Oleh : Lu’lu’ Firaudhatil Jannah, M.Si.
Mediaoposisi.com- Dingin, lamban, malas serta tak lagi tangkas. Demikian potret gerakan mahasiswa zaman now. Mahasiswa saat ini yang terlahir sebagai generasi milenial merupakan generasi kreatif yang pragmatis. Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ada diartikan dengan menjalankan pendidikan dan penelitian, bukan organisasi dan demonstrasi.
Dan yang termasuk amanah adalah lulus tepat waktu. Amanah orang tua di tengah biaya kuliah yang semakin tinggi dan kurikulum yang semakin padat. Pendidikan dan penelitian dianggap lebih tepat untuk mengisi waktu kuliah yang relatif singkat (Purwo Udiutomo, republika.co.id).
Pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu Tri Dharma dipandang berbeda dengan sosial politik. Ia masuk pada masalah sosial kemasyarakatan. Mahasiswa milenial pun pasti tertarik mengikuti gerakan horizontal ke masyarakat. Kuliah kerja nyata, bakti sosial, ataupun program community development selalu ramai peminat.
Donasi kemanusiaan offline atau online juga tidak sepi. Aksi nyata membantu masyarakat dinilai sebagai bentuk kepedulian yang nyata. Apalagi jika dibandingkan gerakan vertikal dalam bentuk aksi masa yang jauh dari gaya kekinian.
Gerakan mahasiswa pun mulai mengalami digitalisasi, di antaranya melalui media sosial, aplikasi start up, crowdfunding, ataupun petisi online. Peduli dan kontribusi tidak harus berupa demonstrasi turun ke jalan (Purwo Udiutomo, republika.co.id).
Peristiwa politik pasca reformasi, betapapun menyita perhatian publik, namun tidak mampu memantik emosi mahasiswa untuk terjun kembali ke ladang persemaian aspirasi, menyuarakan aspirasi umat, membela kepentingan umat dan bersama umat berusaha menghentikan kedzaliman yang ditimpakan penguasa.
Pada saat yang sama, umat juga mengambil jarak terhadap mahasiswa. Mahasiswa dinilai tidak lagi mewakili aspirasi rakyat, apalagi setelah mashur diketahui pimpinan pergerakan mahasiswa justru asik menikmati politik meja makan yang dihidangkan penguasa (Ricky Fattamazaya, telegram.co.id).
Dalam konteks itulah, pergerakan mahasiswa yang tulus dan ikhlas, bergerak berdasarkan visi dan misi politik untuk membela kepentingan umat mendapat dua problem sekaligus.
Pertama, secara internal sulit melakukan konsolidasi pergerakan disebabkan lunturnya idealisme pergerakan. Materi dan pragmatisme telah menjadi asas dan pertimbangan pergerakan. Keadaan ini pula, yang menjadikan organ pergerakan mahasiswa justru membebek pada penguasa untuk mendapatkan asupan gizi politik.
Visi cekak berupa kompensasi dunia, menjadikan jarak pandang pergerakan mahasiswa menjadi kabur, tidak jelas, cenderung pragmatis.
Kedua, secara eksternal nyaris mustahil melakukan perubahan revolusioner tanpa dukungan umat. Mahasiswa, betapapun kuat arus dan pergerakannya tanpa dukungan umat, niscaya idealisme yang diusung mahasiswa akan berakhir sebatas orasi-orasi dan bahasa agitasi yang menjemukan (Ricky Fattamazaya, telegram.co.id).
Islam, Visi Pergerakan Aktivis Zaman Now
Dunia mengenal komunisme yang telah runtuh bersama dengan runtuhnya Uni Soviet, sedangkan demokrasi dan kapitalisme telah di ambang kehancurannya. Islam sebagai sebuah sistem aturan yang dikirimkan oleh Allah SWT, Sang Pencipta alam semesta menawarkan solusi atas setiap permasalahan manusia.
Komunisme dan kapitalisme merupakan pemikiran yang dihasilkan dari pemikiran manusia yang memiliki keterbatasan. Kedua ideologi tersebut dalam pengaplikasiannya selalu mendatangkan kerusakan dan korban jiwa yang tak terhitung.
Sudah saatnya kaum Muslimin kembali kepada fitrahnya yakni menerapkan Islam sebagai solusi permasalahan mereka. Kejayaan peradaban Islam telah ditorehkan dengan tinta emas dalam sejarah. Dan kejayaan tersebut bukan sekadar romantisme sejarah, namun dapat terwujud kembali.
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." [Surah An-Nahl: 89]
Islam itu luas, sangat luas mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada di dalam kehidupan manusia, hal apapun itu yang lepas dari perhatian Islam ini. Semuanya selalu diperhatikan oleh Islam, semuanya selalu berhubungan dengan Islam.
