-->

Kapitalisasi Wanita Di Balik Feminisme

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen


Oleh: Fardila Indrianti, S.Pd
(Praktisi Pendidikan dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)

Mediaoposisi.com- Ada yang menarik dalam aksi Women’s March di Car Free Day Taman Bangkul Surabaya hari Minggu, 4 Maret 2018 kemarin. Aksi ini merupakan bentuk kepedulian dan penolakan terhadap diskriminasi untuk perempuan. Risma Yusna, perwakilan panitia menjelaskan kegiatan ini merupakan pertama kali di Surabaya, yang digagas komunitas perkumpulan Arek Feminis.

Sekilas tak ada yang aneh dalam aksi yang mereka selenggarakan tersebut. Namun, ada beberapa hal yang janggal. Para peserta aksi berjalan dari depan Loop Station dan berputar di depan Hotel Mercure, Surabaya membawa spanduk bertuliskan kata-kata ajakan untuk menghormati perempuan dan kaum minoritas. (tribunnews.com/05/03/2018)

Salah satu spanduk yang menarik bertuliskan “Aurat gue bukan urusan lo!”, “Otakmu sing porno, klambiku disalahno; Otakmu yang porno, pakaianku yang disalahkan”. Slogan ini dianggap seolah benar disebabkan fakta banyaknya perempuan yang menutup aurat pun bisa menjadi korban kekerasan seksual.

Dengan fakta ini banyak yang menjadikannya sebagai dasar opini bahwa menutup aurat tidak mampu menyelesaikan masalah kekerasan seksual terhadap perempuan. Anggapan ini didukung dengan pemahaman bahwa tubuh mereka adalah milik diri mereka sendiri sehingga orang lain bahkan Allah tidak memiliki hak untuk melarang mereka.

Hal senada juga disuarakan pada pelaksanaan Women’s March Jakarta 2018 kemarin, mereka menyuarakan setidaknya 8 tuntutan perempuan, yaitu tuntutan menghapus kebijakan yang diskriminatif, pengesahan berbagai hukum dan kebijakan, menjamin dan menyediakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan, menghentikan intervensi negara terhadap tubuh, penghapusan stigma dan diskriminasi berbasis gender, menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender, mengajak masyarakat untuk tidak melakukan praktek kekerasan, dan menuntut penyelesaian akar kekerasan berbasis gender. (idntimes.com/01/03/2018)

Lalu benarkah gerakan feminisme mampu memuliakan kaum perempuan? Mengapa gerakan-gerakan seperti ini menjadi bahan propaganda? Bagaimanakah Islam memuliakan perempuan?

Gerakan Feminisme
Lahirnya feminisme diawali pada era pertengahan Eropa yang dipopulerkan oleh Lady Mary Wortley yang menginginkan pendidikan untuk perempuan. Feminisme mulai populer di tahun 1970an, hal ini mengacu pada pergerakan kaum perempuan dibelahan dunia barat yang menginginkan persamaan hak dalam politik, sosial, budaya dan ekonomi antara perempuan dengan pria. Perempuan tidak lagi puas dengan hanya menjadi istri yang baik dan ibu rumah tangga yang mengurusi anak dan rumah.

Mereka ingin mendapatkan semua yang pria bisa dapatkan. Sederhananya, karena perempuan memiliki derajat yang sama terlepas dari jenis kelaminnya dan karena selama ini mereka menganggap pria telah menyalahgunakan kekuasaan dan hak yang mereka miliki.

Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837.

Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme.

Perempuan dalam Sistem Kapitalis
Segala persoalan yang dialami perempuan saat ini sudah bukan rahasia umum lagi. Kemiskinan, pelecehan, penindasan, dan eksploitasi menghimpit kaum perempuan dimanapun ia berada. Disadari atau tidak, hal ini terjadi karena sistem yang diterapkan di seluruh dunia termasuk di Indonesia, sistem kapitalis yang menjerat banyak negara mempengaruhi cara pandang dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Saat ini perempuan dipandang dan diperlakukan sebagai komoditas dan mesin pencetak uang.

