Jakarta, Harian Umum- Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berencana melaporkan pihak-pihak yang mempersekusi anggota dan pengurusnya hanya gara-gara Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mencabut Surat Keputusan Badan Hukum Perkumpulan (SK BPH) organisasinya.
"Sejak PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jakarta menolak gugatan HTI untuk seluruhnya, di berbagai daerah marak terjadi tindakan, penghalangan dan penghadangan anggota dan pengurus HTI yang mengarah pada tindakan intimidasi dan persekusi," ujar kuasa hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra, saat jumpa pers di kantornya, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (4/6/2018).
Ia menegaskan bahwa tindakan ini sama sekali tidak dibenarkan, karena ketika Kemenkumham mencabut SK BPH HTI, sehingga HTI menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan ditolak, maka yang terkena (addressat) kebijakan itu adalah lembaganya. Atau dengan kata lain, yang dicabut haknya untuk berserikat adalah HTI sebagai sebuah organisasi, sementara anggota dan pengurusnya tetap boleh beraktivitas menjalankan dakwah, seperti memberi ceramah, menyampaikan khutbah, menghadiri pengajian, dan sebagainya.
"Tidak seorang pun dapat menghalangi kegiatan tersebut karena bagian dari hak asasi manusia untuk menjalankan kebebasan beragama sebagaimana dilindungi pasal 28E ayat (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945," imbuh Yusril.
Dari keterangan Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto diketahui kalau anggota dan pengurus HTI yang mengalami peristiwa yang mengarah pada intimidasi dan persekusi di antara Ustad Felix Siauw dan Ustad Affandi.
"Rencana Ustad Affandi berceramah di Bandung bahkan akhirnya dibatalkan," jelas Ismail.
Alumni Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini juga pernah mengalami kejadian tak enak.
"Saya pernah diundang ceramah di UGM. Semula semua lancar, tapi saat hari H, saya tiba-tiba diberitahu kalau nama saya dan beberapa nama lain dicoret, katanya atas permintaan pemerintah," imbuh Ismail.
Yang paling sial yang dialami Guru Besar Universitas Diponegoro (Undip), Profesor Suteki. Meski profesor ini bukan anggota apalagi pengurus HTI, namun gara-gara menjadi saksi ahli di sidang HTI, dia diberhentikan dari jabatannya.
Yusril meminta pemerintahan Jokowi menghentikan tindakan-tindakan seperti ini, dan berlakulah dengan adil. Apalagi karena sejak SK BPH dicabut, tak ada lagi kegiatan HTI di kantornya dikawasan Tebet, Jakarta Selatan.
"Bahkan papan nama pun sudah diturunkan," katanya.
Ismail sendiri mengakui kalau keterlibatan pemerintah atas apa yang dialami anggota dan pengurus HTI sangat kuat, karena persekusi yang dilakukan GP Ansor terhadap Ustad Felix Siauw dan lain-lain terkesan dibiarkan pemerintah.
"Dari kejadian ini sebenarnya kita bisa baca bahwa yang dilakukan pemerintah perhadap HTI bukan masalah khilafah atau apa pun seperti yang mereka tuduhkan, tapi ini bermotif politik karena pemerintahan ini benci Islam," katanya.
Yusril mengancam, jika intimidasi dan persekusi terhadap anggota dan pengurus HTI terus berlangsung, maka akan ditindaklanjuti secara hukum yang berlaku. (rhm)