Oleh : Sarah Madani
(Mahasiswi STEI HAMFARA)
Mediaoposisi.com- Yogyakarta - Kota tugu yang terkenal sebagai kota pelajar ternyata menyimpan duka dalam tanya. Daerah Istimewa yang memiliki luas 3.185,80 km² dengan deretan Universitas Negri ternama semakin melambungkan nama Yogya. Dengan macam-macam potensi alam yang bervariasi pada bumi bakpia ini, serta berjejer nya akses pariwisata yang memanjakan mata menjadi daya unggul tersendiri bagi Yogya.
Namun, dari balik rantai kewah-an yang nampak pada tanah keraton dengan segala adat Kejawaan yang masih kental ini, Yogyakarta menyimpan pilu yang kronis. Sebab, catatan Yaang dilansir dari Harianjogja.com menyatakan bahwa pada Februari 2018, jumlah pengangguran di Yogyakarta naik cukup banyak menjadi 65.600 orang dari tahun lalu yang jumlahnya sekitar 60.000 orang (Badan Pusat Statistik).
Ditambah lagi ungkapan ketua Pansus DPRD DIY, Hamam Muttaqin bahwa angka kemiskinan DIY per September 2017 lalu masih cukup tinggi, yakni 12,36 persen, dengan tingkat kemiskinan di pedesaan mencapai 15,86 persen, sementara di perkotaan berjumlah 11 persen. Bahkan data yang dilansir dari menyebutkan bahwa provinsi DIY berada pada strata tertinggi dengan predikat "kemiskinan dan pengangguran tertinggi se-JAWA".
Miris melihat daerah istimewa dengan sejuta kebanggaan istimewa mendapatkan predikat yang pastinya cukup mengundang gelengan kepala ini.
Apa yang membuat hal ini terjadi?
Berdasarkan hasil kajian Pansus, Hamam menuturkan, penyebab kemiskinan adalah ketidakseimbangan antara kota dan desa, khususnya di bidang investasi dan infrastruktur pembangunan wilayah. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi DIY terpusat pada kota dan sekitarnya, atau sub urban. (Tribun.Jogja.com)
Kondisi ketimpangan ekonomi di Yogyakarta menurut Phutut Inroyono, peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta bahwa menurutnya, ketimpangan ekonomi di Yogyakarta sudah terjadi sejak lama. Hal ini terjadi lantaran pola pembangunan ekonomi lebih banyak mengandalkan mekanisme pasar, berlakunya mekanisme berupa penumpukan modal.
Puthut memberikan sejumlah contoh terjadinya ketimpangan ekonomi yang terjadi akibat penumpukan modal dari investor. Hal ini seharusnya dapat ditekan apabila Pemerintah ikut membangun Sumber Daya Manusia (SDM) masyarakat setempat akan dunia pariwisata. Contoh termudah, adanya mekanisme pasar yakni adanya The Lost World Castle. Bangunan itu menjadi bukti datangnya investor dari luar.
“Konsep pengembangan modal dari luar ini jika dipertahankan tak akan mungkin bisa mengurangi ketimpangan. Karena akumulasinya hanya uang bukan pengetahuan tingkat kecerdasan masyarakat,” tandasnya.
Untuk itu, menurutnya perlu adanya peran negara dalam hal regulasi. Bagaimana memulai menyiapkan masyarakat dulu. "Sehingga pengaruh globalisasi yang berjalan itu tidak masalah karena daya tahannya sudah siap," ucapnya. (Jawapos.com)
Fakta tentang Yogyakarta sebagai kota pelajar pun tak banyak berpengaruh sebab bukankah Yogyakarta yang dikenal sebagai kota pendidikan belum mampu mengurangi ketimpangan ekonomi di Indonesia dan juga di DIY sendiri.? Padahal sudah tidak terhitung orang pintar yang dihasilkan dari Universitas dan Perguruan Tinggi yang ada di Yogyakarta.
Karena tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi maka sudah menjadi sebuah keharusan apabila kasus ini segera diusut tuntas.
Pengangguran apabila disebabkan karena adanya unsur dalam diri seperti rasa malas atau rasa keengganan melakukan aktivitas bekerja bagi para kaum Adam yang sudah memiliki tanggung jawab nafkah dan memiliki kemampuan menurut perspektif Islam adalah suatu bentuk kelalaian yang dapat menjerumuskan kedalam keharaman. Namun, bagaimana yang terjadi apabila banyaknya pengangguran yang menjamur lantaran ketidakadaan lapangan pekerjaan yang memadai bagi masyarakat.
Inilah- yang menjadi salah satu tugas pemerintah untuk mengentaskan pengangguran yang tinggi, bukan hanya pada Yogyakarta yang terkategori sebagai lingkup daerah tapi juga dalam skala nasional.
Pemerintah yang bijak bukan hanya sekedar stagnan pada fungsi memantau-nya saja namun juga turut memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kasus pengangguran yang kian meningkat ini, contohnya saja solusi-solusi praktis seperti diadakannya ;
program pendidikan dan pelatihan kerja, penyediaan lapangan dan informasi pekerjaan, ataupun penetapan upah yang layak dan manusiawi yang dalam perspektif Islam dikatakan distribusi pendapatan yang merata sesuai besar manfaat yang dihasilkan. Sehingga dengan demikian, problematika lain yang berkesinambungan dengan pengangguran seperti kemiskinan dan ketimpangan pun terselesaikan.[MO/sr]