis jauh lebih tak punya adab dalam berperang dibandingkan kaum Muslim. Militer Israel tak pernah memandang anak-anak sebagai pihak yang harus dilindungi dalam arti tidak boleh dibunuh.
Yang terjadi justru anak-anak disiksa dan ditembak. Begitu juga dengan para Muslimah dan orang tua. Termasuk ulama dan Imam masjid yang dalam perebutan alQuds mereka diusir dan dipukuli. Kekejaman macam ini tak pernah disinggung penguasa Muslim sebagai pelanggaran aturan internasional tapi Khilafah, idenya saja sudah ditolak dengan alasan bukti sejarah yang dipelintirkan. Sudahkah anda berpikir tentang hal ini?...[MO/sr]