Oleh: Tri Wahyuningsih
Mediaoposisi.com- Dikutip dari halaman Wikipedia, hari buruh atau May day ini pertama kali lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.
Perlawanan yang dilakukan kalangan kelas pekerja ini terus berlanjut dan menyebar ke negara-negara lainnya. Mereka berupaya memperjuangkan hak-hak yang tak terpenuhi oleh para pengusaha, hingga perjuangan para kelas pekerja ini berakhirlah dengan kesepakatan atau kongres yang dilakukan pertama kali yakni Kongres Internasional yang diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan dunia.
Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama) telah dilakukan National Labour Union di AS: Sebagaimana batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres mengubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.
Dan tanggal 1 Mei dipilih sebagai hari buruh karena pada 1884 Federation of Organized Trades and Labor Unions, yang terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872 [1], menuntut delapan jam kerja di Amerika Serikat dan diberlakukan mulai 1 Mei 1886.
Antara May Day Dan Nasib Buruh Negeri Ini
Sejak 1986, setiap tanggal 1 mei selalu diperingati hari buruh internasional. Semua buruh turun ke jalan menyuarakan tuntutan mereka baik terkait upah ataupun jam kerja. Mereka menuntut agar para majikan atau pemilik perusahaan serta penguasa negeri ini lebih memperhatikan nasib mereka, memberikan kesejahteraan yang layak untuk mereka sebagai rakyat.
Namun, fakta menunjukkan selama tiga puluh enam tahun perayaan may day tersebut nyatanya tak membawa dampak berarti bagi kesejahteraan kaum buruh khususnya perempuan. Walau telah berkerja dengan keras dan giatpun tak banyak buruh yang bisa keluar dari garis kemiskinan.
Berkerja namun uangnya habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang kian meningkat, dengan gaji yang tak mencukupi ditambah lagi dengan adanya potongan-potongan terkait asuransi kesehatan misalnya, kian berkurang pendapatan mereka dan bertambah jatuh bangun para buruh menjalankan kehidupannya.
Tapi lagi dan lagi pemilik kebijakan seolah lupa dan buta dengan nasib rakyat yang menjadi amanah mereka. Regulasi kebijakan yang para penguasa keluarkan pun melalui undang-undang tak khayal membuat nasib kaum buruh kian terpuruk.
Tak ada keberpihakan penguasa kepada nasib mereka, yang ada hanya upaya mencari keuntungan oleh penguasa dari pemilik modal alias para kapital. Dikutip dari halaman merdeka.com “Mutu kehidupan bruuh belum ada yang berubah, sampai sekarang. Enggak ada perubahan sama sekali” ujar Ketua Dewan Buruh (Jakarta, 28/4).
Impor TKA Membawa Bencana Atas Nasib Buruh
Setelah utang, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) kini menjadi perdebatan. Bagaimana tidak, saat warga Negara asli negeri ini masih kesulitan mencari lapangan pekerjaan, pemerintah dengan segala kebijakan rusaknya justru membawa masuk para pekerja asing dari negeri tirai bambu alias China.
Dimana, berdasarkan hasil survey dari Kementrian Tenaga Kerja atas jumlah masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia sungguh sangat fantastis. Tercatat sampai saat ini TKA mencapai 126.000 orang atau meningkat sebanyak 69.85% dibandingkan akhir 2016 lalu sebanyak 74.813 orang. Mayoritas pekerja tersebut benar berasal dari China.
Dan masuknya tenaga kerja asing ke negeri ini dengan dalih dapat meningkatkan kesejahteraan negeri dengan dalih investasi asing meningkat, otomatis akan adanya pembangunan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang ada hanyalah kebohongan nyata, lip service penguasa untuk rakyat.
Alih-alih sejahtera, masyarakat kian terpuruk perekonomiannya, tingkat pengangguran semakin tinggi, angka keluarga miskin tak terhitung lagi jumlahnya dan nasib buruh asli negeri semakin keruh dan terpuruk.
