Oleh : Chusnatul Jannah
(Lingkar Studi Perempuan Peradaban)
Mediaoposisi.com- Belakangan, Presiden Jokowi rajin bagi-bagi sembako tiap kunjungannya ke beberapa daerah. Yang terbaru, Presiden Jokowi bagi sembako di daerah Sukabumi. Pro kontra pun bermunculan. Pihak yang pro menganggap bagi-bagi sembako adalah bentuk kedekatan pemimpin dengan rakyatnya. Sedang pihak yang kontra menganggap bagi sembako telah melanggar asas kepatuhan publik dan sensitivitas nurani publik, terlebih di tahun politik.
Dikhawatirkan, bagi-bagi sembako presiden dijadikan kedok dalam kampanye menjelang pilpres 2019. Yang menghebohkan lagi, tas sembako itu dinilai mencapai Rp 3 Miliar. Dikutip dari cnnindonesia.com, Lelang tas sembako presiden dibuat 20 April 2018 dan diadakan oleh Kementerian Sekretariat Negara.
Lelang ini diberi nama Pengadaan Tas Sembako Bantuan Presiden dengan kode lelang 23246011. Dalam situs LPSE, biaya pengadaan tas tersebut masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 dengan nilai pagu paket sebesar Rp3 miliar dan Harga Prakiraan Sendiri (HPS) Paket sebesar Rp600 juta.
Sementara itu, menurut komisoner Bawaslu, Rahmat Bagja menyarankan agar Presiden berhenti melakukan aksi bagi-bagi sembako. Karena hal itu bisa diasumsikan sebagai bentuk kampanye. Terlepas ada maksud apa presiden bagi-bagi sembako, Perlu kita cermati layakkah level presiden berbagi hadiah atau sembako di setiap kunjungannya apalagi memakai uang negara?
Oleh berbagai pihak, aksi Bagi Sembako Jokowi dibandingkan dengan kebijakan BLT di era SBY. Pasalnya, pelaksanann Bagi sembako itu melibatkan sejumlah aparatur negara dan pejabat negara. Bila Bagi Sembako dianggap sebagai kebijakan seperti halnya masa SBY tentu pembagian sembako itu harusnya merata ke seluruh wilayah nusantara.
Namun, bila Bagi Sembako itu atas nama keinginan presiden secara personal, maka anggaplah keberuntungan warga yang tengah dikunjungi wilayahnya oleh presiden. Bagi yang tidak beruntung, cukup menelan ludah.
Bila pemimpin negeri ini peduli dengan rakyatnya, seharusnya level kepedulian presiden tak sekedar berbagi sembako secara insidental, namun lebih kepada kebijakan. Level pemimpin yang cinta kepada rakyatnya adalah bagaimana ia menetapkan kebijakan yang dapat mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan ekonomi di setiap wilayah.
Namun, faktanya tidaklah demikian. Level peduli dan cintanya sang pemimpin ala kadarnya. Sekedar Bagi Sembako yang mana kelas Pak Lurah, Pak Camat, bahkan Bupati bisa melakukan hal yang sama.
Sembako menjadi hal pokok yang wajib dilakukan penguasa untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Sembako terdiri dari bahan pangan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Namun, penguasa telah lalai dalam hal ini. Kebijakan impor pangan dan berbagai komoditas lainnya tidak membuat rakyat sejahtera, justru merugikan para petani lokal.
Jika mau serius menjadi pemimpin, maka level presiden tak cukup sekedar bagi-bagi sembako, tapi menjadi problem solver dalam seluruh persoalan yang membelit negeri ini.
Mampukah mengatasi problem masyarakat sedangkan di satu sisi justru menerapkan ekonomi kapitalis-liberal yang banyak menguntungkan asing, sementara rakyat buntung karena jurang si kaya dan miskin semakin melebar? Rasanya tidak mungkin selama sistem kapitalisme diterapkan di negeri ini.
Negeri ini membutuhkan solusi alternatif yang solutif. Solusi yang mampu mengatasi persoalan hingga ke akar. Sistem yang bersumber dari Dzat Pencipta dan Pengatur Alam, yaitu islam. Sistem islam menjadi jawaban ketika kapitalisme tak lagi diharapkan mengatur kehidupan.[MO]