Islam adalah sebuah din yang merupakan rahmat, anugerah bagi seluruh alam bukan hanya untuk orang-orang Muslim tapi juga untuk orang-orang non-Muslim. Islam, tentunya tidak hanya menyangkut masalah hubungan kita dengan Allah (habluminallah), namun juga menyangkut hubungan kita dengan sesama manusia (habluminannas) dan lingkungan.
Islam terdiri dari aqidah dan syariah, keduanya tidak dapat dipisahkan. Memisahkan syariat dari aqidah akan menghilangkan jati diri ajaran Islam. Menempatkan Islam hanya pada sebatas akhlak dan moral yang baik sama artinya dengan mengebiri ajaran Islam secara kaffah. Islam tidak boleh dipisahkan dari inti ajarannya, tidak boleh islam hanya diartikan sebatas keyakinan semata tanpa memasukan unsur syariat ke dalamnya begitu juga sebaliknya.
Mahmud Syalthut menyatakan : “Di dalam Islam, akidah adalah landasan pokok (al-ashl) yang membangun syariat. Syariat refleksi akidah. Oleh karena itu, tidak ada syariat tanpa keberadaan akidah. Tidak ada penerapan syariat Islam kecuali di bawah naungan akidah Islamiyyah. Sebab, syariat tanpa dilandasi akidah seperti bangunan tanpa dasar.”
Negara Khilafah merupakan bagian tak terpisahkan dari syariah Islam; sama seperti shalat, zakat, puasa dan hukum Islam yang lain. Keberadaannya ditetapkan sebagai metode syar’i untuk menerapkan ajaran Islam secara kâffah dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Memberangus negara Khilafah (sekularisasi) tidak ada ubahnya dengan memberangus ajaran shalat, zakat dan puasa dari Islam.
Para ulama sepakat bahwa eksistensi Khilafah (Imamah) bagi kaum Muslim adalah wajib. Syaikh Wahbah al-Zuhaili di dalam Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menyatakan, “Mayoritas ulama Islam (yakni Ahlus Sunnah, Murjiah, Syiah, dan Muktazilah selain sekelompok dari mereka dan Khawarij kecuali Najdat) berpendapat bahwa Imamah merupakan perkara wajib atau fardlu secara pasti.”
Penegasan ini antara lain dinyatakan oleh At-Taftazani Syarh al-‘Aqâ’id an-Nasafiyah; Al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn; Syaikh ad-Dahlawi, Hujjat al-AlLâh al-Bâlighah, Al-Khathib al-Baghdhadi, Ushûl ad-Dîn; Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah. Ibnu Hazm berkata, “Seluruh ulama Ahlus Sunnah, seluruh Murjiah, seluruh Syiah dan seluruh Khawarij sepakat atas kewajiban Imamah (Khilafah); sepakat atas kewajiban umat wajib mengikuti imam adil yang menerapkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syariah yang datang dari Rasulullah SAW, kecuali kelompok Najdat.”
Keberadaan negara Khilafah sebagai perkara fardhu dan urgen bagi kaum Muslim juga ditunjukkan oleh perilaku sahabat, tabi’ûn dan generasi berikutnya. Dalam konteks historis, kaum Muslim pernah diperintah oleh 104 khalifah. Mereka adalah: 5 khalifah dari Khulafaur Rasyidin; 14 khalifah dari Dinasti Umayah; 18 khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyah; diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah; dari Bani Seljuk 11 orang khalifah, dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke Kairo, yang kemudian dilanjutkan oleh 18 orang khalifah.
Setelah itu khilafah berpindah kepada Bani ‘Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah dari para khalifah ‘Utsmaniyyah (Majalah Al-Khilafah al-Islaamiyyah, Ed.1, Sya’ban 1315 H/1995, lihat hlm. 6 dan seterusnya). Khalifah terakhir adalah ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M).
Mahasiwa Islam dan pergerakannya sudah seharusnya menjadikan nilai syariat Islam sebagai basis ideologi perjuangannya.
kerusakan kapitalisme global dengan sistem politik demokrasi yang dipaksakan di berbagai negeri kaum Muslimin telah menghasilkan kerusakan yang parah dan tidak pernah terjadi sebelumnya.
Jadi, mainstream politik Khilafah bukanlah ekspektasi, ia merupakan realitas nyata yang arah pergerakannya sedang menuju puncaknya. Pada titik akumulasi, seluruh elemen pergerakan mahasiswa Islam dan umat akan berkumpul pada visi politik yang sama, memperjuangkannya dan menegakannya secara bersama-sama. Khilafah yang tegak kelak adalah Khilafahnya umat, khilafahnya mahasiswa, khilafah milik seluruh kaum muslimin (Ricky Fattamazaya, telegram.co.id).[MO/sr]