Surabaya| Mediaoposisi.com- Merespon puisi kontroversial yang dibacakan Sukmawati saat acara "29 Tahun Anne Avantie Berkarya" yang berjudul "Ibu Indonesia", Badan Hukum Perkumpulan Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI) Jawa timur menggelar konferensi pers, Jum'at (6/4) di Surabaya.
Dalam press release yang dikeluarkan, KSHUMI menyatakan " Ibu Sukmawati Memenuhi Unsur Tindak Pidana penodaan terhadap agama" .
Acara ini dihadiri oleh berbagai tokoh dari Surabaya dan sekitarnya, salah satunya Abah Kholiq Ketua Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) Surabaya serta Kyai Fatahillah. Kyai Fatahillan sendiri adalah perwakilan dari Forum Komunikasi Ulama Aswaja Jawa timur.
Selain itu, kyai kharismatik KH Abdullah Ghozin juga turut hadir. Acara diakhiri dengan tanya jawab dari awak media.
Pernyataan Sikap KSHUMI Pusat
Merdeka! Sehubungan dengan pro dan kontra mengenai puisi “Ibu Indonesia” yang saya bacakan dalam acara 29 tahun Anne Avantie Berkarya di ajang Indonesia Fashion Week 2018 dengan ini saya bermaksud memberikan klarifikasi.”
“Sebelumnya karena karya sastra puisi “Ibu Indonesia” ini telah memantik kontroversi terutama di umat Islam, dari lubuk hati paling dalam saya mengucapkan mohon maaf lahir dan batin kepada semua elemen bangsa Indonesia yang merasa tersinggung dengan puisi tersebut,” ucapnya.
Menanggapi hal diatas, saya akan memberikan pernyataan hukum sebagai berikut;
1. Sebagai muslim, sudah pasti masyarakat muslim Indonesia akan memberikan maaf kepada Ibu Sukmawati. Tetapi secara hukum, permohonan maaf tidak bisa menghapuskan atau menggugurkan perbuatan pidana.
2. Dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum.
Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (Pasal 44 KUHP).
3. Dugaan penistaan agama ini seharusnya sudah masuk tahap penyidikan. Sebab, soal penistaan agama jika dilihat dari sisi hukum ialah delik formil (Formeel Delictien) yang tidak perlu dilakukan pembuktian ada atau tidaknya suatu dugaan tindak pidana.
4. Delik Pasal 156a ini delik formil, delik selesai. Sama seperti kalau orang membunuh dengan pisau, pisaunya jadi alat bukti. Kalau dugaan penistaan agama ini, puisi yang isinya membandingkan terkait cadar, azan dan syariah islam, sebagai alat. Jadi faktanya, peristiwanya ada dan dilakukan.
5. Mendorong kepada pihak penegak hukum untuk berdiri tegak, menegak hukum agar tercipta keadilan sosial ditengah-tengah masyarakat[MO].