-->

Titik Mati Ekonomi Kapitalisme

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Fajar Kurniawan - Pusat Kajian dan Analisis Data

Pertarungan dua kekuatan besar AS – China berimbas terhadap negara berkembang, yang selama ini memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap negara maju. Posisi kemiskinan dan pembangunan dunia ketiga masih menjadi momok permasalahan akut. Di Indonesia, Impor barang massif, daya beli masyarakat rendah akibat harga pangan yang kian mahal. Buruh asing membanjiri beberapa wilayah negeri dan aliran investasi (utang) dari China sangat deras. 

Liberalisasi Abusif

Agenda-agenda liberalisasi perdagangan digencarkan, proyek besar dari negara maju untuk secepatnya direalisasikan. Negara-negara kapitlis raksasa berdalih liberalisasi perdagangan tanpa hambatan dan proteksi, merupakan pangsa pasar besar yang luas dalam upaya menjawab solusi krisis hari ini. Namun pada satu sisi, justru semakin memiskinkan masyarakat dunia ketiga. Buruh dan petani serta rakyat ‘kecil’ pada umumnya hanya akan menjadi santapan empuk bagi agenda besar yang kita sebut dengan Globalisasi atau pasar bebas.

Liberalisasi telah makin meminggirkan peran dan tanggung jawab pemerintah dalam sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Konsekuensinya, siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan persaingan. Padahal liberalisasi ekonomi yang berlangsung di negara ini telah terbukti gagal menciptakan ekonomi yang maju, mandiri, stabil dan menyejahterahkan. Kesenjangan makin lebar. Aset-aset penting dikuasai oleh investor asing. Barang-barang impor menggusur produk lokal. Sektor finansial rentan terdampak krisis. Nilai tukar rupiah pun naik-turun.

MEA telah dipraktekkan, bahayanya adalah mengancam sektor pertanian. Karena daya saing sektor pertanian negeri ini masih rendah. Dukungan pemerintah kian minimal dengan mencabut dan mengurangi berbagai subsidi pertanian. Produk impor di pasar dalam negeri akan makin membanjir. Ketergantungan pada impor pun akan terus besar. Di Indonesia stabilitas makroekonomi semu terjdi, yang tidak didukung oleh meningkatnya daya saing maupun produktifitas di sektor riil. 

Tingginya cadangan devisa, salah satu indikator makroekonomi yang melonjak tajam, bukanlah prestasi besar karena itu terjadi akibat masuknya hot money. Dana-dana jangka pendek dengan deras masuk ke Indonesia karena adanya kelebihan likuiditas di pasar global. Besarnya hot money yang masuk ke pasar uang Indonesia inilah yang membahayakan ekonomi. Sektor finansial telah mengalami pertumbuhan yang berlebihan. Kue ekonomi membesar tetapi hanya menghasilkan ekonomi gelembung (bubble economy), bukan ekonomi riil, sehingga dapat meledak sewaktu-waktu. Kembalinya krisis ekonomi cukup beralasan.

Secara Global

Berbagai kebijakan pemerintah yang menyengsarakan rakyat tak ada habisnya dikeluarkan. Kenaikan harga BBM, impor beras, daging , gula. Kemiskinan yang menjerat sebagian besar masyarakat ini cukup berpotensi meningkatkan tindakan kriminalitas. Demi memenuhi kebutuhan hidup yang kian sulit, para pelaku kejahatan rela menggadaikan akal sehatnya. Sehingga permasalahan sepele pun bisa memicu pertumpahan darah. Di tengah masyarakat, prostitusi terselubung maupun jerat kartel narkoba mengancam krisis moral. 

Keruntuhan Kapitalisme disebabkan faktor ideologis murni, prinsip-prinsip utama Kapitalisme bertabrakan langsung dengan realitas. Siklus krisis keuangan secara rutin mengungkap adanya cacat serius dalam sistem Kapitalisme dan ketidakmampuannya untuk mempertahankan stabilitas ekonomi dunia di bawah Kapitalisme. Banyak pemikir mampu mengidentifikasi masalah serius yang dihadapi dunia kapitalis. Namun, sesuatu yang hilang dalam potret tersebut adalah analisis tentang akar masalah kegagalan itu dan solusi kompleks yang dibangun dan alternatif bagi sistem Kapitalisme itu. 

Kapitalisme cacat, sangat bergantung pada prinsip “kelangkaan relatif” yang menunjukkan bahwa sumber daya yang tersedia di pasar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang yang menginginkan SDA tersebut. Namun kenyataannya, dunia memiliki SDA yang jauh lebih banyak daripada yang dapat dikonsumsi orang pada waktu tertentu. Hal ini jelas terlihat pada angka yang menunjukkan peningkatan berkelanjutan atas kekayaan negara-negara, sementara kemiskinan juga terus meningkat. Dengan kata lain, rusaknya distribusi sumberdayalah yang menyebabkan kemiskinan, dan bukan kelangkaan sumberdaya itu sendiri yang jadi penyebabnya.

Walhasil

Dunia, Amerika, negara-negara kapitalis barat dan timur, termasuk seluruh negeri-negeri muslim menderita karena buruknya kinerja rezim dan sistem Kapitalisme dalam beberapa dekade terakhir meskipun terjadi peningkatan luar biasa dalam hal kekayaan dan produksi. Namun tidak bisa dihindari fakta kenaikan angka kemiskinan, tak terjaminnya kesehatan dan menyebarnya penyakit-penyakit menular, perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembusukan infrastruktur pendidikan. 

Tanda kerusakan ekonomi yang paling serius dari kegagalan itu adalah terciptanya cabang-cabang ekonomi non-riil yang memungkinkan kekayaan negara-negara untuk muncul berkali-kali lebih besar dari ukuran perekonomian yang sebenarnya. Hal ini telah menciptakan suatu ilusi, yang pasti akan menyebabkan keruntuhan besar. Kekuatan-kekuatan yang mendorong ke arah ekonomi non-riil meliputi pasar saham, perbankan dan sistim keuangan yang berbasis riba, dan diasingkannya emas dan perak dari basis sistem moneter. Islam sebagai sistem dan ideologi yang komprehensif adalah satu-satunya alternatif yang layak dan solusi bagi masalah-masalah ekonomi saat ini yang disebabkan oleh Kapitalisme. Mari kita terapkan. [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close