Oleh: Hanif Kristianto - Analis Politik dan Media
Demi merebut simpati. Kata-kata yang disusun dalam program paslon pilgub Jatim 2018 disusun semenarik mungkin. Jika diamati pada peristiwa politik sebelumnya, politisi lebih pada pesan pendek. Tidak pada detail program yang ditawarkan. Seiring berjalannya liberalisasi politik demokrasi, setiap paslon—melalui tim sukses dan konsultan—menawarkan program. Bagi rakyat yang awam, berjibun program dianggap jualan. Terkadang pun rakyat tak tahu maksud dan tujuannya. Nasib jadi rakyat Indonesia, banyak yang tak tahu politik sesungguhnya.
Ngonceki Program Kamil
Nawa Bhakti Stya terdiri dari 9 program kerja yang akan dilakukan Khofifah-Emil jika terpilih. Di antara program itu ialah (1) Bhakti Jatim Sejahterah, (2) Jatim Kerja, (3) Jatim Cerdas dan Sehat, (4) Jatim Akses, (5) Jatim Berkah, (6) Jatim Agro, (7) Jatim Berdaya, (8) Jatim Amanah, dan (9) Jatim Harmoni. Menurut Khofifah, Nawa Bhakti Satya menyimpan pesan terdalam seperti doa rabbana atina fiddunya hasanah wafil akhiratu hasanah waqina ‘adzabannar.
Jika diamati lebih dalam, jabaran di setiap programnya masih seputar ekonomi, politik, pendidikan, dan infrastruktur. Sesungguhnya ini menggambarkan bahwa demokratisasi di Indonesia masih sebatas wacana. Demokrasi bukanlah sistem politik yang sempurna karena masih banyak celah.
Komunikasi politik yang dibangun paslon terkait tawaran program masih terbatas. Belum mampu mewadahi segala potensi dan keinginan rakyat. Program yang ditawarkan pasangan Kamil tak jauh beda dengan pasangan Gusti. Hanya nama dan penjabarannya yang berbeda.
Harus diakui kemiskinan, akses pendidikan, pemanfaatan SDA, masih menjadi persoalan utama di Jawa Timur. Adapun persoalan infrastruktur dalam mendukung perekonomian merupakan kerja pusat dan daerah. Semisal pembangunan jalan, pelabuhan, bandara, dan gedung-gedung pendukung.
Kemiskinan di Jawa Timur bukan dengan solusi PKH Sejahterah. Harus dipecahkan persoalan dengan menjawab mengapa kemiskinan menimpa keluarga? Kemiskinan sistemik atau struktural diakibatkan sistem ekonomi yang kapitalistik? Mengapa pula lapangan kerja sempit? Cukupkah Job Career menjadi obat? PKH ibaratkan suntikan. Sedikit sekali membantu. Pun program pendidikan tis-tas (gratis dan berkualitas). Setiap paslon lupa dalam membentuk pendidikan yang harus diselesaikan yaitu siste pendidikan, ketersediaan sarana-prasarana, dan akses pendidikan bagi semua. Selama ini pun pendidikan sudah memasuki ranah bisnis yang hanya dijangkau kalangan atas untuk mengakses pendidikan berkualitas. Apakah cukup dengan langkah intensif pembiayaan pada keluarga miskin?
Akses jalan dan infrastruktur pendukung yang akan menghubungkan Jatim Utara dan selatan sesungguhnya disediakan untuk investor. Pergerakan barang dan orang dalam perdangan menjadi syarat utama dalam investasi. Rakyat kebanyakan gigit jari karena tak bisa memanfaatkan pembangunan ini.
Berapa potensi daerah yang digarap pun masih persoalan wisata dan desa. Wisata dianggap peluang besar meningkatkan pendapatan daerah. Desa pun diajak untuk mandiri melalui dana desa. Sementara itu, paslon lupa dalam pengelolaan sumber daya alam di Jatim. Selama ini pengelolaan SDA di Jatim kerap menimbulkan persoalan sistemik. Baik menyangkut sosial kemasyarakatan, kerusakan lingkungan, dan ketidakmerataan kesejahtaeraan hasil SDA.
Karenanya, pasangan Kamil tidak hanya memberikan program dan penawaran. Harus lebih dari itu memberikan garansi dan komitmen pada rakyat Jawa Timur. Jangan sampai program sebatas tulisan di atas kertas. Rakyat sesungguhnya berharap, ada perubaha, keadilan, dan kesejahteraan. Sudah cukup rakyat kenyang dengan janji-janji.
Pesan Penting
Doa bu Khofifah jika diresapi secara mendalam bisa diambil makna. Tentu dikaitkan dengan role model pemerintahan. Jika doa itu ingin benar-benar terkabul, maka kebaikan di dunia itu akan dicapai hanya dengan Islam. Sehingga ini kesempatan setiap paslon—yang notabenenya ada ulama’ di belakangnya—menjadikan Islam sebagai aturan main pengelolaan pemerintahan.
Berikutnya, persoalan yang terjadi di Jawa Timur khususunya dan Indonesia pada umumnya dikarenakan penerapan sistem yang despotik. Penerapan ekonomi kapitalistik telah menjadikan rakyat papa meski ada perusahaan tambang di hadapannya. Kesejahteraan keluarga yang kurang sebab negara abai pada perlindungan institusi keluarga. Tak heran jika banyak rakyat Jatim yang bedol desa menjadi tenaga kerja wanita (TKW). Pendidikan bukan saja terletak pada embel-embel ‘gratis’. Harus jelas sistem dan kurikulumnya yang menjadikan generasi bangsa ini cerdas secara emosional, intelektual, dan spiritual.
Liberalisasi politik pun akhirnya melahirkan beberapa kepala daerah yang dicokok KPK. Budaya korupsi dan suap merajalela. Muncul raja-raja kecil dan dinasti politik di daerah. Tak ayal, rakyat pun pesimis setiap suksesi akan melahirkan perubahan. Karenanya, sikap masa bodoh, pragmatis, dan acuh lebih dipilih daripada memberikan suara dan kritik.
Sudah seharusnya dan menjadi kewajiban setiap pemimpin daerah untuk menyediakan segala keperluan rakyatnya. Di samping tercukupinya sandang, pangan, dan papan. Yen pengen Jawa Timur makmur, Islam ojo dilalekno lan ojo nganggep Islam mung gawe ibadah thok. Eling, gusti Allah mboten sare. Lak, ngono seh mbak? [IJM]