Oleh: Ainul Mizan
Mediaoposisi.com- Politik sebagaimana yang digariskan oleh Machiaveli dalam bukunya The Prince, merupakan upaya untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan politik yang abadi. Gagasan Machiaveli dalam politik pemerintahan secara mendasar terletak pada 2 konsep yakni:
(1) bahwa politik dan pemerintahan harus dijauhkan dari agama dan Tuhan,
(2) Kekuasaan adalah sebuah tujuan yang tidak boleh dibatasi oleh norma-norma agama yang justru hanya akan memperkecil ruang geraknya (Sejarah.com)
Bahkan doktrin Machiaveli selanjutnya diterjemahkan oleh para ideolog Komunis seperti Mao Tse Dong, dengan menyatakan bahwa ketika kekuasaan ada di tangan, maka agama apapun akan berada di bawah kakimu. Bagi mereka, agama adalah candu bagi kehidupan. Agama tidak boleh menjadi superior di atas politik dan pemerintahan. Politik dan pemerintahan itu wilayah yang bebas agama dan bebas nilai.
Pada titik inilah Ideologi Kapitalisme Sekuler bisa beriringan dengan Ideologi Sosialis Komunis. Agama apapun harus dikerdilkan. Hanya saja di saat mereka menemukan Islam, yang tidak sekedar agama ritual tapi juga agama politik; kedua ideology ini pun menjadikannya sebagai common enemy / musuh bersama. Semua perangkat yang dimilikinya, mereka gunakan untuk mempertahankan kekuasaannya dan memberangus Islam.
Pada masa jahiliyah quraisy, Abu Jahal dan para pembesar lainnya adalah pemegang tafsir tunggal keesaan Tuhan dan tata cara peribadatan. Mereka mengakui bahwa Sang Pencipta itu Alloh. Dalam beribadah kepadaNya, membutuhkan perantara melalui berhala – berhala yang dibuat. Sesajian dipersembahkan agar segala hajat terkabul. Ketika Muhammad SAW datang menawarkan konsep tauhid, tentu direspon sebagai ancaman akan dominasi kekuasaannya.
Selanjutnya, para pengikut Nabi SAW mendapatkan persekusi, intimidasi, penyiksaan hingga pembunuhan. Nabi SAW sendiri pun tidak terlepas dari persekusi hingga ancaman pembunuhan. Mereka berharap hal ini menjadi pelajaran bagi semua masyarakat agar tidak membuat ulah. Mereka memberikan stick dan carrot kepada masyarakat. Pasar Ukaz menjadi ladang untuk memanjakan masyarakat dengan berbagai macam aksi dan hiburan.
Hiburan di pasar Ukaz tersebut tentunya tidak bisa menghapus duka dalam kehidupannya. Perzinaan merajalela, pembunuhan dan kejahatan menjadi pemandangan harian, termasuk ketidak adilan sosial ekonomi yang mereka rasakan. Penguburan anak perempuan hidup – hidup yang dilakukannya, hanya karena malu menanggung aib di masyarakat.
Kecurangan timbangan dan takaran dalam muamalah. Hukum rimba benar – benar berlaku. Kebijakan populis bagaimanapun untuk menyenangkan rakyat, tetap tidak mampu menghapus jejak duka. Keadaan mereka sudah terpisah juah dengan para pembesar. Loyalitas yang tampak dikarenakan rasa takut. Tentunya institusi politik yang sedemikian adalah rapuh.
Ketika datang Islam membawa sinar baru kehidupan. Fitroh manusia menyambutnya dengan gempita. Ada yang meluncur deras menyambut tanpa peduli tajamnya duri penguasa. Ada juga yang sembunyi – sembunyi menyatakan dukungannya. Cukuplah jawaban Ja’far bin Abu Tholib terhadap Najasyi akan alasan penerimaan mereka kepada Islam.
