-->

Gen Milineal Ikutan Pilkadal

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Hanif Kristianto - Analis Politik dan Media

Generasi milenial dalam sistem perpolitikan dijadikan sasaran perhatian. Suara emasnya sangat dibutuhkan untuk mendulang kemenangan. Darah mudanya dijadikan martir dalam pesta rakyat tahunan dalam pemilihan. Kekuatannya dimanfaatkan untuk menggerakan roda perpolitikan. Karenanya, tidak mengherankan generasi milenial didekati penyelenggara dan kontestan pilkada.

Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) sebanyak 30.747.387 jiwa penduduk pilgub Jatim 2018. Sebanyak 6,2 persen pemilih pemula. Berdasarkan pengelompokan usia pemilih ada kelompok yakni usia di bawah 17 tahun yang sudah nikah (14-16 tahun) sebanyak 719 pemilih dan usia 17-25 tahun 4.927.761 jiwa. 

Karakter Pemilih Gen Milenial

Gen milenial diwakili oleh kalangan remaja SMA dan Mahasiswa. Bawaslu dan KPU sudah menyosialisaikan pilgub Jatim ke sekolah dan kampus. Ragam acara dibuat unik dan menarik untuk menggaet keikutsertaan generasi milenial. Kemendagri pun telah menekankan kepada Disdukcapil untuk merampungkan e-KTP. Tujuannya mereka bisa ikut serta dalam ajang pilkadal (pemilu kepala daerah langsung).

Seberapakah rasa ketertarikan gen milenial pada pesta politik ini? Berikut beberapa indikasinya.

Pertama, gen milenial belum tahu banyak apa itu politik dan demokrasi. Mereka hidup dalam dekapan digital media sosial. Waktunya asyik dalam dunianya daripada bicara politik. Bisa dipastikan ketika diajak bicara politik, banyak yang tidak sambung. Mereka lebih suka bicara hobi, pergaulan, traveling, olah raga, dan hura-hura. 

Kedua, pendidikan di Indonesia mengenalkan sistem politik dan demokrasi baru kulit. Pelajaran yang sering diterima dalam pelajaran PpKN bahwa demokrasi sebagaimana ujaran Abraham Lincoln. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Setelah itu, anak didik lupa dikenalkan fakta politik sekarang. Akibatnya masa bodoh dengan hiruk pikuk politik.

Di sisi lain, sering yang terjadi di sekolah dan kampus ada istilah jangan bawa-bawa politik. Penggunaan fasilitas gedung pun harus steril dari kepentingan politik. Aneh, bukan? Satu sisi mendorong gen milenial aktif pemilihan. Di sisi lain, ekspresi praktik politik dihalangi. Jadi ini tugas berat sesungguhnya, tidak hanya KPU dan Bawaslu, tapi juga stakeholder untuk memecahkan masalah.

Ketiga, sungguh naif jika mengenalkan politik kepada gen milenial sebatas mencoblos paslon. Tatkala membincang politik tidak bisa terlepas dari kekuasaan, kenegaraan, dan pengaturan kehidupan. Ada peran serta rakyat untuk melakukan monitor dan kritik. Ruang inilah yang selama ini kosong dari kesadaran pemilih pemula.

Keempat, belum membudaya di kalangan gen milenial untuk berfikir politik. Dalam benak mereka, berfikir politik itu berat, sulit, dan bukan urusan saya. Akibatnya tatkala terjadi peristiwa politik, mereka tak mampu memberikan analisisnya dan memberikan solusi. Seringnya mereka dipolitisasi dalam kepentingan politik pragmatis.

Kelima, studi politik di antara gen milenial masih didominasi kalangan tertentu. Hal ini diakibatkan pemisahan pendidikan dan politik. Maka tak heran, apatisme, pragmatisme, dan kegagapan politik yang ada. Mereka kehilangan idealisme jika dihadapkan pada tataran fakta yang rusak.

Indikasi di atas bisa menjadi catatan siapa pun. Bisa dipahami jika kontestasi pilgub inginnya damai, maka gen milenial digandeng. Hal itu tak salah. Justru yang harus dijelaskan kepada gen milenial yaitu sikap berpolitik yang sesuai dengan nilai keilahian dengan ideologi yang sahih. Jangan sampai kekuatan besarnya disia-siakan. Padahal mereka agen perubahan ke depan.

Ke Mana Arah Gen Milenial?

Jika dicermati, ke mana suara gen milenial pada pilgub Jatim 2018? Condong ke pasangan Gusti atau Kamil? Secara hitungan politis, gen milenial adalah golongan massa mengambang. Mereka belum mampu menentukan pilihan secara ideal dan faktual. Lebih didominasi oleh sosok dan tawaran program.

Tidak banyak memang 8 program unggulan dan Nawa Satya Bhakti yang menyasar gen milenial. Bisa jadi paslon sudah menganggap itu masuk pada persoalan pendidikan dan kesejahteraan keluarga. Misalnya Sekolah Gratis, beasiswa ke S2, dan Program Keluarga Harapan (PKH). Di antara paslon itu, hanya Emil Dardak yang bisa mewakili gen milenial. Tak heran jika Emil adakan cangkrukan di warung kopi untuk menjaring aspirasi kalangan pemuda. Di sisi lain, bisa dipastikan arah gen milenial dalam pilgub Jatim sekadar ikut-ikutan. Anut grubyuk.

Karenanya, tim pemenangan paslon sudah menyiapka tim media sosial untuk menjaring pemilih gen milenial. Mereka sasaran empuk dalam kampnye digital. Siap-siap memantau medsos dalam rangka kampanye paslon pemilihan.

Harapan yang harus diingatkan kepada generasi milenial adalah politik itu mengurusi urusan umat. Bukan perebutan kekuasaan seperti anak-anak rebutan makanan. Lebih dari itu, ketika mereka muslim maka mengambil aturan dari Allah untuk bisa diterapkan dalam pemerintahan harus dijadikan pilihan utama. Bukan larut dalam hiruk pikuk atas nama demokratisasi yang menyeret bangsa ini pada kehidupan koruptif dan pejabat nakal. Piye, ngene iki rek? [IJM]

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close