Oleh : Dwi Sarni
(Aktivis Muslimah Remaja Jakarta Utara)
PGGJ meminta agar tinggi gedung masjid tersebut diturunkan sehingga sejajar dengan tinggi bangunan gedung gereja yang ada di sekitarnya. PGGJ beralasan menara Masjid Al-Aqsha saat ini lebih tinggi dari bangunan gereja yang sudah banyak berdiri di Sentani.
Ketua Umum PGGJ, Pendeta Robbi Depondoye meminta agar pembongkaran dilakukan selambatnya 31 Maret 2018, atau 14 hari sejak tuntutan resmi diumumkan hari ini. PGGJ juga sudah menyurati unsur pemerintah setempat untuk pertama-tama menyelesaikan masalah sesuai aturan serta cara-cara persuasif.
Sebelumnya, beredar surat edaran PGGKJ yang terdiri dari perwakilan 15 gereja di Jayapura. Isinya di antaranya meminta agar suara azan yang selama ini diperdengarkan kepada khalayak umum harus diarahkan ke dalam masjid agar tidak mengganggu masyarakat sekitar.
"Kami sarankan ibadahmu enggak dilarang, tapi suara azan diarahkan ke dalam masjid saja, jangan keluar," kata Ketua PGGJ Pendeta Robbi Depondoye lewat sambungan telepon, Sabtu (17/3).
Seperti inilah wajah umat beragama di Negara Demokrasi Indonesia. Hidup rukun, saling menghargai antar umat beragama, begitu harusnya.
Mari mundur sejenak pada aksi damai 212,ketika umat Islam menuntut keadilan agar sang penista agama segera diproses hukum kala itu. Namun malah Umat Islam dinilai Rasis dan egois, serta intoleran terhadap umat Non-Muslim.
Negara demokrasi adalah menjamin kebebasan termasuk kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi. Namun saat ada umat Islam yang taat dengan pakaian muslimahnya yaitu gamis, khimar dan cadar malah dicap teroris, ekstrimis dan radikal.
Kini Suara azan tanda masuk waktu sholat dipermasalahkan, dikeluhkan mengganggu ketertiban. Bahkan tinggi bangunan masjid menjadi sebab ditentang. Mohon atas nama toleransi, begitu katanya.
Di wilayah mayoritas Islam seperti Jakarta, jika umat Islam yang bergerak maka dinilai intoleran . Maka diminta untuk lebih bertoleransi dan lebih merangkul kaum minoritas .
Di Wilayah mayoritas Non Islam seperti Papua, atas nama Toleransi maka harus mengikuti apa yang masyarakat mayoritas Non Islam pinta . Wah, sungguh luar biasa.
Jadi apakah standar Toleransi itu?
Apakah dalam demokrasi ruang toleransi hanya untuk kaum Non islam saja?
Bagi kaum muslim, adzan merupakan bagian dari syiar islam. Juga merupakan bentuk persatuan kaum muslim dimana tersirat dalam lafadz-lafadz tauhid di dalamnya. Kalimat seruan akan tibanya waktu shalat.
Salah satu ibadah utama yang menjadi prioritas dalam agama islam. Sehingga jika terjadi larangan mengumandangkan adzan dengan pengeras suara sekaligus pelarangan mendirikan menara mesjid ini termasuk tindakan menghalangi ibadah. Aktivitas yang sama sekali tidak akan mengganggu orang lain.
Jika dalam sistem daulah Islam tentu hal ini tidak akan terjadi. Bukan karena masyarakatnya didominasi kaum muslim, tapi karena islam tak pernah melakukan diskriminasi atas dasar apapun kepada nonmuslim, baik dalam masalah ibadah maupun dalam pemenuhan haknya sebagai warga negara.
Mari simak kisah teladan pada masa pemerintahan Islam oleh Khalifah Umar bin khatab.
Sejak diangkat menjadi gubernur Mesir oleh Khalifah Umar bin Khattab, Amr bin Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong berawa-rawa, dan di atasnya hanya terdapat gubuk reyot yang hampir roboh.
Selaku gubernur, ia menginginkan agar di atas tanah tersebut, didirikan sebuah masjid yang indah dan mewah agar seimbang dengan istananya. Apalagi Amr bin Ash tahu bahwa tanah dan gubuk itu ternyata milik seorang yahudi tua renta.