Sistem kapitalisme mampu menciptakan gaya hidup materialistik dan hedonisme, sebagai contoh perempuan Indonesia yang notabene berkulit kuning langsat diserbu dengan propaganda bahwa cantik itu berkulit putih, maka perempuan Indonesia berlomba membeli produk-produk pemutih kulit.

Contoh lain ketika tayangan televisi diberi ruang yang besar untuk menampilkan acara-acara yang tidak memberikan nilai edukasi, yang hanya mengejar rating semata. Maka tak heran, tumbuh subur tayangan-tayangan yang banyak menampilkan adengan tidak pantas, para perempuan yang mengumbar aurat, propaganda LGBT melalui para seniman yang justru dianggap wajar dan menghibur.

 Kapitalisme pun menyebabkan manusia menjadi para pemuja fisik, kemolekan dan kecantikan perempuan dijadikan aset dalam meraup keuntungan sebesar-besarnya, perempuan banyak dijadikan objek iklan, model, film, maupun pekerja seks yang dapat menyumbangkan pajak yang besar bagi negara.

Dalam segi ekonomi, lapangan pekerjaan yang memberikan prioritas terhadap para perempuan sehingga menciptakan para perempuan karir yang lupa akan tanggung jawabnya sebagai seorang anak, istri dan juga ibu bagi keluarganya, di lain sisi begaian besar keluarga hidup dalam kemiskinan yang mengharuskan para perempuan bekerja meninggalkan anak dan suami bahkan sampai ke luar negeri, yang tidak jarang terjebak pada human trafficking.

Standar kebahagiaan juga diukur dengan banyaknya materi dan kedudukan tinggi, hal ini yang mendorong para perempuan semakin banyak meninggalkan perannya sebagai seorang istri dan anak untuk bekerja, baik secara terpaksa maupun suka rela.

Padahal dampak yang timbul dari sibuknya orang tua terutama seorang ibu di luar rumah sangat besar, menyebabkan semakin marak kenakalan remaja akibat lemahnya pengawasan orang tua. Hal ini seolah wajar dimana pemerintah terkesan memberi jalan kepada kaum perempuan dengan memberikan keluasan kepada perusahan-perusahan mengekspoitasi pekerjanya, melegalkan prostitusi sebagai salah satu langkah mengatasi masalah perekonomian negara, dan masih banyak lagi.

Perempuan dalam Pandangan Islam
Islam menempatkan posisi kaum perempuan pada kedudukan yang mulia, hal ini tidak lain karena peran dan tugas besar yang dimilikinya. Di dalam Al-Qur’an telah banyak menjelaskan kepada kita tentang kedudukan perempuan dengan kaum pria. Islam memandang kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam hak dan tanggung jawabnya. Keduanya memiliki potensi dan akal yang sama sehingga mampu menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan koridor yang telah diatur oleh Allah. Oleh sebab itu keduanya, baik laki-laki dan perempuan terikat atas aturan-aturan yang akan diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya di dunia. Allah SWT berfirman,

“. . . Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu . . .” (TQS. Al-Hujuraat: 13).

“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (TQS. Al-Ahzab: 35).

Islam juga menempatkan perempuan dalam posisi terhormat. Laki-laki dan perempuan akan berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat secara alami namun berjalan sesuai koridor syara'. Setiap perempuan dibolehkan menuntut ilmu setinggi-tingginya, juga mendapat jaminan kesehatan serta layanan kemasyarakatan lainnya seperti halnya laki-laki.

Islam memandang peran perempuan yang paling esensial adalah sebagai seorang istri dan seorang ibu, sehingga tidak diwajibkan kepada wanita untuk bekerja diluar rumah, tetapi jika wanita mampu menjalankan perannya sebagai seorang istri dan ibu dengan baik serta mampu bekerja membantu perekonomian keluarga maka pahala yang sangat besar telah disiapkan kepadanya.

