Oleh: Yoni Kurniawan - Praktisi Media
Pemilu 2019 makin dekat. Jagat politik riuh. Harapan masyarakat agar partai tak sekedar jadi “broker politik”, terutama bagi para caleg. Apalagi sistem demokrasi memberikan lahan luas bagi berdirinya partai politik apapun warnanya selama prinsip dasarnya adalah menyokong tegaknya sistem tersebut. Dalam adagium di sebagian masyarakat khususnya jawa “kabeh partai podo wae…”, sebagian masyarakat memahami kebanyakan partai kontestan pemilu sama saja dan metode perjuangannya pun dianggap sering pragmatis.
Masyarakat tampaknya makin pesimis terhadap demokrasi dan sosok pemimpin yang dihasilkannya. Dalam demokrasi dikenal slogan, “Vox populi vox dei (Suara rakyat adalah suara tuhan).” Karena itulah, inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, dalam sistem demokrasi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Dalam bahasa Abraham Lincoln, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun demikian, semua klaim di atas hanyalah omong-kosong. Faktanya, di Indonesia sendiri, yang selama ini berdaulat (berkuasa penuh) bukanlah rakyat, tetapi para elit (sekelompok kecil) wakil rakyat, termasuk elit (sekelompok kecil) penguasa dan pengusaha. Mengapa bisa begitu?
Pasalnya, Pemilu dalam demokrasi menjadikan suara terbanyak sebagai ukuran, sementara banyaknya perolehan suara bergantung pada tingkat popularitas partai dan para calegnya. Dalam sistem semacam ini, tentu ketergantungan partai maupun para caleg terhadap kebutuhan modal (uang) sangatlah besar, yaitu untuk mendongkrak popularitas partai maupun para calegnya. Karena itu, tidak aneh jika partai dan para calegnya membutuhkan dana ratusan juta hingga ratusan miliar rupiah hanya untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya dalam Pemilu. Dari mana dananya, sementara kebanyakan partai dan para caleg tidak memiliki dana dalam jumlah besar. Dari sinilah keberadaan pengusaha/para pemilik modal menjadi sangat penting bagi partai/para caleg.
Di sisi lain, para pengusaha/pemilik modal pun memiliki kepentingan untuk mengamankan bisnisnya. Dalam kondisi demikian, gayung bersambut. Partai dan para caleg akhirnya bekerjasama sekaligus membuat semacam ‘kontrak politik’ yang saling menguntungkan dengan para pengusaha/pemilik modal. Celakanya, sering terjadi, dana dalam jumlah besar itu justru hanya dimiliki oleh pihak asing. Lalu mengucurlah dana dari mereka kepada partai-partai/para caleg yang diperkirakan bakal meraih suara cukup banyak. Akibatnya, keterlibatan asing dalam ‘money politic’ untuk menyokong partai atau para caleg tertentu sering terjadi, tentu tidak secara terbuka dan terang-terangan. Kenyataan ini—meski sulit dibuktikan—sering terjadi setiap menjelang Pemilu dan sudah banyak diungkap oleh sejumlah kalangan.
Akhirnya, bisa diduga, saat partai/para caleg yang disokong para pengusaha/pemilik modal—khususnya pihak asing—itu berhasil duduk di DPR atau menduduki kursi kekuasaan, politik ‘balas budi’ pun terjadi. Bahkan para penguasa/pemilik modal dan pihak asing kemudian bisa mendikte penguasa dan DPR. Pada akhirnya, yang berdaulat bukanlah rakyat, tetapi para pengusaha/para pemilik modal dan pihak asing tersebut. Karena itulah, wajar jika kemudian penguasa/DPR akan membuat kebijakan dan UU yang selaras dengan kepentingan mereka, bukan demi kepentingan rakyat yang telah memilihnya. Lahirnya UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal, UU BHP, UU Minerba dll jelas harus dibaca dari sisi ini. Pasalnya, semua UU tersebut jelas-jelas ditujukan hanya demi melayani kepentingan pengusaha/pemilik modal, termasuk pihak asing, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Rakyat pada akhirnya hanya menjadi obyek pesakitan seraya terus memendam impian perubahan, yang entah kapan bisa terwujud.
Dalam demokrasi, suara mayoritas selalu menjadi ukuran. Pasalnya, masyarakat tidak mungkin semuanya duduk di pemerintahan. Karena itu, wajar jika muncul konsep perwakilan rakyat. Dalam demokrasi, wajar pula jika kemudian konsep suara mayoritas diterapkan untuk mewujudkan keterwakilan rakyat di DPR/pemerintahan. Namun masalahnya, betulkah suara mayoritas wakil rakyat di DPR/di pemerintahan benar-benar mencerminkan suara mayoritas rakyat? Tentu tidak! Sebab, pada kenyataannya suara rakyat telah beralih menjadi suara mereka sendiri secara individual. Bukankah para ”wakil rakyat” tersebut tidak pernah meminta pendapat rakyat yang diwakilinya? Lebih dari itu, pada kenyataannya banyak suara wakil rakyat tersebut sudah ‘terbeli’ oleh kekuatan modal para pengusaha dan pihak asing, sebagaimana telah dijelaskan di awal. [IJM]