-->

Hutang, Berdaya atau Terperdaya?

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Illustrasi

Oleh : Rut Sri Wahyuningsih

Mediaoposisi.comPeneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Riza Annisa Pujarama Sebut Utang Indonesia 

Sudah Menembus Rp 7.000 Triliun. Angka tersebut gabungan dari utang pemerintah dan swasta. Utang pemerintah tersebut ditujukan untuk membiayai defisit anggaran, sementara utang swasta berasal dari korporasi swasta dan badan usaha milik negara (BUMN).

Faktanya sejak 2015 posisi utang pemerintah terus meningkat secara agresif . Peningkatan utang seiring kebutuhan belanja infrastruktur yang menjadi prioritas kerja Pemerintahan saat ini(Liputan6.com/ 21/ 03/2018).

Riza menyebut, terdapat dua indikator utang yang biasanya dipakai pemerintah, yaitu rasio keseimbangan premier terhadap PDB dan rasio utang terhadap PDB.

Rasio keseimbangan premier terhadap PDB pada APBN 2017 mengalami minus 1,31 persen. "Hal ini menunjukkan cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. 

Akibatnya, untuk membayar bunga dan cicilan utang terus ditopang oleh utang baru," ujarnya. Adapun, rasio utang terhadap PDB tahun 2017 sebesar 2,89 persen memang masih dalam batas wajar. Artinya, indikator rasio utang pemerintah tetap dalam waspada.

Bank Indonesia (BI) melaporkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia pada akhir Januari 2018 tercatat sebesar 375,5 miliar dollar AS atau sekitar Rp 4.915 triliun (kurs Rp 13.750 per dollar AS).

Jumlah ini naik 10,3 persen secara tahunan. Bank sentral menyatakan, peningkatan ULN tersebut sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif lainnya. 

Komposisi ULN adalah utang pemerintah dan bank sentral yakni sebesar 183,4 miliar dollar AS. Sementara itu, utang swasta sebesar 174,2 miliar dollar AS.( kompas.com/15/03/2018)

Jika data menunjukkan cash flow pemerintah justru semakin tekor ketika menambah utang. Yang itu berakibat untuk membayar bunga dan cicilan utang harus terus ditopang oleh utang baru,  dan jika pembangunan infrastruktur di biayai dari hutang Luar Negri, lantas kapankah kita menikmati kesejahteraan yang hakiki?

Sungguh inilah kesalahan sudut pandang yang diambil pemerintah sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme dalam mengatur keuangan negara.

Yaitu hutang dianggap sebagai solusi padahal hutang bagi negara barat pengusung sistem kapitalisme adalah sebuah  alat untuk menjajah dan menghilangkan kemandirian suatu negara.

Kebanyakan korbannya adalah negara-negara berkembang. Penyusunan APBN di dasarkan pada prinsip Defisit bugdet ( bugdet defisit) dimana negara memang harus terus berhutang jelas tidak masuk diakal.

Tidak pernah ada suatu negara yang maju dengan berhutang,  terlebih jika hutangnya berbasis riba, yang ada adalah  makin menambah kesengsaraan rakyat yang kemudian hancur. 

Kita mungkin bisa berkaca pada berbagai kebijakan yang diambil oleh Sultan Abdul Hamid II ( 1842-1918 M), Khalifah Utsmaniyah.

Beliau menulis demikian dalam buku hariannya,“Saat aku memangku pemerintahan, total utang kami sekitar 300 juta lira dan berhasil ditekan hingga tinggal 30 juta lira, atau tinggal sepersepuluhnya saja”.  (terj. Mudzakaraat as Sulthan abdul Hamid. Dr Muhammad Harb hal 26).

Posisi utang negara Utsmaniyah pada dua masa sultan sebelumnya, yaitu  Abdul Majid (ayah Abdul Hamid) dan Abdul Aziz (pamannya) telah mencapai 252 juta lira emas (tahun 1881 M), dan jumlah tersebut harus segera dibayar karena jatuh tempo.

Untuk menghentikan laju bertambahnya utang luar negeri dan berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis negara ke tangan musuh.

Abdul Hamid segera memecat para pejabat rakus termasuk di antaranya gubernur Mesir, Khudaiwi Ismail. Ismail dipecat melalui dekrit tahunan yang dikeluarkan pada 25 Juli 1879 M.

Sultan Abdul Hamid telah berhasil menyelesaikan persoalan utang ini hingga berkurang separuh dari jumlah asalnya.

Besarnya utang luar negeri Khilafah Utsmaniyah telah dimanfaatkan oleh Yahudi Eropa sebagai jalan untuk mendapatkan tanah Palestina.

Para Yahudi terkutuk itu menjanjikan sultan untuk membantu melunasi utang-utang negaranya. Namun, tipu muslihat mereka yang keji dan licik itu tidak mendapatkan respon positif dari Sultan Abdul Hamid. 

Pada tanggal 28 Juni dan 7 Juli 1890 M, Sultan mengeluarkan dua perintah kesultanan, yaitu ditolaknya keinginan Zionisme untuk memiliki tanah-tanah Utsmaniyah dan mengembalikan mereka ke asal mereka.

Abdul Hamid telah menetapkan perintah itu dengan suatu pandangan bahwa Khilafah Utsmaniyah harus tetap memelihara kekayaan Palestina dan tidak menjual tanahnya kepada para imigran yang datang kepadanya(Mediaumat./www.globalmuslim.web.id)

Nampak jelas, bahwa hutang bukanlah solusi untuk sebuah negara yang berkeinginan keras menjadi pemimpin dunia. 

Hutang justru membuat sebuah negara hilang kewibawaannya karena mudah di dikte oleh orang-orang culas dalam hatinya yang hanya ingin semakin menancapkan  hegemoninya.

Sekalipun daulah Khilafah pernah berhutang namun penyelesaiannya sungguh nyata yaitu memutus rantai penjajahan non fisik.

Jika pengelolaan negara berdasar aturan yang hakiki, maka kemandirian sebuah negara akan terwujud sempurna.

Butuh sosok pemimpin yang amanah, berdedikasi dan dan punya kecakapan dan kemampuan dalam memimpin. Karena dalam hal ini kita tidak hanya butuh pemimpin yang baik namun dengan apa di memimpin.

Harapan untuk mendapatkan kesejahteraan hakiki dan terbebas dari hutang itu masih ada dan terbuka lebar.

Yaitu dengan mengubah sistem ekonomi Indonesia menjadi sistem yang berasal dari Allah Swt, selain karena hal itu adalah tuntutan akidah seluruh kaum muslim juga sistem ini telah teruji kebenaran dan keberhasilannya.[MO]












Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close