Apakah keadaan nereka di jaman Jahiliyah yang menyembah patung, makan bangkai, suka berbuat keji, memutus tali persaudaraan, dan orang yang kuat di antara mereka mendholimi orang –orang yang lemah;
ini masih lebih baik dengan keadaan mereka yang menerima ajaran yang dibawa Muhammad SAW, yang mengajarkan untuk beribadah kepada Tuhan yang haq dan tidak menyekutukanNya, melarang makan bangkai, melarang berbuat keji, menganjurkan menyammbung persaudaraan, dan meniadakan berbagai tindak kedholiman??
Apakah di momen – momen hari raya Idul Fitri dengan memberikan gaji ke-13 dan THR cukup signifikan dalam mengambil hati dari masyarakat? Apalah arti kebijakan populis digulirkan dengan sangat mencolok, sementara kebijakan – kebijakan yang langsung bersentuhan dengan pengurusan urusan – urusan masyarakat tidak berpihak kepada rakyat. Bahkan disinyalir bahwa kebijakan populis itu hanya untuk kepentingan pemilihan di tahun 2019.
Penyerahan kekayaaan alam negeri kepada swasta dan asing, pertunjukan dan drama kelicikan yang dipertontonkan kepada rakyat baik itu berupa korupsi, kolusi, dan nepotisme; pencabutan subsidi BBM dan kenaikan TDL, penyakit sosial yang dibiarkan seperti LGBT dan perzinaan, pembukaan kran membanjirnya tenaga kerja asing ke dalam negeri di tengah kondisi angka pengangguran yang makin tinggi;
utang yang menumpuk dan menggunung hanya akan semakin menambah kekecewaan dan beban penderitaan bagi rakyat.
Di saat rakyat negeri ini mulai tumbuh kesadarannya untuk diatur dengan Islam yang tidak sebatas kehidupan privat mereka, tapi juga kehidupan sosial mereka, tiba-tiba diterbitkanlah Perpu Ormas, UU Terorisme dan dibentuklah apa yang dinamakan BPIP. Padahal perpu itu dikeluarkan ketika ada kegentingan yang memaksa.
Apakah kesadaran berIslam di tengah rakyat negeri ini merupakan kegentingan yang memaksa? Bukankah yang nyata – nyata membuat sengsara negeri ini adalah penjajahan Kapitalisme baik barat maupun timur dan pengaturan politik ala Machiaveli? Lebih tepatnya yang dikeluarkan adalah perpu tentang penjajahan dan bahaya politik Machiaveli.
BPIP dibentuk sebagai Badan Pembina Ideologi Pancasila. Latar belakangnya adalah disinyalir pemahaman pancasila sudah tergerus saat ini. Justru yang menggerus nilai- nilai pancasila itu adalah perilaku politik ala Machiaveli yang dipertontonkan dengan vulgar oleh para petinggi negeri ini. Pemahaman pancasila dimonopoli. Yang bertentangan akan dituding sebagai anti pancasila.
Apakah perilaku pancasilais itu dengan melakukan tindakan anarkisme kepada awak media? Apakah perilaku pancasila itu dengan membiarkan negeri ini tetap berada di dalam cengkeraman penjajahan ekonomi, sosial, politik dan budaya oleh Kapitalisme global? Apakah termasuk pancasilais bila mempersekusi mereka yang hanya ingin menyelamatkan negeri ini dari penjajahan dengan kembali kepada Islam sebagai keyakinan mayoritas penduduk Indonesia?
Mestinya dengan memiliki kepekaan yang tinggi, para petinggi negeri hendaknya mendengarkan dengan baik aspirasi rakyatnya. Mendekatlah kepada kemauan rakyat. Mendekatlah kepada Islam yang sejatinya menjadi aspirasi rakyat Indonesia. Dengan begitu kekuasaan anda akan tetap langgeng, mendapatkan tempat di hati rakyat.
Tidak perlu lagi anda mengeluarkan peraturan pidana bagi yang menghina symbol negara seperti menghina sosok penguasa. Alasannya karena, bagi rakyat membela dan menjaga eksistensi negaranya termasuk para pemimpinnya adalah sama dengan membela eksistensi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Rakyat sadar sepenuhnya bahwa negara yang mereka ada di dalamnya adalah negara yang penguasanya menerapkan Islam dengan baik dan paripurna.[MO/sr]