Sang gubernur ingin membeli tanah sekaligus gubuknya. Namun kakek yahudi tak mau menjualnya meskipun dengan harga yang berkali lipat.
Amr bin Ash memutuskan melalui surat untuk membongkar paksa gubuk tersebut dan mendirikan masjid besar di atas tanahnya dengan alasan kepentingan bersama dan memperindah pemandangan mata.
Kakek Yahudi pemilik tanah dan gubuk tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi tindakan penguasa. Ia menangis dalam hati. Namun ia tidak putus asa memperjuangkan haknya. Ia bertekad hendak mengadukan perbuatan gubernur tersebut kepada atasannya di Madinah, yaitu Khalifah Umar bin Khattab.
Sungguh ia tak menyangka, Khalifah yang namanya sangat tersohor itu tidak mempunyai istana yang mewah. Ia bahkan diterima Khalifah di halaman masjid Nabawi, di bawah sebatang pohon kurma yang rindang.
Dengan gemetar Kakek menyampaikan keperluannya. Ia bekerja keras seumur hidup untuk dapat membeli tanah dan gubuk kecil. Tapi kini hendak dirampas hak miliknya itu oleh gubernur Amr bin Ash dan dibangunnya masjid megah diatasnya.
Umar bin Khattab mendadak merah padam mukanya. Dengan murka ia berkata, “Perbuatan Amr bin Ash sudah keterlaluan. Umar lantas menyuruh kakek tersebut mengambil sebatang tulang dari tempat sampah yang teronggok di dekatnya. Tulang itu digoreti huruf alif lurus dari atas ke bawah, lalu dipalang di tengah-tengahnya menggunakan ujung pedang. Kemudian tulang itu diserahkan kepada si kakek seraya berpesan, “Bawalah tulang ini baik-baik ke Mesir, dan berikanlah pada gubernur Amr bin Ash.”
Gubernur Amr bin ‘Ash yang menerima tulang tersebut, langsung tubuhnya menggigil kedinginan serta wajahnya pucat pasi. Saat itu juga Gubernur Amr bin ‘Ash mengumpulkan bawahannya untuk membongkar kembali masjid yang sedang dibangun dan membangun kembali gubuk yang reyot milik kakek Yahudi itu.
“Bongkar masjid itu!”, teriak Gubernur Amr bin Ash gemetar.
Kakek Yahudi itu merasa heran dan tidak mengerti tingkah laku Gubernur. “Tunggu!, Maaf Tuan, tolong jelaskan perkara pelik ini. Berasal dari apakah tulang itu?
Apa keistimewaan tulang itu, sehingga Tuan berani memutuskan untuk membongkar begitu saja bangunan yang amat mahal ini. Sungguh saya tidak mengerti!”
Gubernur Amr bin Ash memegang pundak orang Yahudi itu sambil berkata: “Wahai kakek, tulang ini hanyalah tulang biasa dan baunya pun busuk.
Tulang ini merupakan peringatan keras terhadap diriku dan tulang ini merupakan ancaman dari Khalifah Umar bin Khattab. Artinya, apapun pangkat dan kekuasaanmu suatu saat kamu akan bernasib sama seperti tulang ini, karena itu bertindak adillah kamu seperti huruf alif yang lurus. Adil ke atas dan adil ke bawah.
Sebab jika tidak bertindak adil dan lurus seperti goresan tulang ini, maka Khalifah tidak segan-segan untuk memenggal kepala saya”, jelas Gubernur Amr bin ‘Ash.
Kakek Yahudi itu tunduk terharu dan terkesan dengan keadilan dalam Islam. Keadilan Islam membawa dirinya bersyahadat dan mewakafkan tanahnya.
“Sungguh agung ajaran agama Tuan. Sungguh aku rela menyerahkan tanah dan gubuk itu. Bimbinglah aku dalam memahami ajaran Islam!”.
Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّا امِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَآءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَ لَّا تَعْدِلُوْا ؕ اِعْدِلُوْا ۙ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰى ۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ؕ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."
(QS. Al-Ma'idah: Ayat 8)
[MO/br]