Oleh: Fajar Kurniawan - Pusat Kajian dan Analisis Data
Istilah Energy security melekat pada suatu kondisi terjaminnya pasokan kebutuhan energi–minyak dan gas alam–suatu negara demi keberlangsungan dan eksistensi negara baik secara ekonomi maupun pertahanan. Pasokan energi tersebut dapat berasal baik dari cadangan domestik maupun suplai energi global. Pemenuhan energi merupakan hal yang vital bagi semua negara dimana kebutuhan tersebut terkait satu sama lain dan saling bergantung pada pasokan energi dunia. Hal ini sangatlah fundamental bagi keberlangsungan sistem internasional. Untuk itu, dalam isu energy security ini, masalah distribusi dan akses yang imbang menjadi perhatian utama.
Kondisi Indonesia kaya dengan Sumber Daya Energi Baru dan Terbarukan, akan tetapi pemerintah masih fokus pada energi fosil yang cadangannya pasti akan habis. Konsumsi minyak bumi di Indonesia terkategori boros di tengah menurunnya produksi dalam negeri. Produksi minyak bumi saat ini adalah 288 Juta barel dan diperkirakan akan habis pada 13 tahun kemudian, sedangkan gas bumi sebesar 2,97 TSCF, diperkirakan akan habis 34 tahun kemudian. Padahal Indonesia memiliki sumber daya EBT yang sangat melimpah, seperti PLTA/Hydro 75 GW, Surya 112 GWp, Panas Bumi 28,8 GW, Angin 950 MW, Biomassa 32 GW, Biofuel 32 GW, dan Energi Laut 60 GW, tetapi pemerintah masih mengabaikan potensi energi tersebut.
Adapun ketersedian energi dipastikan aman jika dieksplorasi, diproduksi, didistribusikan, dikelola dan dibiayai negara. Sebab dalam Islam pengelolaan SDA dan sumber daya energi (SDE) sepenuhnya menjadi tanggungjawab negara. Distribusi SDA dan SDE dalam sistem kapitalisme ditentukan oleh mekanisme harga. Siapa yang sanggup membayar harga tersebut, dia dapat. Bagi yang tidak sanggup, tidak berhak mendapat bagian. Padahal Islam menetapkan mekanisme distribusi bukan hanya dengan harga. Kebutuhan akan SDA dan SDE oleh rakyat dalam Islam dijamin negara melalui mekanisme subsidi, atau gratis bagi yang tidak mampu.
Privatisasi BUMN. Ya, ini masalah utama Energy security di Indonesia. Privatisasi (penjualan) BUMN di Indonesia telah dilakukan sejak rezim Orde Baru. Pemerintah menjual 35% saham PT Semen Gresik (1991), 35% saham PT Indosat (1994), 35% saham PT Tambang Timah (1995) dan 23% saham PT Telkom (1995), 25% saham BNI (1996) dan 35% saham PT Aneka Tambang (1997) (www.bumn-ri.com).
Kebijakan privatisasi pada masa Orde Baru ini dilakukan untuk menutupi pembayaran hutang luar negeri (HLN) Indonesia yang jumlahnya terus membengkak. HLN Pemerintah yang berjumlah US$ 25,321 miliar pada tahun 1985 bertambah menjadi US$ 59,588 miliar pada tahun 1995. Sementara pemasukan dari hasil privatisasi BUMN tahun 1995-1997 hanya dapat menurunkan HLN Pemerintah menjadi US$ 53,865 miliar pada tahun 1997 (Hidayatullah, 2002).
Sejak ekonomi Indonesia berada dalam pengawasan IMF, Indonesia ditekan untuk melakukan reformasi ekonomi —program penyesuaian struktural— yang didasarkan pada Kapitalisme-Neoliberal. Reformasi tersebut meliputi: (1) campur-tangan Pemerintah harus dihilangkan; (2) penyerahan perekonomian Indonesia kepada swasta (swastanisasi) seluas-luasnya; (3) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dengan menghilangkan segala bentuk proteksi dan subsidi; (4) memperbesar dan memperlancar arus masuk modal asing dengan fasilitas yang lebih besar (Sritua Arief, 2001).
Di bawah kontrol IMF, Indonesia dipaksa mengetatkan anggaran dengan pengurangan dan penghapusan subsidi, menaikkan harga barang-barang pokok dan pelayanan publik, meningkatkan penerimaan sektor pajak dan penjualan aset-aset negara dengan cara memprivatisasi BUMN.
Pada tahun 1998 Pemerintah kembali menjual 14% saham PT Semen Gresik kepada perusahaan asing, Cemex; 9,62% saham PT Telkom; 51% saham PT Pelindo II kepada investor Hongkong; dan 49% saham PT Pelindo III kepada investor Australia. Tahun 2001 Pemerintah lagi-lagi menjual 9,2% saham Kimia Farma, 19,8% saham Indofarma, 30% saham Socufindo dan 11,9% saham PT Telkom.
Privatisasi hakikatnya adalah pemindahan kepemilikan aset-aset milik negara kepada swasta dan asing (Mansour, 2003). Namun Undang-Undang Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN mengkaburkan makna privatisasi dengan menambahkan alasan, yaitu dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham masyarakat.
Dalam program privatisasi tahun ini, Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil beralasan, “Privatisasi BUMN dilakukan tidak untuk menjual BUMN, melainkan untuk memberdayakan BUMN itu sendiri, sehingga akan menjadikan BUMN lebih transparan dan dinamis.” (Kominfo Newsroom, 21/1/2008).
Kenyataannya, privatisasi tidak seperti yang digambarkan Pemerintah, yakni bertujuan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN. Pasalnya, yang dimaksud masyarakat bukanlah masyarakat secara keseluruhan, tetapi tentu saja hanya ’kelompok masyarakat khusus’, yakni mereka yang punya uang (investor).
Privatisasi tidak lain merupakan upaya pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat. Hal ini terjadi karena Pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengelola negara. Tidak aneh, setiap tahun Pemerintah hanya bisa menjual aset/kekayaan negara dengan cara ugal-ugalan. Akibatnya, kekayaan negara—yang hakikatnya milik rakyat—terus menyusut, sedangkan hutang negara terus bertambah.
Privatisasi BUMN saat ini juga diduga kuat tidak bisa dilepaskan dari agenda politik 2009. Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar mengemukakan, partai politik menjadikan privatisasi sebagai sarana untuk mengeruk dana besar dari BUMN. Parpol melakukannya melalui kader-kader mereka yang duduk di birokrat (Media Indonesia, 9/8/2008).
Direktur Eksekutif Charta Politica, Bima Arya Sugiarto memandang kursi pimpinan BUMN sangat dekat dengan parpol dan kekuasaan. Tanpa peranan keduanya sangat sulit bagi seseorang menjadi pimpinan BUMN. Ini menjadikan BUMN sangat dipengaruhi kepentingan politik (Kompas, 20/2/2009).
Privatisasi juga merupakan konsekuensi penerapan system kapitalisme di iNdonesia yang tegak di atas prinsip pasar bebas yang —menjadi salah satu pilar sistem ekonomi kapitalis— sangat bertentangan dengan Islam. Penerapan hukum ini menjadikan Pemerintah meninggalkan tanggung jawabnya sebagai pelayan dan pengatur urusan masyarakat. Pemerintah kemudian menyerahkan perannya kepada pemilik modal. Privatisasi juga menyebabkan tergilasnya hak-hak masyarakat, sementara para pemilik modal terus meningkatkan labanya. [IJM]