Illustrasi
Oleh: Sri Wulandari, S.Pd
Mediaoposisi.com-Dunia Internasional saat ini sedang ramai membicarakan Polusi Global akibat produksi emisi karbondioksida (CO2) yang merupakan hasil pembakaran energi fosil.
Menurut data yang dirilis oleh World Resource Institute (WRI) yang bermarkas di Washington DC, emisi CO2 yang dihasilkan oleh negara-negara di dunia ini adalah sebanyak 47,59 miliar ton emisi CO2 (MtCO2e) per tahun.
Sehingga muncul ide untuk mengurangi penggunaan energi fosil dengan menggantinya dengan energi bersih (Energi Terbarukan). Oleh karena itu, ide ini menjadi salah satu dari 17 tujuan program SDG’s (Sustainable Development Goals) yaitu Mewujudkan Energy Bersih Dan Terjangkau.
Energi Bersih dan Terjangkau yang dimaksud dalam tujuan SDG’s adalah tercapainya tiga target yang memiliki eberapa point indikator keberhasilan.
Tiga target tersebut adalah (1) Menjamin akses universal layanan energi yang terjangkau, andal dan modern; (2) Meningkat secara substansial pangsa energi terbarukan dalam bauran energi global; (3) Melakukan perbaikan efisiensi energy di tingkat global seanyak dua kali lipat.
Dari target tersebut dapat dilihat bahwa arah dari Program Energi Bersih dan Terjangkau adalah terwujudkan energi terbarukan (ETB) yang mampu dijangkau oleh masyarakat secara umum.
Tujuan dari genda SDG’s ini difollow up dengan forum Clean Energy Ministerial (CEM) 8 Meeting di Beijing-China yang berlangsung pada 6–8 Juni 2017 dan dihadiri oleh 25 negara. Pada pertemuan tersebut dibahas beberapa hal terkait dengan teknologi energi bersih.
Berbagai Penelitian dan Pengembangan (R&D) terus dilakukan secara masif dengan anggaran superbesar hingga miliaran US dolar di China, Amerika, dan Eropa.
Tentu ini bukanlah hal mudah bagi Negara Berkembang mewujudkan ETB, yang sejatinya masih memiliki permasalahan pada terjangkaunya energi primer di beberapa wilayah.
Paradoks Program Energi Bersih dan Terjangkau ala SDG’s
Program SDG’s tampak apik dan solutif untuk pengaturan energi yang bersih dan mudah dijangkau seluruh umat manusia. Namun, dalam sistem pengelolaan energi yang diterapkan nyatanya mengandung Paradoks.
Pertama, dalam mewujudkan energy bersih dan efisien, ternyata hanya dibebankan pada Negara-negara Berkembang untuk mengembangkan energy terbarukan.
Sementara tidak demikian kepada Negara-negara maju. Padahal Negara-negara industrilah yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam menaggulangi Emisi Karbon ini.
Data statistika tahun 2016 menunjukkan bahwa Negara yang berkonstribusi terbesar dalam menghasilkan Emisi Karbon di Dunia adalah Negara-negara industry seperti China (Tiongkok) dengan 10,68 miliar ton emisi CO2 per tahun.
Disusul dengan Amerika Serikat yang menempati urutan kedua sebagai penghasil emisi Karbondioksida terbesar di Dunia yaitu sebesar 5,82 miliar ton emisi CO2 per tahun.
Urutan ketiga ditempati oleh 28 Negara yang bergabung dalam Uni Eropa dengan jumlah Emisi Karbondioksida yang dihasilkan sebesar 4,12 miliar ton emisi CO2 per tahun. (KataData News And Research)
Namun mereka mangkir dari tanggung jawabnya. Alih-alih mau mengurangi emisi karbon, Negara Industri justru berani membeli kredit pengurangan emisi karbon dari Negara lain melalui pertukaran uang.
Sehingga yang terjadi adalah menuntut Negara Berkembang untuk bahu membahu mewujudkan energi terbarukan untuk mengurangi emisi karbon yang mereka hasilkan.
Ini terbukti pada Konferensi Kyoto yang dilakukan di bali tahun 2007 yang berisi tentang komitmen pengurangan emisi karbon beberapa Negara industry tidak mau menandatangni kesepakatan tersebut, termasuk di dalamnya Amerika Serikat, Cina, Jepang dan Kanada.
Bahkan, menurut organisasi International Energy Agency (IEA) selama ini Cina tidak menjadi anggota IEA. Itu disesalkan organisasi, yang berkantor pusat di Paris tersebut.
Kedua, dalam hal mewujudkan akses universal energi terjangkau nyatanya diikuti dengan liberalisasi energi yang ditandai dengan pencabutan subsidi energi, sehingga berdampak pada mahalnya harga energi.
Dampaknya energi semakin sulit untuk dijangkau oleh rakyat miskin dan akan berdampak pada pertumbuhan konomi.
