Oleh: Aminudin Syuhadak - Dir. LANSKAP
Dikutip- dari kompas.com (16/4/8) Indonesia terus memperluas kerja sama dengan China. Rombongan pemerintah yang dipimpin Menteri Koordinator Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan meneken berbagai perjanjian kerja sama antara perusahaan Indonesia dan China pada Jumat (13/4/2018) senilai 23,3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 310 triliun. Luhut menyatakan Indonesia dan China menyepakati dua nota kesepahaman (MoU), yakni pengembangan mobil listrik dan pengembangan Tanah Kuning Mangkupadi Industrial Park di Kalimantan Utara.
Selanjutnya, ada lima kontrak kerja sama yang telah ditandatangani. Kontrak pertama, pengembangan proyek hydropower di Kayan, Kalimantan Utara senilai 2 miliar dollar AS. Kedua, pengembangan industri konversi dimethyl ethercoal menjadi gas senilai 700 juta dollar AS. Ketiga, perjanjian joint venture untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air di Sungai Kayan, Kalimantan Utara senilai 17,8 miliar dollar AS. Keempat, joint venture pengembangan pembangkit listrik di Bali senilai 1,6 miliar dollar AS. Kelima, pengembangan smelter baja senilai 1,2 miliar dollar AS.
“Kami ingin melihat terus terjalinnya kerja sama antar investor dari kedua negara, tidak hanya antar pemerintah saja," kata Luhut pada keterangan tertulisnya Sabtu (14/4/2018). Selain itu Luhut juga mendorong kerja sama pada empat sektor investasi senilai 51,93 miliar dollar AS atau sekitar Rp 690 triliun. (https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/16/103400626/dari-china-luhut-bawa-pulang-investasi-rp-310-triliun.)
Catatan
BKPM telah melaporkan angka realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp692,8 triliun. Realisasi investasi PMA berdasarkan 5 besar asal negara adalah Singapura sebesar USD8,4 miliar (26,2%), Jepang sebesar USD5,0 miliar (15,5%), China sebesar USD3,4 miliar, (10,4%); Hong Kong sebesar USD2,1 miliar, (6,6%), dan Korea Selatan sebesar USD20 miliar (6,3%).
Kita menemukan fakta bahwa investasi yang salah sasaran ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di sejumlah negara di kawasan. Banyak yang berpendapat bahwa investasi asing termasuk investasi China justru jadi alat hegemoni untuk menguasai apa saja yang ada di Indonesia. Hari ini, fakta tren investasi dari China terus naik. China menjadi investor nomor satu di Asia. Ekonomi China sendiri terus tumbuh sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia. Wajar China menjadi investor besar.
Pertanyaan mengapa investor asing dari dulu hingga sekarang begitu tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia? Eksistensi investor asing sesungguhnya tak lebih dari seperti yang digambarkan oleh peribahasa “ada gula ada semut”. Artinya, ketika sumber daya alam (gula) yang dimiliki Indonesia sudah habis maka ketika itu pulalah mereka akan pergi meninggalkan Indonesia. Tidak peduli betapapun bagusnya investment grade yang disematkan kepada Indonesia sebagaimana yang sering dirilis oleh lembaga-lembaga pemeringkat seperti halnya Moody’s.
Kita melihat ada kegagalan dalam model pembangunan Indonesia, pusat perhatian negara adalah pasar dan investor. Keberpihakan tersebut merupakan konsekuensi dari ketergantungan pembangunan pada hutang dan investasi asing, serta pandangan pasar dan investor sebagai lokomotif pertumbuhan. Model pembangunan yang menjadikan pasar dan investor sebagai pusat perhatian negara akan mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan undang-undang yang bersahabat dengan pasar. Melalui pembangunan yang pro pasar pemerintah melakukan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sumber daya alam. Dengan kata lain, pemerintah menerapkan ekonomi neoliberal.
Efeknya, sebagai realisasi penerapan ekonomi pasar, pemerintah melakukan privatisasi baik terhadap BUMN, aset-aset milik negara, maupun terhadap sumber daya alam yang dimiliki Indonesia. Melalui privatisasi pemerintah akan menyerahkan kepemilikan harta milik negara dan milik umum ke tangan swasta dana asing. Pemerintah akan membangun persepsi pentingnya partisipasi publik dalam kegiatan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara. Padahal yang dimaksud pemerintah dengan partisipasi publik adalah pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, umat harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan mereka akan barang-barang publik. Lalu dimana letak pelayanan maksimal dari Negara?. [IJM]