Oleh : Siti Rahmah
Mediaoposisi.com- Kisah lama terulang kembali, sepertinya itu ungkapan yang tepat ketika kita melihat kasus yang terjadi akhir - akhir ini. Kasus penistaan yang tak kunjung berhenti. Seolah - olah mereka berhak menjadikan agama sebagai cemoohan dan hinaan. Seperti yang di lakukan Sukmawati Soekarno Putri dalam puisinya yang bertajuk ibu Indonesia.
Dia menuangkan buah fikirannya tentang gamabaran ibu Indonesia sesuai seleranya. Baginya ibu Indonesia itu yang sempurna dengan pakaian kebaya di lengkapi lekukan konde yang gede, Ibu Indonesia yang senantiasa bersenandung merdu dengan kidung - kidung tanpa makna.
Ibu Indonesia adalah mereka yang tak kenal syariat Islam, ibu yang bangga dengan kebodohannya, ibu yang tak mau membuka mata untuk melihat keagungan hukum syara dalam menempatkan wanita. Ibu yang sudah asyik dengan senandung kidung - kidung bahkan asing dengan seruan adzan nan agung. Jika itu gambaran ibu Indonesia yang di banggakan oleh Sukmawati maka jelas di level mana taraf berfikirnya.
Di sadari atau tidak, kandungan puisi Sukmawati jelas mengandung penistaan terhadap agama. Entahlah penistaan itu di lakukan karena kebodohannya seperti yang terdapat dalam bait puisinya "aku tak tau syariat Islam", Ungkapan yang memiliki makna mendalam.
Ketidaktahuan yang membuatnya bangga sampai - sampai di jadikan sebuah syair dalam puisinya, jelas itu adalah kebodohan dalam hal agama (jahil). Mungkin juga puisi itu di buat secara sengaja karena kesombongannya. Dia begitu congkak dan merasa hebat sebagai budayawan mampu menuangkan karyanya dalam lembar puisi tak peduli apakah itu menyakiti atau tidak.
Kebencian yang Tak Pernah Padam
Apapun yang melatar belakangi Sukmawati dalam membuat puisi tersebut, yang jelas aroma kebencian terhadap Islam begitu melekat. Belum hilang dalam ingatan kasus penista agama yang mengolok - olok Al Qur'an, kitab suci ummat Islam.
Sepertinya kisah itu kini terulang, dan masih memungkinkan untuk terulang dan terulang lagi selama tidak pernah di selesaikan secara tuntas. Bagaimanapun orang kafir, mereka tidak akan pernah Ridho dengan agama Islam ini. Sehingga mereka akan terus mencari cara untuk menistakan, bahkan kalau mereka mampu mereka ingin menghancurkannya, sebagaimana yang di sebutkan dalam Al Qur'an betapa kebencian mereka terhadap Islam begitu dalam.
Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَتَّخِذُوْا بِطَانَةً مِّنْ دُوْنِكُمْ لَا يَأْلُوْنَكُمْ خَبَالًا ۗ وَدُّوْا مَا عَنِتُّمْ ۚ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَآءُ مِنْ اَفْوَاهِهِمْ ۖ وَمَا تُخْفِيْ صُدُوْرُهُمْ اَكْبَرُ ۗ قَدْ بَيَّنَّا لَـكُمُ الْاٰيٰتِ اِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang yang di luar kalanganmu (seagama) sebagai teman kepercayaanmu, (karena) mereka tidak henti-hentinya menyusahkan kamu. Mereka mengharapkan kehancuranmu. Sungguh, telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang tersembunyi di hati mereka lebih jahat. Sungguh, telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu mengerti."(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 118)
Gambaran yang di jelaskan dalam surat Al Imran itu benar adanya, kebencian yang mereka tampakan lewat mulut - mulut kotor mereka seakan tanpa henti, begitupun yang ada di dalam hati mereka itu jauh lebih besar lagi.
Seolah sudah menjadi kebiasaan dari setiap perbuatannya maka setiap kali mereka berbuat nista, mereka enggan mengakuinya tapi ketika umat bergerak serempak menunjukan pembelaanya terhadap agamanya barulah mereka berderai air mata mengucapakan maaf.
Kehadiran Islam Membungkam Penista
Maaf, seolah menjadi penyelesai atas semua masalah yang mereka ciptakan. Berbuat salah minta maaf, ulangi lagi kesalahan minta maaf lagi. Hal itu seakan menjadi jurus andalan. Menghinakan ajaran Islam seakan kesalahan kecil yang tidak perlu di perbesar.
Mereka meremehkan umat Islam, karena ga punya kekuatan. Setiap penista tidak pernah ditangani secara serius, sehingga kasusnya terus berulang. Seperti halnya kasus ahok, hukum baru berjalan setelah adanya gerakan ummat yang besar itupun harus di lakukan berkali - kali baru penegak hukum bertindak.
Namun, tentu hukuman yang di berikan kepada ahok jauh dari kata ideal, karena hal itu tidak menjadikan efek jera bagi pelakunya. Dalam Islam fungsi dari pemberlakuan hukum Islam itu untuk dua hal, yang pertama sebagai penebus dosa dan yang kedua harus memberi efek jera, namun hal itu tidak bisa di dapat dalam sistem saat ini.
Dalam Islam, kasus penista agama akan di kenai sanksi yang sangat berat. Seperti halnya yang terjadi di masa Rasululloh, Rosululloh pernah menghukum gantung seorang abi sarah yang telah menghina Al Quran. Dengan tindakan tegas ini maka tidak akan lagi di dapati orang yang berani mengulang kesalahan yang sama.
Selain kisah diatas dalam Al Quran juga terdapat kabar mengenai sanksi bagi penghina Rasul dan juga ajaran Islam.
Dalam At Taubah ayat 12 Allah SWT berfirman:
وَاِنْ نَّكَثُوْۤا اَيْمَانَهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوْا فِيْ دِيْـنِكُمْ فَقَاتِلُوْۤا اَئِمَّةَ الْـكُفْرِ ۙ اِنَّهُمْ لَاۤ اَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُوْنَ
"Dan jika mereka melanggar sumpah setelah ada perjanjian, dan mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin kafir itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, mudah-mudahan mereka berhenti."(QS. At-Taubah 9: Ayat 12)
Dalam ayat tersebut jelas di nyatakan bagi siapa saja yang mencerca agama Islam di katakan sebagai aimmatul kufri (pemimpin orang kafir), sehingga menurut Imam Al Qurtubhi bahwasanya para ulama sepakat untuk menjatuhkan sansi hukum mati bagi siapa saja yang menghina agama Islam. Jika hukum ini di tegakan niscaya tidak akan di temui lagi orang congkak dan sombong yang menghinakan ajaran Islam.
Selain memberikan hukuman yang bisa menimbulkan efek jera, harusnya negara juga memberlakukan tindakan preventif untuk warganya. Tindakan edukasi, pembinaan kepada warga tentang hukum - hukum Islam, membina dan mendidik warga menjadikan mereka memiliki kepribadian Islam, memahami syariat Islam.
Sehingga tidak di temui lagi warga yang bangga dengan kebodohannya, inilah tugas negara dalam mencegah terjadi penistaan terhadap agamanya. Jika pembinaan terhadap warga ini berjalan maka akan lahir darinya manusia terbaik (khoirul ummah) ummat terbaik.[MO]