Inilah output dari penerapan sistem kapitalis dalam bingkai rezim neoliberalisme, penguasa yang lebih mengutamakan asing daripada warga negaranya sendiri. Neoliberalisme yang memegang prinsip menolak campur tangan Negara dalam hal pengaturan perekonomian dan menyerahkan semuanya secara penuh kepada para pemilik modal atau para capital, inilah yang menjadi kunci kehancuran perekomian negeri.
Hilangnya kesejahteraan rakyat, karena negara hanya akan berkerja dan mengeluarkan kebijakan atas perintah para pemilik modal tadi. Dan impor tenaga kerja asing yang berhulu dari MEA juga merupakan hasil dari permintaan para pemilik modal melalui pengesahan Perpres beberapa waktu lalu.
Lagi dan lagi penerapan sistem kapitalisme ternyata memang benar tak akan pernah membawa kesejahteraan apalagi ketentraman bagi rakyat dalam kehidupan bernegara. Segala kebijakan yang penguasa terapkan hanya membawa bencana kesengsaraan hidup semata.
“Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” inilah mungkin gambaran yang pantas akan kehidupan saat ini. Ketimpangan social terlihat jelas, berkerja sekeras apapun bagi rakyat kelas menengah ke bawah tak akan mampu mengubah perekonomian keluarga.
Bukan hanya persoalan gaji kecil semata, tapi kebutuhan yang kian meningkat dengan harga barang terus melonjak naik sebab segala subsidi telah dicabut oleh rezim dictator saat ini.
Kesejahteraan Hakiki Hanya Dalam Sistem Islam
Berbanding terbalik dengan kehidupan masyarakat dalam sistem kapitalisme saat ini, dimana sangat jauhnya jangkauan kesejahteraan dari rakyat. Kehidupan dibawah naungan sistem Islam dulu nyatanya mampu membawa umat ke dalam kesejahteraan hakiki dan sempurna.
Karena sejarah mencatat betapa kesejahteraan hakiki terbukti diraih oleh umat Islam dengan menerapkan syariahnya. Sekadar contoh, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-K haththab, selama 10 tahun kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri.
Abu Ubaid (Al-Amwâl, hlm. 596) menuturkan bahwa dalam tiga tahun masa pemerintahan Khalifah Umar, di wilayah Yaman saja, setiap tahun Muadz bin Jabal mengirimkan separuh bahkan seluruh hasil zakat yang dia pungut kepada Khalifah Umar.
Harta zakat itu tidak dibagikan kepada kalangan fakir-miskin. Sebab, kata Muadz, “Saya tidak menjumpai seorang (miskin) pun yang berhak menerima bagian zakat.” (Al-Qaradhawi, 1995).
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah memberikan harta dari Baitul Mal (Kas Negara) kepada para petani di Irak agar mereka dapat mengolah lahan petanian mereka (An-Nabhani, 2004).
Kesejahteraan tercermin dalam pemberdayaan wakaf. Hampir 75% seluruh lahan yang dapat ditanami di Daulah Khilafah Turki Usmani merupakan tanah wakaf. Pada masa penjajahan Prancis pada pertengahan abad ke-19 setengah (50%) dari lahan di Aljazair merupakan tanah wakaf.
Pada periode yang sama, 33% tanah di Tunisia merupakan tanah wakaf. Bentuknya berupa toko, rumah dan gedung, lahan pertanian, perkebunan dan tanaman lainnya.
Imam Ibnu Kasir, dalam kitab Alamat Yawm al-Qiyamah, menyatakan, “Pada jaman pemerintahannya, buah-buahan menjadi sangat lebat, tanam-tanaman sangat subur, harta-benda terdistribusi luas (di kalangan masyarakat), pemerintahan Islam sangat kuat perkasa, syariah Islam tegak dengan kokoh, musuh-musuh Islam binasa semuanya dan kebaikan senantiasa berjalan sepanjang masa.”