Oleh: Despry Nur Annisa Ahmad
Mediaoposisi.com- Dunia saat ini memasuki gelombang revolusi industri 4.0 yang mendisrupsi banyak hal. Era disruptif itu sendiri secara umum dapat diartikan sebagai sebuah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru, menggantikan pemain lama dengan pemain baru, dan menggantikan teknologi lama yang serba fisik menjadi teknologi digital.
Efek dari gelombang revolusi industri 4.0, pemerintah banyak melakukan perombakan kebijakan untuk bisa beradaptasi dengan perubahan dunia. Dalam dunia pendidikan sendiri, kebijakan Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi yang hadir dalam merespon era disruprif ini adalah impor guru besar level Internasional. Kebijakan ini menuai pro kontra dari berbagai kalangan, khususnya kalangan akademisi.
Menurut Kemenristekdikti, kebijakan ini hadir karena sedang mengejar target untuk pengembangan akademik dalam mendorong perguruan tinggi Indonesia masuk kelas dunia dengan cara meningkatkan program doktor dan publikasi internasional dan juga kerja sama riset antar perguruan tinggi.
Bisa dikatakan bahwa kebijakan impor guru ini adalah sebuah jalan pintas dalam mengangkat kualitas pendidikan tinggi Indonesia karena mengharapkan akan terjadi akselerasi pencapaian kualitas mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang berkelas dunia.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari cita-cita memiliki universitas dan mahasiswa yang berkelas dunia, hanya saja kita harus menyadari bahwa setting dunia hari ini akan selalu menjadikan negara-negara maju yang mengemban ideologi kapitalisme menjadi pemegang prestasi kelas dunia, sedangkan negara-negara berkembang akan selalu berada di belakangnya.
Hal ini terjadi karena fitrah ideologi kapitalisme yang diemban oleh negara-negara maju memiliki karakter yang rakus dan tidak akan memberikan celah agar menjadikan dirinya sejajar posisinya dengan negara-negara berkembang apalagi sampai diungguli.
Sebagai bukti nyata yakni ketika seluruh standar gemilang di dunia ini harus selalu disesuaikan pada standar yang sesuai dengan pandangan hidup dan standar kesuksesan yang dicita-citakannya.
Khusus dalam bidang pendidikan itu sendiri, beberapa standar yang ditentukan berupa aspek penelitian dan internasionalisasi. Indikator Research atau penelitian ini mencakup penilaian berkualitas diantara para akademisi dan juga produktivitasnya (seperti berapa banyak paper yang dipublikasikan), pengutipan paper (seberapa jauh di kenal dan dijadikan acuan oleh akademisi-akademisi yang lain) dan penghargaan yang diraih (seperti piala nobel dan medali fields).
Sedangkan internasionalisasi mencakup proporsi jumlah mahasiswa dan staf asing, jumlah pertukaran mahasiswa baik yang datang maupun dikirim, jumlah representasi keragaman kewarganegaraan mahasiswa dari berbagai negara, jumlah dan kekuatan kerjasama internasional dan keberadaan fasilitas religius.
Kebijakan impor guru besar oleh pemerintah Indonesia merupakan kebijakan yang tidak tepat dalam menanggapi perkembangan dunia dalam revolusi industri 4.0, sebab kebijakan yang seharusnya diambil adalah memacu perkembangan kemampuan anak-anak negeri dengan memanfaatkan potensi mereka, dalam hal ini potensi sebagai seorang pengajar.
Seharusnya dalam merespon perkembangan teknologi, Pemerintah semakin mempermudah para pemuda negeri untuk meraih pendidikan tinggi dan menjadi guru besar di bidang mereka, bukan malah mengadakan ahli baru dari luar.
Salah satu alasan mengapa hal tersebut tidak dilakukan karena keterbatasan dana untuk dialokasikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang P.S. Brodjonegoro pernah mengatakan pada Agustus 2017 lalu bahwa dana APBN Indonesia yang dialokasikan untuk penelitian hanya sekitar 0,1% dari produk domestik bruto.
Angka tersebut cukup rendah dibandingkan dengan negara lain. Data lain dari laman resmi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Selasa (29/8/2017), anggaran penelitian beberapa negara seperti Malaysia, China, dan Singapura masing-masing mencapai 1,25%, 2%, dan 2,2%.
Selanjutnya, anggaran penelitian di Jepang, Korea Selatan, Jerman, Swedia, dan Amerika Serikat masing-masing mencapai 3,6%, 4%, 2,9%, 3,2%, dan 2,75% dari total produk domestik bruto (PDB) tiap negara.
Melihat fenomena ini seharusnya menjadikan kita berpikir bahwa kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia saat ini ternyata tidak berbanding lurus dengan alokasi dana untuk peningkatan kualitas pendidikan dan pengembangan riset.
