Oleh: Dela Nusa
Praktisi pendidikan
Mediaoposisi.com- Bila dikatakan Indonesia negeri yang memiliki potensi sumber daya manusia yang besar, tentu tiada yang bisa meragukannya. Lihat saja jumlah penduduk Indonesia per 30 Juni 2016 seperti yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI Tjahjo Kumolo, sebanyak 257.912.349 jiwa.
Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia saat ini masih di angka 1,49 persen. Maka dalam satu tahun penduduk indonesia bertambah sekitar 4 juta jiwa, sebagaimana dikatakan Kepala BKKBN Pusat dr Surya Chandra. Artinya, di bulan Juli 2018 jumlahnya menjadi sekitar lebih dari 266 juta jiwa (tribunnews.com).
Tak heran bila dibandingkan negara-negara anggota ASEAN yang terdiri 10 (sepuluh) negara, negri kita menempati urutan teratas. Tentu wajar pula bila angkatan kerja alias penduduk dengan usia produktif cukup besar di negri zamrud khatulistiwa ini.
Data Badan Pusat Statistik menyebutkan jumlah angkatan kerja Indonesia pada Februari 2017 sebanyak 131,55 juta. Jumlah tersebut naik 6,11 juta dibanding Agustus 2016 dan naik 3,03 persen atau 3,88 juta dibanding Februari 2016.
Sayangnya pada tahun 2017 juga telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 10.000 orang menjadi 7,04 juta orang pada Agustus 2017 dari Agustus 2016 sebesar 7,03 juta orang. Kepala BPS Kecuk Suhariyanto mengatakan, pertambahan jumlah pengangguran tersebut disebabkan oleh peningkatan jumlah angkatan kerja di Indonesia.
"Setahun terakhir, pengangguran bertambah 10.000 orang menjadi 7,04 juta di Agustus 2017," ujar Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (6/11/2017).(tempo.com).
Namun ibarat petir di siang bolong, alih-alih memberikan solusi mengatasi pengangguran anak negeri, pemerintah justru menggelar karpet merah menyambut tenaga kerja asing. Tepatnya Rabu, 4/4/2018, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Dengan tanpa tedeng aling-aling Perpres ini dari awal justru ditujukan untuk mempermudah tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia. Di bawah bayang-bayang 7,04 juta warga yang butuh pekerjaan, pemerintah berdalih terbitnya Perpres adalah untuk peningkatan investasi dan perbaikan ekonomi nasional.
Lebih jauh dalam perpres ini disebutkan, setiap pemberi kerja TKA yang menggunakan TKA harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) yang disahkan menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Namun, pemberi kerja TKA tidak wajib memiliki RPTKA untuk mempekerjakan TKA yang merupakan: Pemegang saham yang menjabat anggota direksi atau anggota dewan komisaris pada pemberi kerja TKA, pegawai diplomatik dan konsuler pada perwakilan negara asing, dan TKA pada jenis pekerjaan yang dibutuhkan pemerintah.
Bahkan untuk pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, menurut perpres ini, pemberi kerja TKA dapat mempekerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan RPTKA kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama hanya dua hari kerja setelah TKA terlanjur bekerja.
Walhasil dengan perpres ini kedatangan TKA disambut hangat kedatangannya bagaikan tamu agung. Padahal masih tertera jelas dalam UUD 1945 pasal 27 ayat (2), "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
Dengan kata lain merupakan kewajiban bagi negara untuk memfasilitasi warga negaranya sendiri untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Pada gilirannya lumrah bila banyak pihak kemudian mempertanyakan kebijakan ini.
Bagaimana mungkin melapangkan jalan bagi TKA sementara tak sedikit tenaga kerja dalam negeri yang membutuhkan? Demikian salah satu kritik yang datang dari Wakil Ketua Komisi IX DPR Saleh Daulay terkait penerbitan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
"Saya khawatir, justru kemudahan bagi masuknya mereka malah berdampak negatif. Termasuk keterbatasan kemampuan pemerintah dalam melakukan pengawasan. Bisa saja, orang-orang yang masuk itu juga diiringi dengan masuknya barang-barang ilegal, termasuk narkoba," kata Saleh melalui keterangan tertulis, Jumat (6/4/2018) (kompas. com). Sungguh kekhawatiran yang cukup beralasan.
Maka mutlak diperlukan solusi tuntas untuk mengurai masalah ini. Berharap pada aturan buatan manusia seringkali hanya menuai kekecewaan. Karena galibnya manusia di sepanjang masa bisa berubah sudut pandang dan kepentingannya.
Hal yang seharusnya adalah kewajiban - yang tak bisa ditawar-tawar- negara terhadap warga negara, sekarang seolah tak lagi demikian. Berbeda dengan Islam. Syariatnya datang dari Zat Yang Maha Pencipta segala makhluq.
Zat Yang Maha Mengetahui kebutuhan hamba-hambaNya hingga syariat tersebut tak lekang oleh zaman. Berlaku di segala kondisi.
Terkait solusi terhadap masalah pekerjaan, sejak dulu telah dicontohkan oleh Rasul saw saat di Madinah menjalankan roda pemerintahan.
Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Anas bin Malik ra, Suatu ketika ada seorang pengemis dari kalangan Anshar datang meminta-minta kepada Rasulullah SAW. Lalu beliau bertanya kepada pengemis tersebut, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?”
Pengemis itu menjawab, “Tentu, saya mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir.” Rasul lalu berkata, “Ambil dan serahkan ke saya!” Pengemis itupun pulang mengambil satu-satunya cangkir miliknya dan kembali lagi pada Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW kemudian menawarkan cangkir itu kepada para sahabat, “Adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?” Seorang sahabat menyahut, “Saya beli dengan satu dirham.” Rasulullah SAW menawarkannya kembali, “Adakah di antara kalian yang ingin membayar lebih?”
Lalu ada seorang sahabat yang sanggup membelinya dengan harga dua dirham. Rasulullah SAW memberikan dua dirham itu kepada si pengemis lalu menyuruhnya menggunakan uang itu untuk membeli makanan untuk keluarganya dan sisa uangnya digunakan untuk membeli kapak.
Rasullulah SAW berkata, “Carilah kayu sebanyak mungkin dan juallah, selama dua minggu ini aku tidak ingin melihatmu.” Sambil melepas kepergiannya Rasulullah SAW pun memberinya uang untuk ongkos. Dua minggu kemudian pengemis itu datang kembali menghadap Rasulullah SAW sambil membawa uang sepuluh dirham hasil dari penjualan kayu.
Demikianlah Rasul saw menyelesaikan masalah seorang yang mengemis karena tak memiliki pekerjaan. Mencontoh beliau dalam hal ini saja pastinya belum bisa menyelesaikan masalah seluruhnya.
Karena yang diperintahkan bagi kita adalah mengambil Islam secara kaffah. Firman Allah swt, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Allah ta’ala berfirman menyeru para hamba-Nya yang beriman kepada-Nya serta membenarkan rasul-Nya untuk mengambil seluruh ajaran dan syari’at; melaksanakan seluruh perintah dan meninggalkan seluruh larangan sesuai kemampuan mereka.” (Tafsir Ibn Katsir 1/335). [MO/br]