Di bidang ekonomi Islam memberikan kesempatan kepada wanita selama peran sebagai istri dan ibu tidak diabaikan, maka tidak ada larangan bagi kaum perempuan untuk mengambil bekerja di luar rumah menjalankan profesi dan keahlian yang ia miliki. Setiap perempuan memperoleh hak yang sama dengan laki-laki dalam berkepemilikan selama tidak menyalahi syariat. Islam pun memberi hak waris pada perempuan, meski setengah dari porsi laki-laki tetap tak dapat disebut diskriminasi karena perempuan berhak atas mahar dan nafkah.

Dalam politik kaum perempuan berhak dipilih dan memilih untuk berperan serta dalam masalah-masalah umum kemasyarakatan, termasuk dalam berpendapat. Sebagaimana pada masa Umar bin Khattab, beliau pernah beradu argumentasi dengan perempuan dalam sebuah masjid, saat itu Umar mengakui kesalahannya dan membenarkan pendapat perempuan tersebut.

Ini berbeda dengan pandangan kaum feminis, mereka menanggap bahwa kemuliaan perempuan ditentukan oleh kesetaraan hak dan kewajiban terhadap laki-laki, ini artinya tolak ukur yang digunakan adalah kuantitas bukan kualitas.

Sehingga bagi mereka wanita yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dipandang kurang mulia, tidak terpandang, mengalami pengekangan dari laki-laki. Ide feminisme menjadi alat kontrol neo-imperialisme negara-negara kapitalis sekuler sehingga ide-ide ini dikemas dengan apik, seperti “mengembalikan hakikat perempuan sejati,’ “memerdekakan kaum perempuan dari penindasan kaum laki-laki”, dan lain sebagainya.

Solusi Tuntas adalah Islam
Allah menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan dengan seperangkat aturan yang melekat padanya. Dengan aturan tersebut Allah menjelaskan tugas dan perannya dalam menjalani kehidupan, ada yang sama dan berbeda. Namun hal tidak dapat dipandang sebagai sebuah kesetaraan atau diskriminasi, selayaknya kita harus mampu melaksanakan peran kita sebagai seorang hamba sesuai dengan porsinya tanpa menuntut kesetaraan yang seharusnya tidak perlu untuk dipermasalahkan.

Setiap aturan yang datang dari Allah tidak pantas diartikan sebagai sebuah tekanan, bahkan sesungguhnya ketika seluruh aturan tersebut diterapkan secara mengeluruh dengan penuh ketaqwaan dan keikhlasan akan mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan bukan hanya bagi individu namun juga bagi seluruh masyarakat.

Oleh sebab itu, seluruh persoalan yang menimpa kaum perempuan karena dominasi sistem Kapitalis Sekuler ini harus dipecahkan dari akarnya. Negaralah yang punya andil terbesar dalam hal ini. Setiap muslim wajib dibekali dengan keimanan dan ketaqwaan, sehingga membentengi dirinya dari melakukan tindak kejahatan. Masyarakat pun harus berperan aktif dan positif dalam melakukan kontrol sosial.

Masyarakat secara bersama-sama menegakkan prinsip amar makruf nahi mungkar, yang akan meminimalisasi bahkan menghilangkan kejahatan ini, karena masyarakat merasa peduli dan berkepentingan untuk menghilangkan kemungkaran yang terjadi, karena setiap kemungkaran yang tidak dicegah akan mengundang azab yang merata dan menjadikan doa mereka tidak diterima. Masyarakat adalah agen terpenting dalam misi pengawalan negara terhadap pelaksanaan hukum syariat di segala sendi kehidupan.

Peneraan sanksi hukum yang sesuai dengan syariat hanya dapat ditemukan pada Sistem Khilafah, diterapkannya aturan yang sesuai dengan hukum-hukum Allah, sehingga mampu dapat berfungsi sebagai pencegah dan penebus, artinya mencegah manusia dari perbuatan dosa (pelanggaran), serta menebus sanksi akhirat yang akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan di dunia.

Selain itu, semua hukum yang telah di terapkan mampu memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan. Maka benarlah bahwa segala persoalan yang ada saat ini adalah buah dari pemahaman-pemahaman yang tidak disandarkan kepada syariat Allah, hanya Islam yang mampu memuliakan manusia baik laki-laki maupun perempuan sesuai dengan fungsi dan perannya masing-masing.[MO]



Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close