Oleh: Fajar Kurniawan - Staf Ahli PKAD
Institute for Developement of Economic and Finance (Indef) menilai sebutan Indonesia sebagai negara agraris sudah tidak tepat, lantaran kebutuhan impor pangan masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga. Tingginya ketergantungan impor untuk kebutuhan pangan saat ini dinilai menunjukkan sektor pertanian tak terurus. Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto, menyebutkan sekitar 60% kebutuhan bahan baku untuk industri makanan juga dipenuhi dari impor. Hal ini mendandakan jika sektor pangan Indonesia bukannya semakin menuju kemandirian justru malah semakin bergantung impor. "Selama 10 tahun terakhir impor produk pertanian itu hampir 50% dari kebutuhan. (Tahun) 2007 impor sayur dan buah-buahan dibuka. Pada saat itu juga neraca dagang kita selalu negatif. Jadi sangat jauh sekali rata-rata pertumbuhan ekspor dan impor," kata Eko saat ditemui dalam acara diskusi Indef di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu (18/4). (https://kumparan.com/@kumparanbisnis/indef-impor-pangan-tinggi-menandakan-pertanian-tak-terurus)
Politik Pertanian merupakan bagian integral yang saling berhubungan erat dengan ketahanan pangan. Karena itu ketika kita berbicara tentang politik pertanian, politik perindustrian, politik pertanahan, politik perburuhan, politik perdagangan –baik perdagangan dalam negeri maupun perdagangan luar negeri—semuanya dibahas dalam satu kesatuan yang berhubungan erat. Semua bidang tersebut dalam harusnya diarahkan kepada upaya mewujudkan tercapainya tujuan politik ekonomi menurut Sistem Ekonomi. Politik ekonomi yang berkeadilan adalah penerapan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap indidvidu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka.
Bicara masalah beras adalah bicara teknologi pertanian pangan. Di sini dikenal tiga fase pekerjaan, yaitu (1) produksi, (2) pascapanen dan (3) distribusi. Beras adalah komoditas yang relatif inelastis. Di satu sisi tingginya permintaan tidak bisa segera diantisipasi dengan produksi (karena menanam padi perlu minimal tiga bulan!). Di sisi lain, selama pola makan bangsa ini masih didominasi beras, maka bisnis beras hampir tak mungkin rugi. Dengan gudang modern yang memiliki pengatur udara, beras dapat disimpan hingga bertahun-tahun, dan dilepas hanya ketika harga tinggi. Celakanya adalah ketika hal seperti ini justru dilakukan dengan semata-mata pertimbangan bisnis.
Sejak Bulog berubah dari lembaga pelayanan masyarakat (perusahaan umum penyangga tata niaga bahan pokok) menjadi mirip BUMN yang mencari untung, maka distribusi beras benar-benar diatur dengan prinsip kapitalisme. Jadi jelas bahwa kuncinya sebenarnya bukan pada teknologi pertanian sich, tetapi lebih pada sistem distribusinya. Walaupun demikian teknologi pertanian tetap penting untuk dikuasai. Pada komoditas selain beras seperti terigu, kedelai dan susu, produksi kita memang sangat rendah. Adalah ironis bahwa “makanan orang miskin” seperti tahu-tempe, bahan baku kedelainya ternyata banyak diimpor!
Indonesia dikenal sebagai Negara agraris dengan luasnya lahan pertanian. Namun yang terjadi di dalam negeri yang menganut sistem kapitalisme seperti Indonesia keadaan ketahanan pangan jauh dari harapan. realita demokrasi semakin jauh dari realisasi politik ‘demi kepentingan rakyat’. Para pemilik modal itulah yang akhirnya secara efektif memiliki akses dan kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah. Maka tidak heran bila kemudian kebijakan yang diambil oleh pemerintah cenderung lebih menguntungkan para pemilik modal atau kelompok kaya dan kaum elit yang tidak lain adalah mereka yang telah mendukung rezim naik ke tampuk kekuasaan sehingga yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin semakin tersisihkan.
Industri pertanian akan tumbuh dengan baik, jika sarana dan prasarana yang mendukung tumbuhnya industri pertanian tersedia secara memadai. Sarana dan prasarana tersebut mulai dari tersedianya bahan baku industri pertanian, yakni bahan-bahan pertanian yang memadai dan harga yang layak, jaminan harga yang wajar dan menguntungkan serta berjalannya mekanisme pasar secara transparan serta tidak ada distorsi yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang memihak. Selain itu juga adanya prasarana jalan, pasar dan lembaga-lembaga pendukung lainnya seperti lembaga penyuluhan pertanian, lembaga keuangan yang menyediakan modal bagi usaha sektor industri pertanian. Hal ini semua diperlukan agar industri pertanian dapat tumbuh dengan baik.
Saat ini para pionir teknologi pertanian sering merasa kurang didengar – baik oleh kolega sendiri apalagi oleh para pengguna umum. Sebenarnya kuncinya kembali lagi kepada (1) motivasi individual – baik di level produsen maupun konsumen; (2) kultur pangan yang ada di masyarakat; (3) peran negara yang seharusnya pro-aktif menghilangkan kelaparan di negeri yang dilindunginya. [IJM]