-->

Penulis Muslim Jangan Mati

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Ary H
(Mentor Opini di Akademi Menulis Kreatif)

Mediaoposisi.com- Ujaran Kebencian (Hate Speech) sebuah istilah yang belakangan ini menjadi momok bagi sebagian orang. Ia seolah membungkam sebagian orang ketika hendak melakukan nasihat.

Namun pada sisi yang lain, berbagai framing buruk terhadap Islam di negeri ini khususnya dan di dunia pada umumnya, terus-menerus bergulir  menjadi bola panas dan liar.

Selain sering diidentikkan dengan kekerasan, radikalisme serta terorisme, beberapa bagian dari ajarannya pun dimonsterisasi supaya terlihat menakutkan. Bahkan yang tak habis pikir, kalimah persaksian yang menjadi pondasi utama dalam rukun Islam pun tak luput dari aksi pencitraburukan.

Merujuk pada situs suduthukum.com, Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
 
Maka sangat wajar apabila makna ujaran kebencian ini pun menjadi luas, bahkan sampai pada tataran dakwah atau amar makruf nahyi munkar pun seolah tak bisa luput darinya.

Allah Swt memberikan naluri eksistensi diri, yang dengannya tumbuh rasa takut. Potensi ini membuat manusia berhitung resiko dalam melakukan aktifitasnya.

Dengan adanya rasa takut, kita menjadi waspada dan berhati-hati. Misalnya saat kita berkendara di jalanan yang sepi. Rasa takut membuat kita punya kewaspadaan dan kehati-hatian dalam menginjak pedal gas dan rem.
 
Meskipun demikian, tak bijak juga apabila kita menjadi terlalu takut. Karena ketakutan seperti demikian hanyalah akan membuat kita ‘mati’.
 
Mati dalam artian tidak mau mengambil peran apapun dalam kehidupan. Mau bicara takut, mau menulis takut, bahkan bisa jadi lama kelamaan mau mengajarkan agama atau berdakwah pun menjadi takut. Padahal apa yang ditakutkan merupakan sesuatu yang tidak jelas. Seringkali hanya reka-rekaan yang terbentuk di dalam benak.

Terkhusus kepada para penulis muslim. Sebaiknya tak perlu pula untuk takut menuangkan kata perkata menjadi cerita, memilih diksi untuk merangkai puisi, atau mengkaji fakta untuk dianalisa.

Begitu pula tak perlu takut apabila dalam tulisan tersebut kita menasihati penguasa jika memang mereka berbuat sesuatu yang dipandang salah, atau menyuarakan jeritan dan derita rakyat jika memang rakyat menjerit dan menderita.

Atau mengkritik sebuah kemaksiatan yang dilakukan secara terang-terangan di tengah masyarakat. Bukankah selama ini kemaksiatan yang membuat kriminalitas semakin merajalela?

Lalu bagaimanakah jika nalar kritis itu ‘mati’ di kalangan para penulis muslim?

Rasulullah Saw pernah menjelaskan kehidupan bermasyarakat dengan perumpamaan yang indah. Dari Nu’man bin Basyir r.a.,

Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaan pelaksana hukum Allah dan orang yang melanggarnya, bagaikan sekelompok orang yang menempati sebuah kapal. Sebagian mereka mendapat tempat di bagian atas, dan sebagian lainnya pada bagian bawah. Orang-orang yang menempati bagian bawah, ketika hendak mengambil air, harus melewati orang yang berada di bagian atas.

Lalu mereka berpendapat, kalaulah kita melubangi yang bagian kita (bagian bawah kapal, pen.), tentu kita tidak akan merepotkan orang-orang yang berada di bagian atas. Jika mereka membiarkan orang-orang itu melakukan apa yang mereka inginkan, mereka akan celaka semuanya. Dan jika dapat menghentikan mereka, mereka akan selamat, dan selamat semuanya.”  (THR. Bukhari)

Perumpamaan ini menggambarkan akan pentingnya saling mengingatkan dalam kehidupan bermasyarakat. Karena pembiaran atas pelanggaran hukum Allah Swt, tentu akan berdampak pada malapetaka yang menimpa seluruh masyarakat.

Justru yang perlu ditakutkan sebenarnya adalah ketika Allah Swt murka terhadap apa yang kita tuliskan. Semisal tulisan dan candaan yang bersifat dusta, cabul dan porno; penghinaan secara fisik terhadap orang lain; anjuran untuk berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan; penghinaan terhadap tuhan agama lain yang akan berujung pada penghinaan balik terhadap Allah Swt serta berbagai hal lainnya yang dilarang oleh Islam.

Dalam salah satu do’anya, Rasulullah Saw pernah meminta perlindungan kepada Allah Swt dari al Hammu. Menurut Syamsuddin Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullahu ta’ala, al Hammu adalah kekhawatiran hati dalam menghadapi masa depan (apa yang akan terjadi).

 Ketakutan seperti ini merupakan ketakutan yang tak beralasan, tersebab ketakutan terhadap apa yang belum tentu terjadi.
 
Supaya tetap bijak dan kritis dalam menulis, seorang penulis sebaiknya tak perlu berpijak pada rasa takut yang berlebihan. Namun kewaspadaan untuk sekedar menumbuhkan kehati-hatian, tentu saja diperlukan agar menghasilkan sebuah tulisan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Apalagi di era dunia daring seperti saat ini, berbagai berita dusta dan hoax tersebar via dunia maya. Seringkali ia langsung masuk begitu saja ke gawai kita, via grup, saudara, teman dan sebagainya. Karena itulah kita membutuhkan kehati-hatian.

Walhasil tetaplah menulis dengan waspada dan penuh kehati-hatian. Tuliskanlah kebenaran, meskipun itu laksana buah kepahitan. Tuliskanlah kebenaran, meskipun hanya satu ayat yang tersampaikan. Tuliskanlah kebenaran, karena dengannya para penulis muslim akan terhindar dari ‘kematian’.[MO]




Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close