Oleh : Fira Ardianti,
Mediaoposisi.com- Dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi mendapat perlakuan cukup intensif dari Menristekdikti. Pasalnya sejumlah mentri menyatakan sepakat dan setuju bahwa paham radikalisme banyak terindikasi di dunia kampus.
Hal ini semakin diperkuat dengan pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto yang mengatakan saat ini kampus berpotensi menjadi ancaman baru di Indonesia sebab dikuasai kaum anti-Pancasila (duta.co).
Pernyataan inipun langsung disambut oleh Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-DIKTI) Prof Mohamad Nasir yang akan memberikan sanksi kepada Rektor yang membiarkan kampusnya terjangkit paham radikalisme.
Disamping itu, Prof Mohamad Nasir juga telah merancang sistem kurikulum general education (pendidikan umum) untuk menangkal pemahaman radikalisme di perguruan tinggi. Hal ini dianggap sebagai solusi untuk menyelesaikan paham radikalisme di negara Indonesia.
Dilansir dari media Merdeka.com, Prof Mohamad Nasir mengungkapkan bahwa gerakan radikalisme sudah banyak menyusup ke dalam kampus-kampus di tanah air. Untuk itu, dia ingin membuat regulasi yang bertujuan menangkal radikalisme dalam kampus.
"Kami bersama kementerian lain ingin menyiapkan regulasi-regulasi yang akan menguatkan anti radikalisme. Kurikulum sudah kita masukkan. Tahun 2016, kita masukkan Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan sebagai kurikulum,".
Pembasmian radikalisme di dunia kampus, dianggap terlalu berlebihan. Pasalnya konteks kata radikalisme terlalu stereotif dan subjektif. Bercermin dari kasus-kasus sebelumnya, bahwa mereka yang mendapat label “radikal” adalah mahasiswa muslim yang memperjuangkan syariah Islam secara sempurna.
Berbeda halnya, dengan mahasiswa yang dianggap sebagai pejuang PKI tidak mendapatkan label yang sama. Padahal, jika dikembalikan kepada makna radikal berasal dari kata radix, yang didalam pengertian bahasa Latin bermakna akar.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008). Jika secara bahasa, radikal diartikan sesuatu yang bersifat mendasar, maka bisa dikatakan bahwa Islam adalah ajaran yang radikal.
Karena Islam terdiri dari akidah dan syariah yang membahas hal mendasar hingga ke prinsip dalam membuat peraturan hidup manusia. Sehingga orang-orang yang radikal, bisa dikatakan mereka yang menggunakan syariat Islam secara sempurna dalam kehidupannya. Bukankah ini hal yang bagus ?
Namun sayangnya, saat ini pemerintah ‘gagal fokus’ dalam menghadapi isu radikalisme. Paham radikal, disesuaikan dengan keinginan mereka. Mahasiswa yang tidak sejalan dengan pemerintah dianggap anti-pancasila, anti-NKRI, atau anti pemerintah.
Mereka yang menyuarakan kritik, malah ditangkap dan dibungkam. Sehingga wajar, membuat mahasiswa yang lain terkena sifat hedon dan apatis. Pasalnya, bagaimana bersifat kritis jika kebebasan bersuara dibatasi, bukankah ini negara yang katanya demokrasi ?
Alhasil, sekarang kita temukan para mahasiswa malah terjebak arus liberalisme. Narkoba, seks bebas, kasus aborsi, kasus perampokan, dilakukan oleh Mahasiswa. Seperti yang diberitakan majalah-gempur.com, bahwa ada lima mahasiswa Jember yang melakukan pesta narkoba, bahkan mereka juga mengedarkan narkoba tersebut kepada mahasiswa yang lain.
Menurut data statistik yang didapat dari penelitian Puslitkes Universitas Indonesia (UI) dan Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukan 27,32 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.
Kepala Subdirektorat Lingkungan Pendidikan BNN Agus Sutato mengatakan, pengguna narkoba dikalangan pelajar diindikasi akan mengalamani peningkatan karena maraknya narkotika jenis baru. Pengedaran narkoba jenis baru ini menyasar ke kalangan pelajar dan mahasiswa (Republika.co.id).
Tidak hanya itu, awal tahun 2018 kemarin liputan6.com juga sempat memberitakan bahwa ada pembuangan bayi yang dilakukan oleh mahasiswi keperawatan asal Jember. Fenoma kerusakan kaum terpelajar ini ibarat bongkahan es yang tertutup. Terlihat sedikit dipermukaan, tapi nyatanya begitu dalam dan besar.
Hal ini jauh lebih miris dan harus segera diatasi, daripada kasus isu radikalisme yang dianggap mengancam negara. Justru kerusakan moral para intelektualnya lah yang lebih mengancam eksistensi keberadaan negeri tercinta ini. Sehingga, hadirnya kurikulum seharusnya menjadi salah satu jalan untuk memperbaiki akhlak kaum terpelajar. Bukan malah, menangkal orang-orang yang dianggap radikal.
Hal ini juga terlihat jelas bahwa liberalisme jauh lebih membahayakan daripada radikalisme. Apalagi jika dikembalikan pada makna radikal sebenarnya serta bagaimana orang yang dianggap radikal adalah mahasiwa muslim. Tentu ini juga bisa dianggap sebagai anti Islam.
Bahkan hadirnya deradikalisme bisa diartikan sebagai sikap anti Islam. Mengapa pemerintah bisa salah fokus ? anti terhadap Islam politik, padahal disaat yang sama tidak peka dengan bahaya nyata liberalisme. Inilah buah dari pendidikan sekularisme yang tumbuh dari sistem barat.
Pendidikan yang memisahkan kehidupan dengan agama. Sehingga wajar, intelektual yang lahir dari sistem ini mengalami kerusakan moral dan identitas sebagai mahasiswa muslim, serta kehidupannya jauh dari Islam.
Berbeda halnya dengan pandangan Islam yang menggunakan kurikulum berdasarkan akidah Islam. Maka setiap komponen yang diberikan kepada siswa baik metode pembelajaran dan materi yang diajarkan tidak menyimpang dari ajaran agama.
Bahkan ini bisa dikatakan sebagai kurikulum terbaik yang pernah ada, karena kurikulum ini langsung berasal dari sang pencipta. Hal ini bisa dilihat dalam sejarah peradaban Islam yang pernah berjalan lebih dari 13 abad, bagaimana ilmuan ternama lahir dari kurikulum ini. Seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, hingga Mariam al-Astrulabi sang astrolab wanita yang penemuannya berguna hingga saat ini.
Tidak hanya itu, dalam kurikulum Islam tujuan pendidikan yang ingin diraih adalah untuk membentuk kepribadian Islam, membekali khalayak ramai dengan ilmu pengetahuan serta sains yang tentunya sangat berhubungan dengan masalah kehidupan manusia.
Kaum terpelajar yang lahir dari kurikulum ini menjadi orang-orang yang memiliki pola berpikir dan pola bersikap sesuai dengan ajaran sang pencipta serta akan menjadi individu-individu yang memiliki kedekatan dengan Tuhan-nya.
Namun sayangnya, kurikulum Islam tidak pernah bisa dilaksanakan atau dicapai kecuali negara benar-benar menerapkan syariat Islam secara sempurna dalam kehidupan individu, masyarakat maupun bernegara. Hanya Islam-lah solusi tuntas dalam menyelesaikan problematika negeri ini.[MO/un]