Pada dasarnya, sistem pendidikan berada dalam bawahan sistem politik. Maka ketika dana yang teralokasi untuk sistem pendidikan di Indonesia ini masih terbilang sangat rendah, tentu ini semua tidak terlepas dari sistem politik yang sedang berjalan saat ini. Sistem politik saat ini terbukti tidak mampu menghantarkan pendidikan tinggi di Indonesia menjadi “kiblat” pendidikan tinggi di level dunia. J
ika sudah demikian, mampukah kita benar-benar menjadi aktor yang mampu mengendalikan dan memanfaatkan perubahan teknologi? Atau justru lagi-lagi kita hanya menjadi user bukan produser. Lantas, bagaimana solusi tepat agar kita menjadi aktor dalam era Revolusi Industri 4.0 ini?
Jawabannya tidak lain dengan mengarahkan perubahan sistem politik yang berlangsung saat ini kepada Islam. Islam sebagai agama dengan pengaturan kehidupan yang sempurna sebenarnya mampu memberikan menjadi ideologi dan standar atas pendidikan di negeri kaum muslimin.
Keterpurukan dan ketertinggalan pendidikan di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia disebabkan karena kaum muslimin meninggalkan pengaturan Islam dan memilih menjadi objek penjajahan kapitalisme. Mengutip dari perkataan Muhamad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya “Islam di Simpang Jalan” ketika berbicara tentang Pendidikan:
“Selama kaum muslimin memandang kebudayaan barat sebagai satu-satunya kekuatan untuk meregenerasi kebudayaannya yang macet, maka mereka menghancurkan kepercayaan kepada diri mereka sendiri dan secara tidak langsung menopang penegasan barat bahwa Islam adalah satu ‘kekuatan yang telah habis dikerahkan” (1983: 75)
Kutipan dari Muhamad Asad tersebut bisa menjadi bahan refleksi bagi kita yang muslim di Indonesia. Selama ini kita sering silau pada kegemilangan semu peradaban barat. Padahal jika kita kembali kepada penerapan aturan Allah Swt, maka kita akan menjadi mercusuar peradaban.
Olehnya, jika Indonesia tidak ingin terjerat tapi melesat di era disruptif ini maka Indonesia harus memiliki keberanian memilah dan memilih “tawaran” standar dari dunia internasional dan mengambil langkah mengambil ideologi Islam sebagai standar dalam mengatur seluruh sistem berbangsa dan bernegaranya.
Allah swt berfirman:
“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas segala agama meskipun orang-orang musyrik membencinya? “ (TQS. Ashaff: 9)
Sejarah telah mencatat pada masa Ideologi Islam diterapkan untuk mengatur seluruh sistem berbangsa dan bernegara, beragam perguruan tinggi terbaik di dunia yang didirikan. Perguruan tinggi tersebut terdapat di Gundishapur, Baghdad, Kufah, Isfahan, Cordoba, Alexandria, Kairo, Damaskus dan beberapa kota besar Islam lainnya. Perguruan tinggi di luar peradaban Islam paling-paling hanya di Konstantinopel yang saat itu masih ibukota Romawi Byzantium.
Sebenarnya di Yunani tahun 387 SM juga pernah didirikan Universitas oleh Plato, namun pada awal Milenium-1 universitas ini tinggal sejarah. Universitas Konstantinopel didirikan tahun 849 M, meniru Baghdad dan Cordoba. Universitas tertua di Itali adalah Universitas Bologna berdiri 1088. Universitas Paris dan Oxford berdiri abad ke-11 hingga 12, dan hingga abad-16 buku-buku referensinya masih diimpor dari dunia Islam.
Namun dari sekian universitas di dunia Islam itu, dua yang tertua dan hingga kini masih ada adalah Universitas al-Karaouiyinne di Fez Maroko dan al-Azhar di Kairo. Universitas al-Karaouiyinne di Fez – Maroko, menurut Guiness Book of World Record merupakan universitas pertama di dunia secara mutlak yang masih eksis. Kampus legendaris ini awalnya mengambil lokasi di masjid Al Karaouiyinne yang dibangun tahun 245 H/ 859 M, di kota Fes – Maroko. Universitas ini telah mencetak banyak intelektual Barat seperti, Silvester II, yang menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M, dan memperkenalkan “angka” Arab di Eropa .
Universitas-universitas di dunia Islam ini menunjukkan bagaimana universitas Islam menjadi kiblat negara-negara di luar dunia Islam termasuk Eropa untuk mencicipi kemewahan ilmu yang begitu melimpah di dunia Islam. Inilah bukti nyata sistem pendidikan yang dibangun atas ideologi Islam.
Maka sudah sepatutnyalah, para intelektual muslim mengambil bagian untuk menjadi aktor penggerak perubahan dengan mengarahkan perubahan untuk mengoptimalkan pelaksanaan dan penyebaran syariat Islam di muka bumi ini.[MO]