Ilustrasi |
Oleh. Budi Santoso
Pengamat Ekonomi dan Politik
Mediaoposisi.com- Tahun politik sudah datang. Hal itu ditandai dengan akan diadakannya pilkada serentak pada beberapa bulan ke depan. Seperti biasa, di musim tersebut akan selalu diramaikan dengan siapa sosok yang akan maju dalam pertarungan kursi kekuasaan.
Berbagai macam manuver politik akan digunakan guna mengusung dan memenangkan calon yang diusungnya. Tak terkecuali mengandalkan elektabilitas.
Dewasa ini, ukuran elektabilitas seorang pemimpin benar-benar sangat menentukan siapa yang berhak maju dan bertarung dalam pertarungan merebut kursi penguasa. Elektabilitas sendiri adalah ukuran untuk mengukur suatu individu calon yang maju berdasarkan tingkat popularitas dan kepercayaan publik.
Secara kasat mata tidaklah salah dan terkesan itu adalah hal yang lumrah. Namun benarkah ini cara yang tepat untuk menentukan suatu calon?
Dalam teori ilmu ekonomi (Kapitalisme), suatu barang akan dianggap berguna dan layak konsumsi jika barang tersebut memiliki nilai guna (utility value). Menurut hukum dari nilai guna itu sendiri tergantung dari kebutuhan subjektivitas individu.
Artinya barang atau jasa akan tetap ada jika ada individu yang membutuhkannya. Itu artinya semua akan kembali pada penilaian individu.
Nilai guna juga akan berbenturan dengan mekanisme pasar bebas (free trade mecanism), dimana jika barang sudah memiliki nilai guna semua pun akan dikembalikan pada tingkat daya beli atau kemampuan beli masyarakat terhadap barang tersebut.
Pada titik ini, jika dikaitkan pada kontestasi politik pemilukada atau pemilu presiden dan wakil presiden, majunya calon kepala daerah atau bahkan presiden sangat bergantung pada keinginan masyarakat atau keinginan individu.
Jika memang suatu masyarakat menginginkan paslon yang diusung berdasarkan kemauannya sendiri, memang itulah yang diharapkan pada pemilu demokrasi, atau yang biasa disebut demokratis.
Namun bagaimana jika yang terjadi adalah kemunculan paslon hanya berdasarkan kemauan individu-individu?
Kembali kepada persoalan elektabilitas. Benarkah elektabilitas muncul secara riil atas keinginan masyarakat?
benarkah tidak ada intervensi di dalamnya? Intervensi yang dimaksud bukanlah intervensi yang mengubah data atau mengubah sampel. Itu terlalu kuno dan primitif dalam memandangnya.
Dalam teori marketing, pengusaha akan melakukan apapun guna produknya bisa dibeli dan dikonsumsi oleh konsumen.
Bisa dengan menayangkan di TV, membuat diskon, menghadirkan sales, bahkan mengemas dengan sedemikian rupa hingga pikiran konsumen yang awalnya tidak ingin membeli berubah menjadi ingin membeli.
Pernahkah kita melihat suatu paslon yang terlihat biasa saja, tidak terlalu intelek, bahkan titel pun tak sampai doktor dan profesor, namun ia sangat populer bahkan dianggap representasi dari rakyat kecil?
Pernahkah kita melihat penguasa yang belum menyelesaikan amanahnya kemudian ia berpindah ke amanah yang lebih besar, namun tetap banyak orang yang mengagumi?
Pernahkah juga melihat ketika sudah menang dan berjalan selama satu periode, namun banyak pengamat yang menilai kinerjanya biasa-biasa saja, tetapi tetap diharapkan maju kembali? Ini adalah marketing (pemasaran).
Siapa yang disasar dari pemasaran ini? orang awam atau akar rumput yang notabene belum melek politik dan bersandar pada opini media mainstream yang media mainstream itu kembali bersandar pada elektabilitas.
Elektabilitas tidak menghadirkan program. Karena tujuan elektabilitas hanya sebatas mengetahui tingkat kepopuleran calon. Biasanya ketika calon sudah punya elektabilitas tinggi, inilah yang membuat partai menjadi pragmatis.
Ia tidak lagi melihat kader mumpuni, melainkan calon praktis yang sudah memiliki elektabilitas tinggi. Itu sebabnya bisa dilihat banyak sekali parpol (partai politik) yang gonta-ganti calon karena melihat suatu elektabilitas.
Apa yang dikehendaki dari adanya elektabilitas? Adalah tingkat kemungkinan calon untuk memenangkan pemilu.
Demokrasi alat Kapitalisme |
Inilah realitas politik demokrasi, dimana ukuran pemimpin seringkali hanya bersandar pada elektabilitas –walaupun ketika ia maju juga menghadirkan program-. Elektabilitas seolah menjadi dalil untuk menunjuk calon pemimpin.
Padahal bisa saja dengan adanya modal dan cantiknya dalam bermanuver politik, elektabillitas muncul bukan karena baiknya program dan keinginan masyarakat secara langsung, melainkan pemaksaan secara tidak langsung melalui berbagai macam iklan-iklan yang membaguskan calon.
Demokrasi dan ekonomi Kapitalisme adalah dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dengannya masyarakat rela menyerahkan urusan kehidupannya agar diurus oleh pasangan pilihan suatu partai atau gabungan partai berdasarkan tingkat elektabilitas.
Menjadi pertanyaan terakhir ialah, apakah dengan ini semua masyarakat sejahtera? Andalah sebagai masyarkat yang bisa menilai. [MO/br]