Oleh : Afi
Saat beras naik ada menteri yang menyuruh diet, ada yang nyuruh makan keong. Kini juga sama, kenaikan harga beras memicu keluh kesah masyarakat. Dan dengan tenangnya mendag meminta masyarakat sebagai konsumen untuk menawar.
Sungguh ucapan-ucapan yang dilontarkan itu meunjukkan kualitas lisan, empati dan pelayanan mereka kepada masyarakat. Ucapan yang baik tentu akan membuat masyarakat lebih simpati pada mereka. Sebaliknya ucapan dari lisan yang tak terjaga membuat masyarakat jengah dan berpandangan negatif.
Bukan sekali saja lisan punggawa tak dijaga. Dan bukan dari seorang saja yang ucapannya tak dijaga. Seolah, menjadi paduan suara yang kompam saling bersahutan dengan lisan mereka.
Belum lagi lisan-lisan yang dengan sengaja menyudutkan kaum muslimin. Memberi cap negatif pada personal ataupun komunal kaum muslimin. Bahwa kaum muslimin yang berpegang teguh pada agama Allah adalah teroris, radikal, ekstrimis. Lebih dari itu, lisan-lisan yang menghina agama dan Al Qur'an juga dianggap angin lalu saja.
Bagaimana menyakitkannya saat ada yang berbangga hati bilang tak tahu syariat dan menghina syariat tak diproses hukum. Betapa marahnya saat ada fitnah pada pengajian, lalu pengajian di masjid dibubarkan, dipersekusi.
Dikatakan pada kaum muslim "Masjid jangan dipolitisasi. Sementara orang kafir berlenggang asik di masjid, dengan jamaah mayoritas muslim, berbicara politik. Bahkan tak sedikit pentolan sekelas profesor yang ikut mencela dan membela kebijakan punggawa. Semua itu bermula dari lisan punggawa yang tak dijaga.
Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda:
" Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau kalau tidak dapat berkata yang baik, hendaklah ia berdiam diri saja." (HR Muttafaqun 'alaih)
Dari Sahl bin Sa'ad ra, Rosulullah Muhammad SAW bersabda:
"Barangsiapa yang dapat memberikan jaminan padaku tentang kebaikannya apa yang ada di antara kedua tulang rahangnya, yakni mulut dan lidah. Dan di antara kedua kakinya, yakni kemaluannya. Maka aku memberi jaminan syurga baginya." (HR Muttafaqun 'alaih)
Sejatinya, sebagai seorang individu Muslim, memiliki konsekuensi keimanan dalam tiap aktivitasnya. Termasuk konsekuensi keimanan dalam melafalkan perkataannya, yakni menjaga lisannya. Berkata yang baik atau diam saja, itu hadits sangat tegas.
Maka berkata yang baik atau ahsan merupakan kewajiban atas individu Muslim kepada siapapun terlebih saudara seaqidahnya. Karena semua akan dimintai pertanggung jawaban kelak di akhirat.
Terlebih sebagai penguasa dan punggawa muslim. Segala perkataannya akan didengarkan oleh khalayak masyarakat. Akan dijadikan petuah kehidupan. Maka tentu pertanggung jawaban akan juga diminta padanya. Tak luput sehurufpun.
Jika asal saja dalam berkata-kata, bahkan menuduh, mencela dan menfitnah kaum muslimin. Sungguh itu sangat menyakitkan, dan pertanggung jawaban kelak tak kan terhindarkan.
Bisa saja di dunia ini dengan masa jabatan yang gemilang baginya, dia bisa berkata dengan semena-mena, seenak lisannya meluncurkan alfabet tersusun dalam kalimat, entah isinya menyakitkan, masa bodoh, dan fitnah. Tak dipedulikannya. Maka cukup, Rosulullah akan berlepas dari jaminannya, karena tak mampu menjaga diantara kedua tulang rahangnya.
Jangan salahkan masyarakat jika memviralkan setiap luncuran kata yang dianggap tak sepantasnya. Bahkan ada jargon "Maha Sotoy Punggawa dengan Segala Celotehnya".
Bukanlah perkara kejahatan yang harus dikenai UU ITE atau terkena Hate Speech. Karena viralnya kata yang ada dan jargon yang muncul merupakan reaksi dari aksi-aksi lisan yang tak terjaga.
Sungguh, Allah memberikan amanah kekuasaan untuk mengemban amanah rakyat. Mengayomi, mensejahterakan dan melindungi rakyat. Bukan justru mengkhianati, mencela dan menyakiti rakyat. Sudah masyhur hadits Nabi bahwa setiap pemimpin itu adalah perisai ummat. Termasuk melindungi rakyat dari perkataan yang tak baik.[MO]