Oleh: Lili Agustiani
Mediaoposisi.com- Keputusan orang no 1 di Indonesia itu telah menggegerkan jagad Negeri. Bagaimana tidak? Perpres yang dikeluarkan tentang Tenaga Kerja Asing (TKA) dinilai merugikan pekerja dalam Negeri. Wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon menilai Perpres no 20 tahun 2018 tentang penggunaan tenaga kerja asing tidak berpihak pada pekerja lokal.
Salah satu poin dalam Perpres itu tidak memberi kewajiban bagi seluruh TKA di Indonesia memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dari kementerian dan lembaga teknis terkait.
\
Dalam Pasal 10 disebutkan pemberi kerja tidak wajib memberikan RPTKA bagi TKA yang memegang saham dan menjabat sebagai anggota direksi, pegawai diplomatik, dan jenis-jenis pekerjaan yang masih dibutuhkan pemerintah. Merujuk data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi.(Sumber: CNN Indonesia)
Sebelum ada perpres angka tenaga kerja asing mengalami lonjakan dari tahun lalu. Kita lihat saja per Maret 2018 ada 126 ribu tenaga kerja asing di Indonesia. Angka itu naik 69,85 persen dibandingkan jumlah tenaga kerja asing pada Desember 2016 sebesar 74.813 orang.
Akibat dari diputuskannya Perpres no 20/2018 Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristegdikti) mendatangkan 200 dosen asing ke Indonesia. Dirjen Sumber Daya Iptek Dikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, para dosen tersebut akan menerima gaji antara 3.000 hingga 5.000 USD atau setara Rp39 juta-Rp65 juta (kurs Rp13.000). 20x lipat dibanding dosen lokal yg juga lulusan terbaik dari kampus luar negeri.
Masyarakat tak pernah berfikir, keputusan yang dikeluarkan tentang tenaga kerja asing bertentangan dengan apa yang dikampanyekan tahun 2014 lalu. Berjanji menciptakan 10 juta lapangan kerja bagi warga Indonesia. Janji tersebut diutarakan tentu karena faktanya banyak rakyat yang tidak memiliki pekerjaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang. Berdasarkan data BPS, jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Agustus 2017 mencapai 128,06 juta orang. Jumlah tersebut naik 2,62 juta dibanding Agustus 2016 yang sebanyak 125,44 juta orang.
Jelas sekali keberpihakan pemerintah terhadap pekerja asing, hal ini dinilai telah melukai hati rakyat Indonesia. Di Negara sendiri masih banyak pengangguran, justru mengimpor pekerja dari luar. Mempermudah urusan perizinan justru mempersilahkan pekerja asing untuk masuk.
Ini kah yang dinamakan Negara yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme? Kemana rasa itu pergi? Ketika angka pengangguran didepan mata semakin bertambah justru lebih memilih membuka selebar-lebarnya pekerja dari luar.
Bukan tidak boleh, hanya saja Negara harus mampu memprioritaskan pekerja lokal daripada pekerja asing.
Belum selesai satu masalah. Muncul lagi masalah baru. Begitulah kira-kira gambaran ketika suatu Negara tidak berhukum pada hukum Allah sang pencipta manusia. Sistem kapitalisme yang mendominasi dunia sudah menjerat bagaikan simpul setan.
Sulit keluar darinya. Masalah yang ada saat ini didorong karena faktor sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Yaitu kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme siapa yang punya modal maka dialah yang berkuasa.
Terlihat pada setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan hanya berasas pada asas manfaat dan keuntungan. Bukan pada haram atau halal atau berpihak pada warga Negara lokal.
Syariah Islam menganggap pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji (upah) tertentu. Kebolehan menggunakan tenaga kerja dari luar juga pernah dilakukan oleh Rosullullah ketika mengontrak seorang yahudi sebagai penulis, mengontrak seorang yahudi yang lain sebagai penterjemah, serta mengontrak orang musyrik sebagai petunjuk jalan.
Khalifah Abu Bakar ra dan Khalifah Umar ra juga pernah mengontrak orang nasrani untuk menghitung harta kekayaan. Adapun pekerjaan yang sifatnya mendekatkan diri kepada Allah SWT atau yang berhubungan dengan aqidah disyariatkan pekerjanya adalah muslim.
Jadi menggaji pekerja dalam masalah umum masih dibolehkan mengambil tenaga dari luar.
syariat islam juga mengatur bagaimana memposiskan tenaga kerja asing sesuai kebutuhan tanpa merugikan rakyat, dan menjatuhkan harkat dan martabat Negara. Yang jelasnya dalam dunia Islam yang menjadi prioritas utama adalah warga Negara lokal.
Jika tidak ada yang ahli maka boleh belajar keluar atau mendatangkan ahlinya dari luar. Itupun hanya sesuai dengan kebutuhan. Kalau kita lihat kasus saat ini Indonesia masih punya banyak ahli dimasing-masing bidang tanpa harus mendatangkan dari luar.[MO]