Bagi industri, akan menjadikan biaya produksi semakin meningkat dan dengan adanya kebijakan penghematan energy misalnya dalam bentuk pemadaman bergilir yang tidak terjadwal menjadikan mereka mengalami kerugian mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah karena proses produksi terhenti tiba-tiba.
Permasalahan ketidak terjangkauan energy bagi masyarakat Indonesia misalnya tertuang Dalam Dokumen Blue Print Pengelolaan Energi Tahun 2010-2015 yang menyebutkan bahwa salah satu tantangan pembangunan energi Nasional adalah harga energy belum mencapai nilai keekonomiannya.
Oleh karena itu, salah satu misi dari Kementerian ESDM adalah mendorong keekonomian harga energi.
Namun, kebijakan Nasional pun tidak memiliki independensi, karena harus terikat dengan perjanjian lembaga asing yang menjadi rujukan kebijakan ekonomi seperti IMF, Bank Dunia, USAID termasuk OECD yang didalam dokumen perjanjiannya menyebutkan bahwa semua Negara (Berkembang) diwajibkan untuk mencabut subsidi pemerintah terhadap rakyatnya demi tercapainya Good Governance.
Liberalisme, Nafas Pengelolaan Energi ala SDG’s
Tujuan SDG’s mewujudkan Energi Bersih dan Terjangkau merupakan sebuah program yang pada hakikatnya memiliki tujuan untuk semakin melanggengkan Liberalisasi pengaturan energy khususnya pada Negara Berkembang.
Bagaimana tidak, dengan adanya program SDG’s ini menjadikan Dunia tidak mampu melihat hakikat permasalahan Global merupakan sebuah hasil dari diterapkannya Pengaturan Liberalisasi energy dalam sistem kapitalisme yang tidak lagi memperdulikan dampak dari eksplorasi dan eksploitasi tanpa tanggung jawab dan tentu ini semua demi kepentingan Negara Kapitalis untuk mempertahankan laju industrinya demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kwik Kian Gie pengamat ekonomi sekaligus Mantan Menteri Perekonomian menyatakan dalam acara ECONOMIC CHALENGGES di Metro TV bahwa “Kelompok asing bisa melakukan apapun agar kebijakan (baca kemauan) mereka bisa dituruti oleh Negara yang menjadi jajahan ekonominya.
Salah satu buktinya adalah Liberalisasi Migas yang berpihak kepada Asing”. Termasuk disini adalah memaksakan program yang sejatinya merupakan kepentingan kapitalis, namun seolah-olah dijadikan sebagai kepentingan bersama.
Dengan kebijakan Liberalisasi migas yang terus berjalan di dunia internasional membuka kran investasi dan pasar bagi Negara kapitalis.
Akibatnya, Negara yang memiliki sumber energi primer pun tidak mampu dengan leluasa mengolah sumber energinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Inilah yang disebut dengan Penjajahan Gaya Baru (Neo Imperialisme), merampok sumber energi tanpa paksaan.
Islam sebagai Solusi Energi dan Lingkungan
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki pengaturan yang Khas dalam pengelolaan Energi. Dengan landasan bahwa semua kekayaan pada hakikatnya adalah milik Allah.
Dan manusia diberi kewenangan untuk menguasai, maka dalam hal ini berlaku izin Allah bagi manusia untuk memiliki dan mengelolahnya sesuai dengan aturan yang sudah Allah tetapkan. Berdasarkan firman Allah SWT:
“Berikanlah kepada mereka harta dari Allah yang telah Dia berikan kepada kalian” (TQS An Nur: 33)
Berbeda dengan kapitalisme yang melegalkan privatisasi energi.
Islam menjadikan Energy yang merupakan sumber api masuk kedalam kategori kepemilikan umum yang diperuntukkan seluruh manusia.
Sehingga energi dikelola sebagai barang publik yang tidak boleh diprivatisasi, sedangkan Negara hanya punya hak mengelolah saja tanpa boleh memperjualbelikannya secara bebas (Liberal). Berdasarkan Sabda Rasulullah Saw:
“Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang gembalaan dan api. Harganya pun haram” (HR. Ibnu Majah)
Sehingga pemanfaatan energi akan bisa terkendali dengan benar sesuai kebutuhan manusia baik personal maupun industri.
Dan Negara pun wajib memikirkan jangka panjang terkait kelestarian sumber energi untuk generasi selanjutnya, sehingga kerusakan lingkungan yang terjadi seperti saat ini bisa dihindari.
Islam juga memandang hak-hak atau kepemilikan harta terutama sumerdaya alam,bahwasanya sumberdaya alam termasuk dalam kepemilikan umum yang hanyan boleh dikelola dan dimanfaatkan oleh masyrakat bukan negara ataupun individu.[MO]