Illustrasi
Oleh : Zulfa Nusaibah
Mediaoposisi.com-Pemecatan sementara Kepala RSPAD dr.Terawan Agus Putranto Sp.Rad oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menjadi kontroversi.
Pemecatan sekaligus pencabutan izin praktik dokter ini karena metode "cuci otak" nya dianggap melanggar kode etik (www.detik.com).
Metode cuci otak atau Intra Arterial Heparin Flushing ( IAHF ) yang merupakan modifikasi dari Digital Substraction Angiography ( DSA ) ini diklaim bisa membersihkan penyumbatan darah menuju otak dan menyembuhkan penyakit seperti stroke.
Tapi kementerian Kesehatan mempertanyakan metodenya karena belum menjalani uji klinis, sehingga belum memenuhi standar medis untuk sebuah pengobatan ( www.kompas.com ).
Kontroversi serupa juga pernah dialami oleh ilmuwan teknik elektro lulusan Shizuoka University Jepang, Dr.Warsito, pada 2015.
Warsito menemukan alat yang diklaim bisa mendiagnosa dan membunuh sel kanker dengan tepat, yaitu dengan alat electro capacitance cancer therapy (ECCT) dan ECVT.
Kontroversi metode ECCT dan ECVT pun berimbas pada penertiban klinik tersebut oleh Kementerian Kesehatan.
Padahal alat ECCT dan ECVT Warsito telah menyabet B.J. Habibie Technology Award 2015 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi ( BPPT ) .
BPPT menilai inovasi Warsito tentang medan listrik statis bisa membantu pengembangan dunia medis dan industri.
Aroma Korporasi Kesehatan
Sudah umum diketahui, penyakit seperti stroke dan kanker bukanlah jenis penyakit yang bisa ditanggung pengobatannya secara penuh dalam program BPJS.
Sehingga pasien dan keluarganyalah yang harus menggelontorkan banyak biaya hingga ratusan juta rupiah untuk pengobatannya.
Maka sudah seharusnya pemerintah mengupayakan dan memfasilitasi adanya teknologi kesehatan yang mampu mengobati penyakit ini dengan efektif dan murah agar dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Bila memang metode dr Terawan maupun Dr Warsito ini belum diuji klinis, seharusnya pemerintah memfasilitasi penelitiannya lebih lanjut agar lolos uji klinis dan bahkan untuk dikembangkan lebih canggih lagi. Namun, pemerintah terkesan kurang reaktif dalam hal ini .
Tak heran, beberapa pihak mencium adanya aroma korporasi kesehatan dalam hal ini.Pasalnya, pasar alat kesehatan di Indonesia masih dikuasai oleh produk asing hingga 92% .
“Policy pemerintah perlu terus diperhatikan karena memang saat ini masih lebih banyak distributor alkes daripada industrinya,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia Ade Tarya Hidayat.(www.bisnis.com)
Permintaan terhadap produk alat kesehatan di dalam negeri pun diperkirakan terus naik, hingga mencapai Rp27 triliun pada tahun depan, atau naik 10% dibanding tahun ini.
Bahkan menurut Lembaga Frost & Sulivan, total belanja industri kesehatan Indonesia diprediksi mencapai USD 60,6 milliar atau sekitar Rp.700 triliun pada tahun 2108 ( www.pusatinvestor.com).
Islam Memuliakan Ilmuwan
Dr warsito, dr Terawan dan para ilmuwan lainnya adalah aset umat Islam. Bila negeri ini memiliki ideologi yang memandang kesehatan sebagai kebutuhan pokok publik yang harus dipenuhi secara maksimal, tentu akan mensupport para Ilmuwan tersebut untuk berkarya demi kemaslahatan umat.
Seperti dalam sistem Islam, Islam telah meletakkan dinding yang tebal antara kesehatan dan kapitalisasi serta eksploitasi kesehatan.
Dalam Islam, negara (Khilafah) bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan semua warga Negara, baik muslim maupun non muslim. Rasulullah saw. bersabda,
“Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia laksana penggembala. Hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR al-Bukhari).
Banyak institusi layanan kesehatan yang didirikan selama masa Kekhilafahan Islam agar kebutuhan masyarakat terhadap layanan kesehatan gratis terpenuhi.
Di antaranya adalah rumah sakit Kairo yang didirikan pada tahun 1248 M oleh Khalifah al-Mansyur, dengan kapasitas 8000 tempat tidur.
Rumah sakit ini mampu menjalankan fungsinya selama 8 abad. Lembaga pendidikan kedokterannya juga berkualitas terbaik dan masih ditemukan sisa kejayaannya saat ini.
Contoh lain adalah Rumah Sakit Marakesh ( Maroko), didirikan pada masa al-Mansyur Ya’qub Ibn-Yusuf, tahun 1190 M bahkan juga dilengkapi perpustakaan yang menyediakan 1000 buku-buku kedokteran.
Ketika ada dokter sekaligus ilmuwan akan melakukan penelitian, maka negara akan memfasilitasi dengan adanya perpustakaan maupun laboratorium.
Tercatat dalam sejarah, Khalifah Harun Ar-Rasyid mendirikan Bait al Hikmah sebagai Akademi Ilmu Pengetahuan pertama di dunia, bahkan khalifah pun membiayai ekspedisi untuk membuat peta dunia.
Peradaban Islam di Andalusia mampu melahirkan karya ilmiah sebanyak kurang lebih 20.000 naskah ilmiah dalam setahun, perpustakaannya menyimpan lebih dari 200.000 naskah ilmiah.
Negara pun memberikan gaji yang cukup kepada tenaga spesialis dan ilmuwan. Seorang dokter ophthalmology (spesialis mata) digaji 2000 dinar setahun, atau sekitar 46 juta rupiah sebulan.
Contoh lain, pada masa Khalifah Al-Makmun, beliau memberikan emas kepada Hunain bin Ishak seberat kitab-kitab yang ditulisnya.
Tak heran, dalam sistem Islam muncul ribuan ilmuwan dan intelektual handal yang hingga saat ini masih dikenal dunia.
Hasil karya mereka berperan besar dalam penemuan teknologi mutakhir dalam berbagai bidang termasuk kesehatan saat ini. Ibnu Sina, ArRazi , Al Jurjani , Al Khawarizmi adalah segelintir contoh.
Demikianlah bagaimana sistem Islam yang berasal dari sang Khaliq akan mampu melahirkan mutiara-mutiara umat.
Peradaban Islam akan menciptakan iklim yang kondusif untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Karena para ilmuwan dididik dengan pemahaman yang benar yang tidak hanya berorientasi materi.
Hasil penemuan mereka pun tidaklah untuk dikomersialisasi, melainkan semata-mata digunakan untuk kemaslahatan umat.
Sungguh, dunia sangat merindukan kembali hadirnya kebaikan sistem Khilafah itu di tengah-tengah kehidupan yang nyata.[MO/un]